Syalom di Huta Salem

Syalom di Huta Salem
Budayawan Manguji Nababan bersama penghuni Huta Salem (Dok. Manguji Nababan)

Huta Salem bukan sekadar monumen kemanusiaan, tapi juga sekaligus simbol untuk mengingatkan ingatan kolektif masyarakat agar tidak melakukan diskriminasi, eksklusi, apalagi kekerasan untuk meniadakan penyandang lepra.

“Di Balige telah berbulan-bulan orang yang berpenyakit lepra dipenjarakan. Jumlah mereka jika tidak salah semula 10 orang, sekarang tinggal 9 orang. Seorang di antara mereka meninggal dalam penjara. Mereka tengah menunggu keputusan hakim tinggi. Perkara yang membuat mereka disidang adalah menikam Tuan Rittich, beheerder (administrator) yang merawat penderita lepra di Huta Salem.

Pada 13 Agustus 1924, sekitar pukul 8 pagi, mereka hendak meninggalkan Balige untuk menjalani hukuman. Sekitar 100 orang datang mengantarkan kepergian mereka. Setelah mobil yang akan membawa mereka disiram karbol, mereka disuruh naik ke dalam bus. Seorang di antara mereka berdiri di tangga bus, lalu berbicara dalam bahasa Melayu:

Tuan-tuan dan saudara yang hadir, mudah-mudahan Allah yang Esa memberi selamat bagi saudara yang tinggal, dan bagi kami yang berangkat. Tuan-tuan, kami dihukum bukan karena kejahatan mencuri, merampok dsb. Tetapi karena kami akan mengobati penyakit kami. Supaya tuan-tuan dapat memaklumi, biarlah saya ceritakan dengan ringkas:

Di Timbang Galung, Pematang Siantar, ada seorang dokter bangsa kita yang pandai mengobati penyakit kami ini (yakni dokter Hamzah). Dulu telah dikirim oleh dokter yang mulia itu obat ke Huta Salem, dan masing-masing kami telah memakai. Mujarab obat itu, penyakit kami pun mengering. Setelah obat kiriman pertama habis, datang obat kiriman kedua. Kami pakai juga. Tapi obat ini sudah dicampur lebih dulu (apa benar? Red), maka tidak manjur lagi.

Pennyandang lepra di Huta Salem sekitar tahun 1925 -Dok. KITLV Digital
Hal itu membuat perasaan kami tidak senang saat itu. Kami lalu pergi ke Pematang Siantar hendak menemui yang mulia dokter itu. Tapi apa lacur, sesampai di Parapat kami ditangkap polisi dan dikirim kembali ke Huta Salem. Di sanalah kami dipukuli dengan kayu hingga luka-luka.

Hal itu membuat kami gelap hati, hingga kami menikam Tuan Rittich. Semua itu telah kami terangkan di depan hakim saat memeriksai perkara kami ini. Kami akhirnya dihukum tiga tahun. Sekarang ini waktu kami berangkat ke Cipinang untuk menjalani hukuman. Mudah-mudahan Tuhan Yang Esa mengasihani kami supaya penyakit kami ini lekas sembuh, dan kami dapat kembali ke tanah kita ini.

Setelah laki-laki itu selesai berpidato, bus pun berangkat.”

Coba Bakar Rumah di Huta Salem

Berita di atas dimuat surat kabar Persamaan edisi 27 Agustus 1924. Surat kabar Deli Courant edisi 4 Agustus 1931, punya versi berbeda tentang kasus itu. Surat kabar itu menyebut orang yang memimpin protes namanya Ambrosius. Ia datang ke Huta Salem pada 1923. Ambrosius pernah bersekolah di Leerlingen van de hoodfdenschool, Narumonda, kemudian menjadi penulis di kantor inspektur di Tapanuli dan sebagai pegawai di Kantor Imigrasi di Glugur, Deli. Selama di Deli ia menderita lepra, dan dirawat di rumah sakit Pulo Sicanang. Dia lalu dipindahkan ke Lau Simomo, karena melakukan penghasutan. Tapi di Lau Simomo ia kemudian dipindahkan ke Huta Salem karena diketahui ia orang Batak Toba. Di Huta Salem, Ambrosius menentang pengobatan yang ada. Ia menginginkan pengobatan diberikan Dr. Hamzah, dan yang secara teratur hadir ke Huta Salem pada 1923-1924.

Karena protesnya tak diterima, ia lalu mengundurkan diri bersama sepuluh penyandang kusta lain. Mereka bermaksud pergi menemui Dr. Hamzah di Pematang Siantar. Dalam perjalanan ke sana, rombongan dijemput oleh Polsek Balige dan dibawa kembali ke Huta Salem. Sesampai di Huta Salem Ambrosius menyerang manajer Rittich, dan menikamnya di hutan. Ambrosius kemudian mencoba membakar rumah-rumah di Huta Salem, tetapi tidak berhasil.

Surat kabar lain, Sumatra Post menyebut alasan lain Ambrocius dan penderita kusta lain melawan Rittich, yakni karena Ritich tidak menuruti permintaan mereka untuk menikah dengan wanita penyandang kusta. Pengurus keberatan dengan perkawinan campur ini, karena dalam adat Batak, penyakit kusta juga merupakan alasan hukum perceraian. Selain itu, perkawinan sesama penyandang kusta akan menyebabkan beban keuangan makin besar sehubungan dengan biaya perawatan anak.Akibat perbuatannya, Ambrosius dihukum 3 tahun.

Agar Terhindar dari Diskriminasi, Eksklusi dan Teror

Kisah hidup penyandang lepra di Huta Salem, seperti juga terjadi di tempat lain, memang bukan melulu kisah diskriminasi, eksklusi, atau tindak kekerasan masyarakat yang kadang merenggut nyawa mereka. Tetapi juga ada konflik-konflik dalam keberadaan mereka sebagai penyandang lepra, semisal perbedaan dalam hal pernikahan antar sesama penghuni kampung lepra atau soal pekerjaan hingga masalah subsidi atau ketersediaan dana untuk kelangsungan perawatan dan kehidupan penderita lepra.

Namun sejarah berdirinya Huta Salem di Laguboti, sejatinya lahir akibat sikap sebagian masyarakat yang kurang memanusiawikan mereka dengan berbagai manifestasi yang kurang beradab. Huta Salem, seperti namanya, lahir membawa misi untuk memuliakan harkat kemanusiaan mereka yang tercabik atas nama stigma, diskriminasi hingga eksklusi dan teror.

Sebuah kisah pilu pernah diceritakan seorang penginjil di Laguboti sebelum berdirinya Huta Salem. Nama penginjil itu Steinsiek. Suatu hari dalam perjalanan menuju ke jemaat filial, jemaat yang hendak naik sebagai jemaat sidi, di tengah jalan ia melihat sebuah pondok yang sedang terbakar dikerumuni warga desa setempat. Namun Steinsiek meneruskan perjalanannya karena ia harus tiba tepat waktu di jemaat tujuan. Usai mengajar ia segera menuju ke tempat peristiwa kebakaran tadi.

Seorang penduduk yang ada di situ memberitahu kepada Steinsiek bahwa pondok dan penghuninya, seorang perempuan tua penyandang lepra, telah dibakar sekelompok warga. Tak lama setelah peristiwa itu Steinsiek juga mendengar peristiwa serupa di tempat lain. (Pdt Jubil Raaplan Hutauruk: 2011).

Sebuah kisah tragis juga pernah ditulis Steinsiek dalam tulisan "Het Nieuwste Bericht Van Hoeta Salem ", seperti dimuat dalam De Rijnsche Tijdschriften edisi 1901.

Suatu hari seorang perempuan lepra dibawa ke Huta Salem oleh beberapa orang. Sebelumnya perempuan itu tinggal di dalam gua. Delapan hari setelah dirawat di Huta Salem, baru perempuan itu mengatakan kepada Steinsiek bahwa di gua tempat ia dulu tinggal sebenarnya juga masih tinggal seorang laki-laki yang juga menderita lepra. Perempuan itu mengatakan bahwa pria itu tidak bisa berjalan, tikus sudah menggerogoti kakinya; selain itu, dia dalam kondisi yang sangat menyedihkan.

Setelah mendengar keterangan itu, Steinsiek segera mengambil tindakan membawa pria malang itu ke Huta Salem. Beberapa orang segera menjemputnya. Saat datang, pria itu seperti telanjang karena bajunya sudah koyak di sana-sini. Kakinya yang digerogoti tikus-tikus itu sangat mengerikan untuk dilihat Setelah empat belas hari pertama dirawat, kondisinya mulai agak membaik, tetapi segera terlihat bahwa ajalnya semakin dekat. Luka-luka parah di tubuh terlalu banyak: semua penuh belatung. Beberapa hari kemudian pria malang itu akhirnya mati, dan Steinsiek mengubur penyandang lepra untuk pertama kalinya.

Sembuh dan Dipulangkan

Namun kisah penyandang lepra di tanah Batak pada tahun 1900-an bukan kisah duka semata. Pada 29 Desember 1935, sebuah pesta besar diadakan di Huta Salem. Sebanyak 12 penderita kusta telah sembuh dan telah dipulangkan. Mereka tidak lagi dianggap berbahaya bagi mereka warga kampung dan lingkungan. Hadir dalam pesta itu Ephorus der Rynsche Zending F. Laadgrebe, Gubernur Daerah Dr. Bosma dan banyak pejabat lainnya. (Sumatra Post 8/1/1936).

Gambaran tentang Huta Salem pada 5 November 1939 digambarkan secara bagus oleh J.J. Van de Velde, kontrolir yang diperbantukan pada Residen Tapanuli, dengan tugas utama pengawasan atas semua keputusan rapat atau peradilan pribumi di seluruh Keresidenan Tapanuli.

"Tadi pagi, aku mengunjungi rumah sakit kusta, Huta Salem (desa yang damai), usaha Zending Rijn (Rijnse Zending), yang letaknya 14 km dari sini. Rumah-sakit itu merupakan kompleks besar di mana 500 penderita kusta yang berasal dari Tanah Batak, dirawat, Mereka tinggal dalam rumah-rumah kecil, tiap rumah dua orang, lelaki dan perempuan terpisah. Semuanya mempunyai pekerjaan, ada yang membuat keset dari ban mobil bekas, atau sandal, yang lain mengukir kayu: tak seorang pun menganggur, dan sementara itu, mereka terus-menerus di bawah pengawasan medis. Ada administratur, didampingi dua perawat wanita berkebangsaan Jerman. Hari ini ada kebaktian khusus di gereja, sebab sebanyak 23 orang telah dinyatakan sembuh sementara, dan diperbolehkan pulang. Ini merupakan suatu pesta besar: keluarganya datang dari tempat-tempat jauh untuk menjemput mereka dengan mobil dan dokar, dan gereja penuh sesak dengan pengunjung. Para penderita tentu saja menempati sebagian besar gereja. Untuk pengunjung, disediakan tempat tersendiri.

Acara dibuka dengan musik dan paduan suara, semuanya dalam bahasa Batak. Mereka, di sini, musikal sekali dan mengharukan sekali mendengar orang-orang sakit ini menyanyikan mazmur-mazmur dengan dua suara. Beberapa dari mereka, sudah 25 tahun berada di Huta Salem, dan nanti, untuk pertama kali, akan kembali ke huta masing-masing sesudah sekian lama berada di rumah sakit ini. Ada yang jari-jarinya tinggal sepenggal saja, tapi menurut dokter penyakitnya tak lagi menular. Pada 8waktu berpamitan, para dokter dan perawat menjabat tangan mereka untuk memperlihatkan kepada keluarganya bahwa mereka tak perlu khawatir terhadap penularan. Namun, bagiku, jabatan tangan ini tidak begitu menarik dan aku merasa lega bahwa mereka tidak datang padaku.

Aku ingat, bahwa di dekat Blang Kejeren juga ada sebuah komunitas kusta di sebuah lembah sungai kecil, tapi itu hanya merupakan tempat pengasingan, di mana mereka dibiarkan saja dan kadang-kadang hanya didatangi seorang mantri yang mengantarkan makanan dan obat-obatan bagi mereka. Dibanding dengan itu, Huta Salem sungguh luar biasa. Apalagi ada bagian tersendiri untuk penyakit-penyakit mata menular, seperti trachoom.

J.J. van de Velde, dalam bukunya, Brieven uit Sumatra (Surat-surat dari Sumatra) terbitan Pustaka Azet Jakarta (1987. Setelah misionaris Jerman meninggalkan tanah Batak, RS Huta Salem dikelola oleh Van der Veen dari Bala Keselamatan Bersama istri dan tiga anaknya.

Sejarah Hua Salem

Huta Salem mulai dibuka pada 5 September 1900. Misionaris Steik adalah orang pertama yang menjadi misionaris yang memberikan pelayanannya di sana bersama Suster Torah van Wedel. Steinsiek awalnya membuat beberapa pondok untuk penyandang lepra di dekat desa Sitalaktak, tidak jauh dari komplek Gedung gereja Laguboti. Namun karena penduduk tetap tak bisa menerima mereka, karena penyandang lepra tetap sering pergi ke onan minta garam dan beras, lalu akhirnya dipilih areal yang lebih jauh dan dengan sarana lebih memadai. Seorang pengusaha kebun dari Senembah-Maatschappij, Tuan Jansen, yang tergerak untuk membantu misi kemanusiaan itu menyumbang f5.000 (Sumatra Post, 14/9/1925).

Keadaan di Huta Salem dibuat seperti keadaan di kampung Batak seumumnya. Masing-masing penghuni memiliki rumah sendiri, yang dibangun dengan gaya rumah Batak. Penerangan listrik cukup, sementara pasokan air layak juga tersediap. Masing-masing penghuni juga memiliki kebun sendiri, anjing dan ayam piaraan. Dengan begitu meski mereka sakit, mereka merasa betah di sana. (Sumatra Post, 7/9/1939).

Saat berada di bawah KR Rittich, yang pertama kali tiba di Sumatera pada tahun 1920 dan ditempatkan di Huta Salem sebagai manajer klinik, Huta Salem berkembang makin maju. Suasana perkampungan benar-benar seperti suasana di huta Batak. Fasilitas Kesehatan bertambah dengan adanya rumah sakit dan sanatorium untuk penderita kusta. Jumlah yang sembuh tiap tahun berkisarv 15-20 orang. Tidak heran jika ia mendapat gelar kehormatan Ksatria Ordo Oranye Nassau dari Kerajaan Belanda. (Sumatra Post, 7/9/1939).

Terancam Terkubur

Pada saat Jepang menduduki Tapanuli, orang-orang Belanda diinternir di sejumlah tempat. Menurut J.J. van de Velde RS Huta Salem pernah jadi tempat internir istri orang Eropa di Balige. Setelah era kemerdekaan Huta Salem diambil alih pemerintah. Budayawan dari Batakologi Universitas HKBP Nommensen, Manguji Nababan pada 4 September 2022 berkunjung ke Huta Salem. Ia menulis kondisi terakhir Huta Salem di laman media sosialnya seperti ini:

"Kini sejarah rumah sakit yang berusia 120 tahun itu terancam terkubur untuk selamanya. Untuk itu perlu perhatian kita bersama untuk merevitalisasi fungsi rumah sakit penyakit kulit tertua ini pada masa mendatang.”

Sebuah ajakan serius. Bukankah Huta Salem bukan sekadar rumah sakit untuk penyandang lepra? Bukankah ia juga simbol untuk merawat ingatan kolektif masyarakat agar tidak melakukan diskriminasi, eksklusi, apalagi kekerasan terhadap penyandang lepra?

(JA)

Baca Juga

Rekomendasi