Analisadaily.com, Medan - Musisi, vokalis, dan komposer pemburu suara, Rani Jambak, kembali akan meluncurkan karya terbarunya, hasil eksplorasi yang makin mendalam di ranah penciptaan karya musik soundscape kreatif dalam ruang lingkup objek pemajuan kebudayaan. Kali ini Kincia Aia (kincir air, bahasa Minangkabau), sebuah teknologi tradisional khas masyarakat Minangkabau, menjadi media eksplorasi Rani di projek musiknya dalam ajang program Musicians in Residence 2021-2022 yang diselenggarakan oleh British Council.
Soundscape Kreatif Kincia Aia Rani Jambak, Futurisasi Teknologi Leluhur 204 Tahun Silam
Soundscape kreatif kincia aia Rani Jambak, futurisasi teknologi leluhur 204 tahun silam (Analisadaily/Istimewa)
British Council adalah organisasi budaya Inggris yang bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan. Didirikan pada tahun 1943 dan sudah ada di Indonesia sejak 1948, di mana salah satu pelindung organisasi ini adalah Ratu Elizabeth II. Saat ini British Council beroperasi di 109 negara.
PRS Foundation adalah yayasan penyandang dana terkemuka di Inggris untuk musik baru dan pengembangan bakat. Sejak tahun 2000, PRS Foundation mendukung pencipta musik dan berbagai aktivitas musik baru yang menginvestasikan lebih dari £32 juta di lebih dari 6.700 inisiatif musik baru yang membantu menciptakan masa depan musik.
Huddersfield Contemporary Music Festival (hcmf//) adalah festival musik baru dan eksperimental terbesar di Inggris, berlangsung setiap bulan November dengan lebih dari 50 pertunjukan, instalasi, pameran, bincang-bincang, dan lokakarya. Dengan program internasional yang beragam, hcmf// menyajikan karya artistik yang unik kepada khalayak luas, sambil memberikan peluang kreatif yang inovatif kepada komunitas lokal. hcmf// berdiri tahun 1978, sejak tahun 2006 mereka memperluas ranah musik kontemporer ke berbagai genre (termasuk musik noise, sound art, musik elektronik, budaya club, dll). Kini HCMF telah memiliki perwakilan di beberapa negara.
Sedangkan Program Musicians in Residence merupakan aktivitas residensi komposer dan musisi, yang dipertemukan dengan mitra fasilitator hosting dari negara yang berbeda. Untuk tahun ini British Council bermitra dengan PRS Foundation, lembaga penyandang dana di Inggris untuk pengembangan musik, yang berdiri sejak 1953. Dalam program Musicians in Residence 2021-2022 ini Rani Jambak mendapatkan mitra hosting dari Inggris, yaitu Huddersfield Contemporary Music Festival (hcmf//).
Teknologi Leluhur
Mengenai kincia aia yang menjadi eksplorasi Rani, alat ini merupakan sebuah teknologi tradisional yang telah dimanfaatkan masyarakat Minangkabau Sumatera Barat sejak ratusan tahun lalu. Belum ditemukan catatan sejarah yang pasti mengenai cerita asal-usul penciptaan kincia aia di Sumatera Barat.
Namun tulisan tentang keberadaan kincia aia bisa dijumpai dalam buku “Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles by his Widow” Vol. I, London: John Murray 1830, halaman 356, pada catatan perjalanan Sir Thomas Stamford Raffles saat berkunjung ke pedalaman Minangkabau, tepat 204 tahun yang lalu, Kamis 23 Juli 1818, di mana ia menuliskan, “Danau Singkarak tampak tenang dan damai. Airnya dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk. Sekitar 50 yard [kurang lebih 45 meter] dari hulu sungai (Batang) Kuantan, kincir air yang kokoh digunakan untuk mengairi sawah di dekatnya. Kincir-kincir air ini bahan utamanya dari bambu dan memang dibuat untuk mengairi sawah.”
“Kincir air ini umum digunakan di Menangkabu (Minangkabau) dan dapat dianggap sebagai kemajuan dalam bercocok tanam, yang bahkan belum dicapai oleh Jawa, meskipun Jawa memiliki hubungan dengan Cina sejak lama. Mengingat bangsa Eropa maupun Cina belum pernah menginjakkan kaki di tanah Minangkabu, dan selama berabad-abad penduduk pribumi Minangkabau tidak pernah berintegrasi dengan orang-orang asing, kincir-kincir air ini dapat dianggap sebagai penemuan asli orang pribumi. Seingat saya (Raffles), belum pernah melihat kincir air sejenis ini di Jawa.”
Dalam keterangan diperoleh Analisadaily.com, Rabu (20/7), dijelaskan bahwa penggunaan kincia aia sebagai sistem irigasi di Minangkabau juga pernah diulas AL van Hasselt dalam buku Ethnographische Atlas van Midden Sumatra tahun 1881. Kincia aia banyak digunakan di Minangkabau bagian tengah dan timur, dari Luak Tanah Datar sampai Luak Limapuluh Kota.
Berdasarkan cerita Hasselt, kincia aia banyak ditemukan di wilayah tersebut karena karakteristik alamnya. Lahan persawahan di Minangkabau tengah dan timur berada di kawasan yang lebih tinggi dari aliran air. Karena itu, dibuatlah kincia aia untuk menaikkan air dari sungai dan anak sungai ke sawah. Kincia aia juga digunakan masyarakat untuk menaikkan air dari sungai ke surau dan mushola, untuk kebutuhan MCK, pengairan tabek (kolam ikan), dan ada juga yang memanfaatkan putaran kincia untuk pamangua karambia (pemarut kelapa) pada usaha minyak goreng.
Selain itu, masyarakat Minangkabau memanfaatkan putaran kincia aia untuk menggerakkan mekanisme alu-alu. Putaran poros diubah menjadi gerakan vertikal untuk menaikkan beberapa balok kayu berat secara bergantian, yang nantinya akan jatuh ke bawah akibat gravitasi, dan gerakan ini dimanfaatkan untuk menumbuk padi dan beras, kopi, tepung, jengkol, dan lain-lain.
Nyaris Punah
Sayangnya, keberadaan kincia aia yang dulu banyak terdapat di Sumatera Barat kini nyaris tinggal cerita. Perangkat mekanis yang menunjukkan betapa maju dan cerdasnya leluhur masyarakat Minangkabau dalam mengatasi tantangan alam ini makin sulit untuk dijumpai. Kini di Sumatera Barat kincia aia tinggal tersisa beberapa buah saja, antara lain berada di Koto Baru, di Padang Ambacang (untuk menumbuk beras jadi tepung), dan di Desa Silungkang Duo Kota Sawah Lunto (untuk menumbuk kopi).
“Ada tiga hal yang menyebabkan Kincia aia tak lagi digunakan orang, yaitu hadirnya mesin-mesin modern, seperti mesin penggiling padi, mesin pompa air, mesin grinder kopi; kemudian berubahnya kondisi alam di mana sungai berkurang debit airnya; dan berubahnya sistem irigasi pertanian,” tutur Rani Jambak.
Ia menjelaskan, bahwa ketika kondisi itu semua dibiarkan begitu saja terjadi, maka pengetahuan, ilmu, dan keterampilan tentang kincia aia tak lagi terwariskan ke generasi-generasi selanjutnya. “Jika kita tidak berupaya melestarikan dan mengangkat isu ini, suatu saat kita akan benar-benar kehilangan jejak pengetahuan dan teknologi tradisional ini,” ungkapnya.
Futurisasi Kincia
Berdasarkan pemikiran tersebut, dalam program Musicians in Residence 2021-2022 ini, di mana Rani terpilih sebagai satu-satunya seniman Indonesia di antara seniman dari berbagai negara ini, Rani mengangkat tema kincia aia, sebagai sebuah semangat pemajuan kebudayaan dalam hal temu kenali potensi, pelestarian, dan pengembangan potensi kebudayaan daerah.
Dalam program ini, Rani membuat sebuah replika kincia aia lengkap dengan alu-alu-nya (penumbuk) sejumlah 10 buah, di mana pada tiap alu-alu Rani menempatkan sensor yang sensitif menangkap getaran, melalui pemrograman menggunakan coding, getaran itu diubah dengan softwere MIDI pengolah suara untuk menghasilkan komposisi musik, di mana sumber bunyi musiknya diambil dari kumpulan sampling suara-suara soundscape.
Dalam pertunjukan dengan Kincia Aia, Rani memberikan judul karya Malenong (M)ASO. Dalam pengertian bahasa Indonesia, Malenong (M)ASO adalah memutar waktu dan asal. Pemilihan judul ini berhubungan dengan konsep karya yaitu memutar atau menggulirkan teknologi masa lampau sehingga dapat difungsikan lagi ke masa depan. Selain itu, ASO atau asal dimaknai dengan asal muasal Kincia Aia yang digunakan sebagai pengkaryaan musik adalah produk kecerdasan masyarakat Minangkabau yang tercatat sejak 204 tahun yang lalu.
Beberapa tahun terakhir ini Rani menekuni pembuatan komposisi kreatif berbasis soundscape, yaitu mengambil rekaman-rekaman audio dengan berburu suara di alam dan suara aktivitas kehidupan sosial budaya masyarakat, dan dengan teknologi digital ia merangkainya dalam karya komposisi musik. Proses Rani membuat perangkat kincia aia dan alu-alu ini dilakukannya mulai akhir tahun 2021 sampai bulan Maret untuk studi dan riset, kemudian dilanjutkan pembuatan fisiknya dari bulan Maret sampai Juni 2022, dan berlanjut pada proses pembuatan sensor serta coding untuk pemrograman.
Untuk proses dengan multidisiplin ilmu ini, Rani didukung dan dibantu sepenuhnya oleh suami tercinta, bapak mertua, dan beberapa rekan serta sahabat dekatnya, antara lain seniman kriya M Fauzul Kiram untuk pengerjaaan alu-alu, Rama Anggara, mahasiswa S2 ISI Padang Panjang untuk pengerjaan coding.
Pemajuan Kebudayaan
“Ide kincia aia dan karya komposisi Rani ini menjadi perangkai sejarah. Kincia aia memang adalah benda mati, tapi bisa ‘dihidupkan’ melalui empiris-empiris masyarakat, ketika masyarakat melihat kincia, mereka melihat pertumbuhan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungan alam dan sosial budayanya,” tutur M. Hario Efenur, suami Rani yang juga seorang seniman dari Padang Panjang Sumatera Barat.
Hario menjelaskan bahwa di daerah Lasi, Kabupaten Agam, di lereng gunung Merapi, tempat mereka berdua menetap, dulunya terdapat belasan kincia aia, yang saat ini telah punah tak tersisa. “Sekitar 20-30 tahun yang lalu satu-persatu kincia ini tak lagi digunakan oleh masyarakat dan menghilang,” ucapnya.
Ada beberapa pesan besar yang ingin diceritakan Rani Jambak pada dunia melalui eksplorasi komposisi musik menggunakan kincia aia, Rani menjelaskan, “Melalui kincia aia kita belajar sejarah dan menghargai leluhur masyarakat Minangkabau yang telah demikian maju cara berpikirnya, dan kita nyaris kehilangan jejak sejarah itu bila tidak melestarikan teknologi tradisional kincia ini.”
Eksplorasi mengawinkan kincia aia serta alu-alu yang merupakan teknologi tradisional ini, dengan sensor getar, coding, dan teknologi musik digital MIDI ini, menjadi sebuah “olah objek pemajuan kebudayaan”, menarik masa depan (teknologi digital) dan masa lalu (teknologi tradisional) ke masa hari ini dalam karya komposisi soundscape kreatif. Inilah benang merah tema besar yang selalu dibawa Rani.
Dalam refleksinya, Rani menemukan pemahaman atas dirinya dan segala perjalanan serta pengalaman spiritual yang dirasakannya. Keterkaitannya dengan leluhur, dan bagaimana ia berpikir tentang masa depan, di mana kehidupan adalah sebuah proses rotasi. Itulah kenapa manusia perlu berproses dan terkoneksi dengan leluhurnya, karena suatu saat mereka yang hidup pada saat ini juga akan jadi leluhur bagi masa depan. Inilah konsep future ancestor, sebuah tematik besar yang selalu Rani kampanyekan.
Pelestarian
Tema besar ketiga yang ingin Rani sampaikan melalui karyanya ini adalah, bahwa secara realita telah terjadi perubahan lingkungan hidup. Debit air sungai di Sumatera Barat yang makin mengecil sehingga tak memungkinkan lagi untuk digunakan untuk menjalankan kincia, belum lagi erosi sungai, dan banyaknya sampah yang memenuhi sungai, khususnya sampah plastik yang dibuang masyarakat.
Dalam proses eksplorasi kincia, Rani sempat bersinergi bersama Prigi Arisandi dan Amir Muttaqin, duo aktivis lingkungan dari LSM Ecoton yang melakukan perjalanan Ekspedisi Sungai Nusantara, menjelajahi 65 sungai di Indonesia dengan bersepeda motor dari Surabaya, untuk meneliti kondisi dan kualitas sungai-sungai utama Indonesia.
Selama penjelajahan sungai di Kabupaten Agam, Prigi Arisandi yang pada tahun 2011 meraih penghargaan The Goldman Environmental Prize dan diundang oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama karena kampanye penyelamatan sungainya ini, difasilitasi oleh Rani dan suami dalam menjelajah dan meneliti beberapa sungai di lereng dan kaki Gunung Merapi. Di situ, mereka menemukan sungai-sungai yang tercemar sampah plastik dan mengandung mikroplastik.
Dalam launching dan presentasi karya Rani Jambak terkait kincia aia yang akan dilaksanakan pada tanggal 22 Juli 2022 nanti, Prigi juga akan terlibat sebagai salah satu narasumber untuk menampilkan video tentang bagaimana kampanye lingkungan kolaboarsi seni dan aktivis lingkungan, serta mempresentasikan temuannya tentang kondisi sungai di Kabupaten Agam.
Selain itu, dalam acara launching dan presentasi karya tersebut akan ditampilkan performance karya terbaru Rani Jambak lengkap dengan kincia aia dan alu-alu-nya, serta diskusi yang menghadirkan beberapa narasumber yaitu dari BNPB (Balai Pelestari Nilai Budaya), Dr. Sri Setiawati, MA. (antropolog), dan Drs. Hajizar, M.Sn. (etnomusikolog).
Waktu penyelenggaraan kegiatan ini hampir bertepatan dengan 204 tahun tercatatnya teknologi tradisional kincia aia dalam laporan Sir Thomas Stamford Raffles 23 Juli 1818, yaitu dilaksanakan pada hari Jumat, 22 Juli 2022, mulai jam 20.00 sampai selesai, berlokasi di Rumah Gagas, yang beralamat di Sawah Kudian, Ponggongan Ateh, Nagari Lasi, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Pertunjukan juga akan dirilis dalam media online pada tanggal 25 Juli 2022 pukul 20.00 WIB melalui akun YouTube Rani Jambak.(REL/RZD)