Tan Guek Hwai di depan guci abu keponakannya di Rumah Abu Vihara Buddha Pantai Labu (JA)
Analisadaily.com - Ada ungkapan, orang mati tak membawa uang atau harta yang dikumpulkan semasa hidup. Tapi urusan mengubur jenazah, bagi orang Tionghoa jelas bersangkut paut dengan uang. Dan terkadang tak sedikit. Mulai dari biaya rumah persemayaman jenazah, biaya krematorium, jika diperabukan, hingga biaya penyimpanan abu jenazah. Lalu bagaimana mereka yang miskin?
Suasana Kegiatan Pengobatan Gratis di Klinik Panti Jompo Fo Shi An, Pantai Labu - Foto Ja
Soal biaya perabuan dan tempat penyimpanan abu jenazah, Lim Siu Thing (47) punya kisah menarik. Tahun 2019, keponakan dari pihak suaminya meninggal dunia. Keluarga suaminya sempat kebingungan memikirkan soal biaya pemakaman, penghasilan suaminya sebagai tukang tambal ban kereta di kampungnya, Batang Nibung, Pantai Labu, Deli Serdang, tak menentu. Kadang untuk menambah penghasilan, suaminya berkeliling ke beberapa peternakan di Pantai Labu: mencari ayam mati!
Untuk apa?
"Untuk pakan peternakan buaya. Dalam sehari bisa terkumpul 100 ekor bangkai ayam, nanti datang
toke yang beli ke sini," tutur ibu 3 anak. Ketiga anak Siu Thing kini bersekolah di Perguruan Dharma Bakti, Lubuk Pakam. Mereka tak dipungut biaya karena di sekolah itu memang ada program beasiswa bagi anak-anak dari keluarga Tionghoa miskin di Kecamatan Pantai Labu. Menurut Siu Thing, kini ada 30 anak-anak yang bersekolah gratis di sana.
Kini saat pembelajaran tata muka sudah mulai diberlakukan lagi, para siswa diangkut pulang pergi Pantai Labu – Lubuk Pakam oleh bus milik Yayasan Buddha Pantai Labu. Mereka tak dipungut ongkos alias gratis.
Asna, penghuni paling uzur di Panti Jompo Fo Shi An
Tak Dipungut Biaya Sama Sekali
Kembali ke soal rumah abu. Saat Shiu Thing dan keluarga suaminya bingung memikirkan soal biaya pemakaman abu jenazah keponakannya, tiba-tiba mereka teringat keberadaan rumah abu yang ada di Vihara Buddha Pantai Labu. Ia mendapat informasi, bahwa pengurus vihara di sana tak memungut biaya karena rumah abu itu memang diperuntukkan bagi orang-orang Tionghoa miskin.
Saat mereka menemui pengurus vihara, ternyata informasi itu bukan omong kosong. Pengurus vihara menerima dengan tangan terbuka dan simpatik.
"Benar kami tak dipungut biaya sama sekali. Baik biaya bulanan atau tahunan Tapi kalau mau menyumbang, ya silakan. Sifatnya suka rela, pokoknya sangat menolong kami," tutur Shiu Thing. Ia ditemui di tengah antrean pengobatan gratis yang digelar GEMA Perhimpunan INTI Sumut bekerja sama dengan Yayasan Buddha Pantai Labu, Klinik Kesehatan Kita, Walubi Sumut, dan Majabumi Tanah Suci Sumut. Acara diadakan di Klinik Kesehatan Panti Jompo Fo Shi An, Desa Rugemuk, Pantai Labu, Deli Serdang, Minggu (3/7) siang. Lim Siu Thing datang bersama ketiga anaknya.
“Mau periksa gigi,” ujarnya.
Lain lagi kisah Linda alias Tan Guek Hwai. Tahun 2018, keponakan perempuan Guek Hwai meninggal karena sakit. Masih siswa SMSA. Guek Hwai percaya itu tersebab keponakannya dapat guna-guna. Keponakan Guyek Hwai ini tinggal bersama orang tuanya di Brastagi.
“Adik saya dan suaminya merantau ke Brastagi,” tuturnya. Adiknya bekerja sebagai karyawan vihara, sedang suaminya kerja
mocok-mocok. Bisa dibilang keadaan ekonomi keluarga adiknya tergolong pas-pasan. Rumah yang ditempati status juga kontrakan. Untuk mengurangi beban ekonomi keluarga adiknya, Guek Hwai usul agar abu jenazah keponakannya disimpan di Vihara Buddha Pantai Labu.
“Sejak 2013 saya jadi petugas kebersihan vihara. Jadi saya tahu persis bahwa rumah abu vihara ini memang sama sekali tak memungut biaya,” tuturnya. Menuru Guek Hwai, karena ia bertugas di vihara, ia juga bisa ikut merawat guci abu keponakannya.
“Sebagai bibinya, saya cukup akrab dengan keponakan saya. Kalau lihat guci abunya, kadang di mata saya terbayang kembali wajahnya, juga kata-katanya,” tutur Guek Hwai.
Berkah Bagi Orang Tionghoa Miskin
Keberadaan rumah abu di Vihara Buddha Pantai Labu bagi Guek Hwai, Siu Thing dan orang Tionghoa miskin di Pantai Labu memang sebuah berkah. Vincen Sanjaya alias Awang, Wakil Ketua Wihara Buddha Pantai Labu, tahu persis kehidupan mereka. “Umumnya mereka buruh ternak bebek, pedagang baju keliling, ada juga yang bertani,” katanya.
Ketua Dewan Pembina Yayasan Buddha Pantai Labu, Amir Kusno alias Abok menyebut kini ada 50 guci abu jenazah dari kapasitas 500 guci abu yang ada di rumah abu wihara. Di rumah abu juga terdapat 48 papan nama leluhur
(sin cu pai). Ia membenarkan bahwa kebanyakan mereka adalah warga Tionghoa miskin di Pantai Labu.
"Biaya kremasi jenazah, guci untuk menyimpan abu, dan hio untuk sembahyang, semua kita gratiskan," ujar Abok saat ditemui Wihara Buddha Pantai Labu. Rumah abu itu sendiri sejak Maret lalu tengah direnovasi. Jika sebelumnya rumah abu itu hanya memiliki luas 5 x 7 meter, kini diperluas menjadi 5 x 13 meter. Perluasan dilakukan agar keluarga yang melakukan sembahyang jadi merasa lebih nyaman lagi.
Awang, yang lahir dan besar di Pantai Labu, mengaku bersyukur dengan keberadaan rumah abu itu. Ia juga mengaku bersyukur dengan dukungan para dermawan atau donator yang peduli pada kesusahan orang-orang Tionghoa miskin di kampung halamannya
Doa Untuk Para Donatur
"Saya sering berdoa agar para donatur dan pengurus yayasan selalu diberikan kesehatan dan rezeki berlimpah," ujar Shiu Thing dan Guek Hwai. Keberadaan rumah abu itu sendiri satu paket dengan keberadaan Panti Jompo Fo Shi An, yang juga bernaung di bawah Yayasan Buddha Pantai Labu.
Jika rumah abu menyimpan jenazah orang-orang Tionghoa miskin yang bermukim di Kecamatan Pantai Labu, penghuni Panti Jompo Fo Shi An berasal dari berbagai daerah. Jumlah mereka kini 23 orang. Mereka juga punya latar belakang ekonomi gurem, dan umumnya terekslusi dari keluarga. Penghuni terbaru, Ationg (72), yang baru kurang lebih sebulan tinggal di sana Bersama istrinya.
"Di sini saya dan istri tak lagi stres memikirkan apa bisa makan teratur 3 kali sehari atau tidak," tuturnya. Saat tinggal di Medan Ationg adalah pedagang
odong-odong, menjaja kue untuk anak-anak. Namun sejak Pandemi Covid-19, ia praktis menganggur. Penghasilan pun terdampak. Untung beberapa kenalan masih kerap mengulurkan tangan. Anaknya juga ikut menanggung biaya hidup Ationg dan istrinya. Namun dengan berbagai pertimbangan, Ationg dan istrinya akhirnya memilih tinggal di Fo Shi An. Sebulan di panti, ia merasa kerasan.
"Di sini tiap pagi usai mandi, saya pergi ke wihara berdoa," katanya. Siang dan sore hari ia juga lagi ke wihara. Ationg pun menemukan kedamaian. Di panti, kesibukan lain Ationg adalah membantu membersihkan taman yang berada di tengah panti.
Asna (87), penghuni paling uzur di panti, mengaku kerasan tinggal di panti karena menemukan Kembali keluarganya. Maklum, Asna yang tak pernah menikah itu berasal dari Kalimantan. Ia merantau ke Medan sejak remaja, jadi pembantu rumah tangga. Tak ada sanak saudara di Medan, Kedua orang tuanya juga sudah meninggal. Meski kadang sering tidak konsisten menjawab pertanyaan karena faktor usia, menurut Awang, keberadaan Asna yang tubuhnya sudah bungkuk, lebih terjamin karena ada perawat yang bertugas mengawasi penghuni panti.
"Kesehatan mereka juga rutin kita cek," tambah Awang.
Masih Butuh Relawan
Tak dipungkiri Rumah Abu dan Panti Jompo Fo Shi An terletak nun jauh dari Medan. Lokasinya di tengah areal kebun sawit, jauh dari pusat keramaian. Masalahnya, semua pengurus yayasan tinggal di Medan, hanya Awang yang tinggal di sana. Mengurus 1 orang jompo saja sudah cukup susah, bayangkan jika sampai ada 23 orang. Lebih lagi dengan ragam karakter dan tingkah laku.
Oleh karena itu Abok sangat berharap semoga ada orang yang terketuk hati mereka untuk bergabung sebagai relawan di Panti Jompo Fo Shi An.
“Terlebih juga saat ini Rumah Abu dan Panti Jompo Fo Shi An sedang direnovasi,” katanya.