Dugaan Korupsi di BTN Medan, Saksi: Akta Jual Beli Belum Ada Saat Kredit Dicairkan

Dugaan Korupsi di BTN Medan, Saksi: Akta Jual Beli Belum Ada Saat Kredit Dicairkan
Mantan Pimpinan BTN Cabang Medan, Ferry Sonefille, saat memberikan kesaksian dalam sidang perkara tindak pidana korupsi yang dilangsungkan di PN Medan, Senin (4/7). (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Mantan Pimpinan Cabang Bank Tabungan Negara (BTN) Medan Ferry Sonefille mengakui Akta Jual Beli (AJB) antara PT KAYA dan PT ACR atas 93 Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang diajukan untuk pencairan kredit senilai Rp 39,5 miliar ke BTN belum ada, namun Surat Perjanjian Jual Beli (SPJB) ada.

Padahal, AJB tersebut merupakan persyaratan untuk roya atau balik nama 93 SHGB tersebut dari PT ACR ke PT KAYA.

Fakta ini disampaikan Ferry dalam kesaksiannya pada sidang lanjutan dugaan korupsi senilai Rp39,5 miliar di BTN Medan. Ferry hadir dalam statusnya sebagai saksi untuk terdakwa oknum notaris Elv di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Senin (4/7).

Dalam kesaksiannya, Ferry mengatakan tidak punya wewenang untuk menolak pengajuan kredit yang diajukan meski tidak punya akta jual beli karena itu kewenangan BTN Pusat. Mengingat, ini menyangkut prospek keuntungan yang bisa diraih BTN dalam pencairan kredit.

"Karena ini bisnis, kita lapor ke (BTN) pusat. Saya tidak punya wewenang untuk menolak pengajuan kredit," katanya saat menjawab pertanyaan Ketua Majelis Hakim Immanuel Tarigan soal pencairan kredit di BTN.

Karenanya, dia memberikan rekomendasi kepada pusat tentang pengajuan permohonan kredit ini. Dalam rekomendasi yang ditandatanganinya, BTN Medan mengajukan rekomendasi permohonan kredit bisa dilakukan. Namun, hingga lima kali pencairan kredit dilakukan, sertifikat itu tidak kunjung diterima BTN.

Mendapat jawaban itu, hakim kemudian meminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menghadirkan pimpinan BTN Pusat untuk mengkonfrontir keterangan Ferry.

Dalam kesaksiannya, Ferry juga mengatakan sampai pencairan Kredit Modal Kerja (KMK) senilai Rp39,5 miliar ke PT KAYA selesai disalurkan secara bertahap, ia tidak pernah menerima 93 SHGB yang diagunkan dalam kredit. Berdasarkan fakta bahwa SHGB belum milik PT KAYA karena masih diagunkan di Bank Sumut atas nama PT ACR, semestinya pencairan kredit tidak dilakukan.

Disebutkan, legal meeting dilakukan 24 Februari 2014. Tiga hari kemudian, 27 Februari, perjanjian kredit baru dibuat antara PT KAYA dan PT ACR. Ferry berdalih sudah ada SPJB antara PT KAYA dan PT ACR 93 SHGB. Namun, AJB-nya belum ada. "Pada saat legal meeting, dokumen belum diperlihatkan," ungkap Ferry.

Mendapat jawaban itu, hakim kemudian mencecar Ferry. "Sewaktu perjanjian kredit jaminan sertifikat tadi belum ada di BTN?" tanya hakim.

"(Yang ada) dokumen pernyataan (cover note) dari notaris," jawab Ferry.

"Apakah cukup dengan cover note? Apakah sama dianggap dengan aslinya?" tanya hakim lagi. Ferry terdiam.

Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) telah menetapkan enam tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengajuan kredit senilai Rp39,5 miliar di BTN Cabang Medan. Dari enam tersangka, satu di antaranya notaris Elv sedang menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor Medan. Lima tersangka lainnya belum diadili, yaitu empat pejabat BTN dan pengembang properti berinisial C yang baru ditahan pekan lalu.

Keempat pejabat Bank BTN itu ialah Pimpinan Cabang BTN 2013-2016, FS, Wakil Cabang BTN bagian Komersial 2012-2014, AF, Head Commercial Lending Unit Komersial 2013-2016, RDPA, dan Analis Komersial Bank BTN Cabang Medan 2012-2015, AN.

Penyidik kejaksaan juga menetapkan Direktur PT KAYA, C, sebagai tersangka. Perusahaan yang dipimpin C tersebut merupakan pengembang yang mengajukan pinjaman ke BTN senilai Rp39,5 miliar untuk proyek Takapuna Residence di dalam kompleks Graha Metropolitan, Kecamatan Sunggal, Deliserdang.

Awal dugaan korupsi yang melibatkan para tersangka bermula pada pemberian dan pelaksanaan fasilitas Kredit Modal Kerja KMK Konstruksi Jasa Griya oleh BTN Cabang Medan selaku kreditur kepada PT KAYA pada 2014. Pada proses pemberian pinjaman itu, diduga terjadi tindak pidana korupsi.

PT KAYA mengajukan permohonan kredit ke BTN Medan untuk pembangunan perumahan Takapuna Residence sebanyak 151 unit. Nilai plafon kredit yang diajukan C (Direktur PT KAYA) sebesar Rp39,5 miliar disetujui dengan agunan 93 SHGB yang masih atas nama PT ACR. Belakangan, kredit tersebut macet sehingga berdampak pada kerugian keuangan negara. Ada juga temuan bahwa pemberian kredit itu tidak sesuai prosedur.

Sebelumnya, Kasie Penkum Kejatisu, Yos Arnold Tarigan, menyatakan jumlah tersangka kasus dugaan korupsi di BTN ini tidak tertutup kemungkinan akan bertambah. Menurutnya, sampai saat ini pengembangan terus dilakukan. Penyidik terus melakukan pemanggilan terhadap sejumlah pihak yang terkait dengan kasus ini dalam kapasitas sebagai saksi dan tersangka.

"Pengembangan terus dilakukan, tidak tertutup kemungkinan ada beberapa pihak yang jadi tersangka," katanya kepada wartawan, Senin (27/6).

Terkait dugaan keterlibatan Direktur PT ACR dalam kasus ini, Yos Tarigan mengatakan bahwa tim penyidik telah memeriksa beberapa kali pengusaha berinisial M tersebut di Kejatisu. "M sudah pernah diperiksa. Tiga kali sudah diperiksa," katanya.

Mengenai apakah yang bersangkutan akan menjadi tersangka, Yos menambahkan, siapapun bisa jadi tersangka dalam kasus ini sepanjang memenuhi dua alat bukti.

"Kalau seseorang dijadikan tersangka harus memenuhi dua alat bukti, begitu dinaikkan ke penyidikan dan ditemukan dua alat bukti, siapapun akan jadi tersangka," ungkapnya.

Dia meminta masyarakat untuk bersabar karena saat ini tim penyidik Kejatisu sedang berusaha menuntaskan kasus dugaan korupsi yang terjadi di BTN Medan ini. Berdasarkan informasi yang didapatkan, tidak tertutup kemungkinan akan ada tersangka baru dalam kasus tersebut. "Akan ada tersangka baru," tandasnya.

(GAS/CSP)

Baca Juga

Rekomendasi