Masa riset dan pengabdian masyarakat berlangsung sejak 17 Juli hingga 30 Desember 2022 (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Langkah pemerintah melepas 1.000 hektare lahan di hutan Kutalimbaru, Deliserdang, mendapat sambutan positif pihak akademisi. Para peneliti di perguruan tinggi di Sumatera Utara langsung bergerak cepat agar lahan tersebut dapat bermafaat bagi masyarakat. Produk baru pun langsung tercipta.
Sebagai informasi, kini hutan belantara tersebut sudah bisa dijadikan sebagai hutan wisata, hutan edukasi, hutan produktif, dan hutan sosial. “Sementara kami mengambil bagian dalam pengabdian dosen ke masyarakat khususnya di Kutalimbaru adalah mengubah hutan konservasi menjadi hutan produktif,” kata Ketua Program Matching Fund Kedaireka UNPRI, Deni Faisal Mirza, Senin (3/10).
Menurut Deni Faisal, masa riset dan pengabdian masyarakat berlangsung sejak 17 Juli hingga 30 Desember 2022. Dan, di Sumut hanya ada 6 PT yang lolos program kedaireka matching fund. Tim yang diketuainya ini akan fokus pada produk baru dari kopi dan aren, yakni cita rasa wine. Mereka akan benahi hutan tersebut, menanami 5.000 bibit aren dan 5.000 bibit kopi.
“Hasil dari hutan kopi dan aren itulah menjadi produk kopi aren rasa wine nonalkohol yang kelak sampai ke kota. Itulah pemberdayaan kita terhadap masyarakat di desa terpencil, agar mereka memiliki hutan kopi, hutan aren, sehingga bisa mengangkat martabat masyarakat lokal,” terangnya.
Tak hanya menyasar hutan Kutalimbaru, ia juga menyasar beberapa hutan lain di wilayah Sumatera Utara. Sebutlah hutan Sidamanik Simalungun, hutan Gunung Bener Meriah Deliserdang, serta Puncak Adem Langkat.
Bahkan bersama tim, ia juga telah membuka jalur komunikasi dalam sebuah kegiatan FGD bersama masyarakat petani kopi, kelompok-kelompok petani kopi, UKM, kepala desa, camat, dan penyuluh pertanian.
Tim Riset Kedaireka Matching Fund Fak Ekonomi UNPRI bersama mitra DUDI (Dunia Usaha dan Dunia Industri) PT ZBB ini pun melakukan FGD di Kecamatan Sidamanik, Simalungun bersama masyaakat petani kopi, masyarakat petani aren, ketua kelompok, penyuluh pertanian juga muspida setempat termasuk lurah dan camatnya.
Setidaknya ada 30 orang melakukan diskusi bersama. Materi dalam diskusi tersebut adalah bagaimana mengangkat petani aren dan kopi di Sumut, bagaimana memasarkan produknya, dan bagaimana menyejahterakan penduduknya.
Terungkaplah dalam diskusi tentang tidak adanya jaringan pemasaran, yang petani tahu jual nira ke agen tuak. Mereka menjual aren seharga 10 ribu per liter. Pendidikan juga tercatat rendah di sana.
“Sehingga kami tergerak untuk membangun jaringan pemasaran nira menjadi gula semut, sekaligus mengangkat harkat dan martabat petani di sana,” kata Deni Faisal.
Sebagai langkah nyata ia bersama tim mampu menampung harga 45 ribu untuk 1 kg gula semut yang dihasilkan oleh petani aren. Jadi katakan jika seorang petani aren memiliki 10 pohon aren saja, dan satu pohon mampu menghasilkan 10 kilogram gula semut maka tinggal mengalikan 10x45 ribu kemudian dikalikan 10 pohon aren.
“Meskipun kami harus mengeluarkan cost lagi untuk proses oven sebagai upaya agar kadar air dari gula semut menjadi rendah demi daya tahan hingga dua tahun mendatang, tapi bagi kami dengan car aitu mampu membantu petani aren,” sebutnya.
Pengalaman FGD di hutan Kutalimbaru bersama masyarakat, petani, juga muspida setempat, tim memasak aren yang diambil langsung dari pohonnya kemudian memasaknya selama 3 jam.
Berbeda lagi pengalaman ketika mengunjungi hutan di Gunung Bener Meriah, gunung yang berada di ujung Deliserdang ini. Tim mendapatkan petani yang kurang teredukasi. Bahkan mirisnya, petani malah beralih menanam jagung.
Situasi yang lebih parah juga dihadapi tim ketika berkunjung ke Puncak Adem, Langkat. Di sana para petani sama sekali tidak memedulikan nilai dari aset tanaman kopi dan tanaman aren. Mereka justru menebang pokok aren, membiarkan tanaman kopi bersemak, dan membangun pondok-pondok kecil sebagai tempat wisata.
Parahnya lagi pemerintah telah memberikan bantuan peralatan bagi petani sebagai rangsangan agar mau fokus bertanam kopi dan aren. Namun ternyata tidak berjalan sesuai harapan, peralatan bahkan tidak disentuh. “Saya bahkan berani untuk membeli 100 kg biji kopi dari petani, namun sampai saat ini mereka tidak mengirimkan juga, karena memang tidak dikerjakan,” aku Deni Faisal.
Yang jelas, penelitian dan pengabdian dosen ke masyarakat ini juga tidak hanya sebatas mengedukasi para petani kopi dan aren, tim bahkan juga akan membantu mengurus legalitas badan usaha penjualan biji kopi dan aren para petani. Tercatat ada sebanyak 20 badan usaha penjualan biji kopi dan gula semut yang berasal dari empat hutan yang disebutkan tadi.
Dalam tim ada dosen, mahasiswa belajar kampus merdeka, ada mitra, masyarakat penerima hasil, dan pemerintah. Juga dari pihak pengusaha, DUDI. Harapan dari kegiatan ini tak lain agar masyarakat hutan menjadi sejahtera, sehingga tak ada lagi terdengar keluhan bahkan makian yang mengatakan pemerintah tidak adil.
“Paling tidak kami sudah berbuat,” kata Direktur Utama PT ZBB sebagai Mitra DUDI di program Matching Fund Kedaireka UNPRI, Zuliana.
Berita kiriman dari: Adelina Savitri Lubis