Acara puncak Konferensi Nasional Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (KNPRBBK) XV (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Jakarta - Acara puncak Konferensi Nasional Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (KNPRBBK) XV resmi dimulai Senin (3/10). Membuka acara, pemangku kepentingan lintas-sektor termasuk pemerintah Indonesia dan organisasi-organisasi masyarakat sipil di tingkat lokal maupun internasional menegaskan pentingnya ketahanan bencana yang dimulai dari tingkat komunitas.
"Bencana terjadi di masyarakat, sehingga resiliensi perlu tumbuh dan diperkuat. Jangan biarkan bantuan membuat masyarakat terdampak bencana menjadi tergantung pada pihak lain,” kata Lilik Kurniawan, Sekretaris Utama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dalam pidato pembukaannya.
Sebagai negara kepulauan yang mengalami lebih dari 3.000 bencana setiap tahunnya, masyarakat Indonesia hidup berdampingan dengan bencana. Konsekuensinya, kesiapsiagaan bencana menjadi penting bagi masyarakat lokal, yang menjadi garda depan sekaligus pihak yang pertama kali terdampak bencana.
Hal ini turut terungkap dalam sesi diskusi tentang temuan dan refleksi pengalaman PRBBK dari Aceh hingga Papua. Pelibatan komunitas pun tampil dalam beragam wajah, untuk menjangkau masyarakat seluas-luasnya.
Di Sumatra Barat, kelompok marjinal seperti petani maupun nelayan turut menjadi bagian dari penguatan kapasitas untuk PRBBK. Demikian pula di Jawa Timur, yang menggunakan pendekatan inklusi untuk penguatan institusi melalui program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) di sekolah.
Inklusivitas juga menjadi poin penting di Nusa Tenggara Timur, yang mewujud dalam Unit Layanan Disabilitas (ULD) tingkat provinsi untuk mendorong partisipasi aktif orang-orang dengan disabilitas. Sementara itu, Bali menyertakan aspek ketangguhan masyarakat dalam peraturan daerah maupun peraturan adat seperti awig-awig dan perarem.
"Saat terjadi bencana, komunitaslah yang bisa menolong diri mereka sendiri, karena di awal belum ada bantuan apa pun yang bisa menjangkau mereka, apalagi di daerah-daerah yang punya tantangan akses seperti Flores Timur," tutur perwakilan dari Komunitas Praktik PRBBK dan Komunitas Desa Wilayah NTT, Magda Rianghepat.
Agar masyarakat dapat terus berperan aktif dalam pengelolaan risiko bencana, mereka perlu didukung oleh sistem tata kelola pembangunan di tingkat lokal seperti desa atau kelurahan. KNPRBBK XV hari pertama turut membahas hal ini dalam sesi bincang-bincang yang diikuti oleh perwakilan kementerian, desa, organisasi nonpemerintah, dan komunitas tingkat desa dari Aceh, Nusa Tenggara Timur, dan Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.
"Refleksi aksi kolaborasi dalam PRBBK di tingkat daerah tahun ini semakin mempertajam kebutuhan untuk menggandeng aktor-aktor yang lebih luas dari tingkat lokal hingga nasional, serta mempererat kolaborasi strategis dengan sektor-sektor lainnya mengingat perluasan dampak, risiko, dan kebutuhan kapasitas di tingkat komunitas. Proses ini juga menjadi kesempatan untuk menengok kembali strategi yang telah dibangun, efektivitas pengelolaan sumber daya yang ada, dan seberapa partisipatif proses yang berjalan, mengingat adanya kerentanan-kerentanan baru yang teridentifikasi," terang Miranti Husein, Wakil Ketua Panitia Pelaksana KNPRBBK XV, merangkum acara hari pertama.
Puncak pelaksanaan KNPRBBK XV berlangsung mulai hari ini hingga Jumat, 7 Oktober 2022. Acara puncak akan terbagi dalam tiga sidang pleno, 10 sesi seminar tematik, dan 6 Ignite Stages (virtual booth). Keseluruhan rangkaian acara dilaksanakan secara daring via Zoom dan dapat disaksikan pula melalui siaran langsung di kanal YouTube PRBBK Indonesia.
(JW/RZD)