Orang-orang masih memprotes junta Myanmar, tetapi tidak seperti jumlah yang terlihat pada minggu-minggu awal setelah kudeta (AFP/STR)
Analisadaily.com, Jenewa - Kepala Mekanisme Investigasi Independen PBB untuk Myanmar, Nicholas Koumjian, rencana junta untuk mengeksekusi lawan politiknya mungkin merupakan kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan.
Junta mengatakan pada 3 Juni akan mengeksekusi mantan anggota parlemen dari partai Aung San Suu Kyi dan seorang aktivis demokrasi terkemuka, keduanya dihukum karena terorisme, dalam apa yang akan menjadi eksekusi yudisial pertama di negara itu sejak 1990.
Juru bicara junta, Zaw Min Tun, mengatakan kepada AFP, Empat orang, termasuk mantan anggota parlemen Phyo Zeya Thaw dan aktivis demokrasi Ko Jimmy, yang dijatuhi hukuman mati akan digantung sesuai prosedur penjara.
Nicholas mengatakan dia mengikuti kasus ini dengan cermat.
"Informasi yang tersedia sangat menunjukkan bahwa di bawah hukum internasional, hak-hak dasar orang-orang yang dihukum secara terang-terangan dilanggar dalam proses ini," kata Koumjian dilansir dari AFP dan Channel News Asia, Rabu (22/6).
"Menjatuhkan hukuman mati, atau bahkan masa penahanan, berdasarkan proses yang tidak memenuhi persyaratan dasar pengadilan yang adil dapat merupakan satu atau lebih kejahatan terhadap kemanusiaan atau kejahatan perang," tambahnya.
Junta telah menghukum mati puluhan aktivis anti-kudeta sebagai bagian dari tindakan kerasnya terhadap perbedaan pendapat setelah merebut kekuasaan tahun lalu, tetapi Myanmar belum melakukan eksekusi selama beberapa dekade.
"Agar persidangan dianggap adil, itu harus diadakan di depan umum semaksimal mungkin. Pengecualian berdasarkan keamanan nasional atau pertimbangan lain harus dibatasi sejauh dibenarkan secara ketat," katanya.
"Tetapi dalam kasus-kasus ini, tampaknya tidak ada proses publik atau keputusan yang tersedia untuk umum. Ini menimbulkan keraguan apakah pengadilan itu tidak memihak dan independen," tambahnya.
Mekanisme PBB untuk Myanmar dibuat oleh dewan hak asasi manusia PBB pada tahun 2018. Tugasnya adalah mengumpulkan bukti kejahatan internasional dan pelanggaran hak asasi manusia di bekas Burma dan mendokumentasikannya dengan maksud untuk memfasilitasi proses pidana.
(CSP)