Penjabat Gubernur Aceh, Mayjen TNI (Purn) Achmad Marzuki, mengikuti prosesi pengambilan sumpah saat di Gedung Utama DPRA, Rabu (6/7). (Analisadaily/Muhammad Saman)
Analisadaily.com, Banda Aceh - Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, melantik mantan Pangdam Iskandar Muda (IM), Mayjen TNI (Purn) Achmad Marzuki sebagai Penjabat Gubernur Aceh dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) di Gedung Utama DPRA, Rabu (6/7).
Hal tersebut penting sebagai upaya mempercepat pembangunan dan mensejahterakan masyarakat Aceh. “Sesegera mungkin bangun hubungan komunikasi yang positif dengan semua pemangku kepentingan di Aceh, termasuk dengan Wali Nanggroe, DPRA, Forkopimda, tokoh adat dan ulama,” kata Tito. Ia juga meminta agar program penanggulangan Covid-19 dapat dilanjutkan. Kemudian pemulihan ekonomi dan mempercepat realisasi belanja daerah yang efektif, efisien, tepat sasaran bermanfaat bagi masyarakat. “Menghidupkan UMKM sebagai tulang punggung ekonomi Aceh dan mengurangi kemiskinan,” kata Tito. Kata dia, Aceh merupakan daerah dengan potensi sumber daya alam yang besar. Namun hal tersebut perlu diiringi dengan peningkatan kualitas SDM yang unggul, kreatif dan inovatif. ”Untuk itu saya minta fokus betul terhadap program pendidikan dan kesehatan, agar rakyat Aceh menjadi sumber daya manusia yang terdidik, terlatih dan sehat,” kata Tito. Status Achmad sebagai birokrat dapat berada di posisi yang netral. Sehingga dapat membangun komunikasi yang baik dengan berbagai kalangan untuk pembangunan Aceh. “Dalam kesempatan ini saya menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang tinggi kepada saudara Nova Iriansyah yang telah melaksanakan tugas sebagai Gubernur Aceh dengan baik. Insya Allah husnul khatimah, semoga pengabdian menjadi amal ibadah yang melimpah,” kata Tito. Ketua DPRA, Saiful Bahri, berharap Aceh dapat membangun komunikasi yang baik dengan DPRA untuk bermusyawarah membangun Bumi Serambi Mekkah. Saiful menyoroti implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang dinilainya belum terimplementasi secara maksimal. Banyak hal yang menyebabkannya, seperti tumpang tindihnya regulasi nasional. Ia meminta semua pihak untuk mengawal supaya Undang-Undang kekhususan Aceh itu berjalan maksimal. Ia ingin Achmad dapat bersinergi dengan DPRA untuk memperjuangkan keberlanjutan dana otonomi khusus Aceh yang akan berakhir pada tahun 2027 mendatang. “Dana tersebut sangat dibutuhkan oleh Aceh untuk pembangunan, pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi masyarakat, pengentasan kemiskinan serta pendanaan pendidikan dan kesehatan,” ujar Saiful.(MHD/CSP)