Phoa Keng Hek:

Dermawan Sekaligus “Pejuang Pena”

Dermawan Sekaligus “Pejuang Pena”
Phoa Keng Hek (Dok KITLV Digital)

Analisadaily.com - Ia tak hanya sosok tuan tanah dermawan, atau perintis gerakan pendidikan modern (THHK), ia juga penulis yang kritis terhadap kebijakan yang mendiskriminasi warga Tionghoa pada masanya.

"Empat ratus karangan bunga menjadi saksi kenangan penuh penghormatan warga Eropa dan Tionghoa pada pemakaman Phoa Keng Hek (pendiri lembaga pendidikan Tiong Hoa Hwe Koan), yang berlangsung Minggu pagi di pemakaman Petamboeran kediaman Mayor China, Khouw Kim An. Untuk menghormati almarhum, Tuan H.H.Kan ikut berjalan kaki bersama rombongan pelayat dari rumah duka menuju ke tempat pemakaman. Para siswa sekolah Tionghoa menyanyikan lagu perpisahan setelah kepala sekolah Tiong Hoa Hwe Koan selesai memberikan sambutan. Mereka yang hadir ke rumah duka diantaranya beberapa perwakilan dari pemerintah, tokoh-tokoh Tionghoa terkemuka dan konsul China. (De Sumatra Post 27/7/1937.)

Phoa Keng Hek meninggal pada 19 Juli 1937 dalam usia 80 tahun. Iklan duka citanya antara lain dimuat Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie tanggal 22 Juli 1937:

"Dengan kesedihan kami mendalam disampaikan telah meninggal tadi malam pukul 10.30 dengan lembut dan tenang di usia 80 (delapan puluh tahun) Ayah kami tercinta, suami, kakek, kakek buyut, PHOA KENG HEK Ridder i/d. Oranje Nassau Ordo. Atas nama keluarga: KHOUW KIM AN, KHOUW KENG TJIONG, Ir. PHOA LIONG DJIN Dr. KHOUW KENG LIEM. Batavia, 20 Juli 1937. Pemakaman akan dilaksanakan pada hari Minggu, 25 Juli pukul 9 pagi dari rumah kematian Molenviiet - Barat.

Siapa Phoa Keng Hek?

Sejak tahun 2020, nama dan kiprahnya ramai dibincangkan di media sosial. Ragam situs online menulis, bersama H.H. Kan dan Nio Hoey Oen, mereka disebut-sebut memberi donasi 500 ribu gulden untuk pembangunan Technische Hoogeschool Bandung atau Sekolah Tinggi Teknik Bandung. Sekolah teknik ini kelak dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB), yang antara lain melahirkan Soekarno, proklamator dan Presiden RI pertama.

Phoa Keng Hek (duduk, nomor 4 dari kanan) bersama pengurus Sekolah THHK Batavia - Sin Po Edisi Ulang Tahun 1910-1935
Ketiga orang Tionghoa ini memiliki latar belakang beragam. Phoa Keng Hek dikenal sebagai salah satu pendiri lembaga pendidikan Sekolah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) pada 1901. Ia memiliki pabrik beras, teh di Parung, Bogor dan berdagang hasil bumi sebagai usaha kelanjutan usaha ayahnya (Syam Setyatama: 2008). Ia juga dikenal sebagai tuan tanah. Sementara itu, Hok Hoei Kan (H.H. Kan) merupakan anggota dari Dewan Batavia. Adapun Nio Hoey Oen sendiri adalah Kapten Tionghoa yang saat itu menjabat di Batavia.

Komite Penggalan Dana

Keterlibatan ketiga tokoh Tionghoa dalam menyokong pembangunan Technische Hoogeschool te Bandoeng, dimulai tahun 1913 dalam posisi mereka sebagai Anggota Komite Keuangan atau Pengumpulan Dana untuk Yayasan "Technische Hoogeschool di Hindia Belanda." Para anggota komite mewakili berbagai ras dan aliran yang sedang berkembang dan berjuang untuk kemajuan intelektual di Hindia Belanda.(Het vaderland, 26/5/1913). Komite ini ditugaskan untuk menggalang dana sebesar $500.000 untuk pembangunan sekolah tinggi Teknik itu. (Algemeen Handelsblad, 26/5/1914).

Dalam buku De Technische Hoogeschool te Bandoeng, Stichting Van Het Koninklijk Instituut Voor Hooger Technisch Onderwijs in Nederlandsch-Indie (1920), disebutkan Sekolah Tinggi Teknik Bandung pertama kali dibuka pada 3 Juli 1920. Jumlah mahasiswanya saat itu ada 26 orang, 2 orang Indonesia yakni Raden Katamso dan Raden Soeria Nata Legawa, 4 dari bangsa China yaitu Hoo King Hoe, Lie Tjiong Sam, Ong Swan Yoe, dan Tio Tien Bie, sisanya 20 siswa berasal dari bangsa Eropa.

Mahasiswa Technische Hoogeschool te Bandoeng circa 1920 - KITLV Digital
Buku itu antara lain berisi nama-nama anggota Dewan Pendidikan Sekolah Tinggi Teknik di Hindia Belanda, Dewan Pengurus Sekolah Tinggi Teknik Bandung, Dewan Kurator, Para Profesor dan kumpulan pidato dari berbagai pejabat Belanda, pihak universitas, bupati dan tokoh masyarakat.

Ada nama H.H. Kan dan Dr. Yap Hong Tjoen

Nama H.H. Kan dan R.T. Wiranata Koesoema, Walikota Bandung, tercantum bersama 5 anggota kurator lain yang umumnya adalah orang Eropa. Dalam buku itu juga ada naskah sambutan dari Dr. Yap Hong Tjoen. Namun nama Phoa Keng Hek dan Nio Hoey Oen tak tercantum dalam buku tersebut. Berikut nukilan sambutan Yap Hong Tjoen pada acara peresmian Sekolah Tinggi Teknik Bandung itu:

"Tidak diragukan lagi, kami akan memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan di Hindia Belanda untuk menguasai keterampilan Barat secara keseluruhan, karena kami juga merasakan kurangnya orang-orang yang maju secara teknik. Saya masih teringat kata-kata seorang industrialis besar Tionghoa di negeri ini, sewaktu saya datang untuk mengambil dana sumbangan yang dijanjikan untuk dana studi bagi kaum muda Tionghoa. Pengusaha ini berkata lantang dan tegas kepada saya ketika ceknya: 'Pastikan saya mendapatkan insinyur untuk itu'.

Sekarang sistem sewa (opium, pegadaian dan rumah potong hewan) telah dihapuskan. Bisnis uang orang Tionghoa mengalami persaingan ketat dari bank-bank kredit pertanian. Sekarang tanah-tanah pribadi akan diambil alih, banyak orang Tionghoa kehilangan modal. Kami tidak selalu mampu atau bersedia untuk menempatkan mereka di pasar. Kami sedang mencari débouché baru. Kami sangat menantikan saat ketika kami juga dapat memulai industri, mendirikan pabrik, yang, mempromosikan keuntungan pribadi, akan membawa Hindia Belanda lebih dekat ke kemerdekaan ekonomi yang diinginkan secara umum. Di masa mendatang, Technische Hoogeschool akan mensuport kami dengan manajer perusahaan yang diperlukan, jadi kami berterima kasih kepada tuan-tuan yang mendirikan Sekolah ini."

Pentingnya Pendidikan Barat

Pidato Dr Yap juga memberi pemahaman bahwa masyarakat Tionghoa pada tahun 1920-an telah sangat mementingkan pendidikan barat. Menurut Thee Kian Wie (1995), hal itu tak terlepas dari semakin menurunnya peran perdagangan orang Tionghoa sehubungan perkembangan perdagangan besar-besaran dan perbankan Eropa. Di sisi lain, hal ini juga membuat makin banyak orang Tionghoa bekerja sebagai dokter, dokter gigi, guru, atau wartawan. Didirikannya lembaga-lembaga pendidikan tinggi teknik, menurut Thee Kian Wee membuka kesempatan pemuda-pemuda Tionghoa untuk memperoleh keterampilan teknik modern yang memungkinkan mereka menduduki jabatan-jabatan di perusahaan atau bank-bank Eropa.

Barangkali ini yang melatari alasan keterlibatan Phoa Keng Hek dan tokoh Tionghoa lain berdonasi untuk pembangunan Sekolah Tinggi Teknik Bandung. Keadaan ini mirip saat beberapa pengusaha Tionghoa mendukung Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) mendirikan Universitas Res Publica. Pada saat itu, kuota mahasiswa Tionghoa untuk diterima di Fakultas Kedokteran sangat terbatas. Tak heran saat Res Publica membuka Fakultas Kedokteran, banyak pengusaha memberi donasi, tak terkecuali di Medan.

Presiden Tiong Hoa Hwee Koan

Pada 17 Maret 1900, Phoa Keng Hek bersama 20 tokoh Tionghoa mendirikan perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), dan Sekolah THHK menyusul setahun kemudian pada 27 Maret 1901. Menurut Kwee Tek Hoay awalnya THHK hanya mau memperbaiki adat istiadat orang Tionghoa di Jawa yang sudah kolot dan ajaran Konghucu digunakan untuk membetulkan kesalahan-kesalahan itu. Semacam gerakan “purifikasi” budaya. Untuk mempelajari ajaran Konghucu anak-anak harus mengerti bahasa Mandarin. Hal itu mendorong THHK mendirikan sekolah-sekolah Tionghoa sehingga THHK mengkhususkan diri dalam urusan pendidikan.

Namun Mona Lohanda menyebut berdirinya sekolah THHK merupakan respon tokoh-tokoh Tionghoa karena Program Politik Etis Pemerintah Hindia Belanda tak memikirkan pendidikan anak-anak Tionghoa. Pasal 128 Peraturan Pemerintah (Regeringsreglement) tahun 1854 menyatakan bahwa pemerintah hanya mengurus pendidikan bagi warga Eropa dan Bumiputera, sama sekali tidak menyebut pendidikan bagi warga lain yang bermukim di koloni Hindia Belanda, yakni warga Tionghoa dan warga Timur Asing lainnya seperti keturunan Arab. Dengan kata lain, pendirian Sekolah THHK sebenarnya juga bagian dari upaya melawan diskriminasi yang dilakukan pemerintah di bidang pendidikan terhadap warga Tionghoa.

Semangat tokoh-tokoh Tionghoa di luar Batavia untuk mendirikan cabang sekolah THHK cukup tinggi. Sampai tahun 1934, menurut data yang dihimpun oleh Kantor Urusan Cina (Kantoor voor Chineesche Zaken), sudah terdapat 450 sekolah THHK yang tersebar di seluruh wilayah koloni Hindia-Belanda.

Membayar Pajak Kasino

Sifat kedermawanan Pho Keng Hek, telah banyak diriwayatkan penulis. Di antaranya oleh Ang Yang Goan, Redaktur Sin Po. Namun Phoa Keng Hek tak semata dermawan dalam arti filontropis.

Pada abad 19, pemerintah berupaya menambah pendapatan dengan memberikan izin resmi pembukaan arena kasino. Pengusaha kasino dibebani pajak perjudian yang sangat mahal. Pajak itu wajib disetorkan ke kas pemerintah setempat setiap bulan. Kasino ini terbuka untuk umum, tetapi dalam kenyataannya dikhususkan untuk warga Tionghoa, karena warga Asia lainvtidak begitu suka berjudi. Sementara itu warga Eropa tidak merasa nyaman berjudi bersama dengan warga Tionghoa, sedangkan warga Indonesia dilarang memasuki arena kasino tersebut.

Akibatnya pemain kasino umumnya warga Tionghoa. Biasanya orang miskin yang mendadak memerlukan uang dan tidak menemukan jalan untuk mendapatkan dengan cepat, akhirnya pergi ke kasino untuk mengadu nasib, dan kasino akan mengakibatkan banyak orang miskin menjadi lebih sengsara lagi keadaannya Phoa Keng Hek menyadari dengan prihatin betapa membahayakannya kasino ini bagi masyarakat luas.

Untuk memerangi penyakit judi dalam kalangan warga Tionghoa di wilayahnya, Teluk Pucung, Phoa Keng Hek meminta pemerintah untuk menutup kasino, dan dia bersedia membayar ke kas pemerintah setempat sejumlah uang untuk pengganti setoran kasino ke pemerintah. Pemerintah kolonial menyetujui. Kasino pun ditutup. Seiring waktu pemerintah menghentikan cara tersebut, karena menyadari bahwa kebijaksanaannya tidak adil. Semangat pengabdian dan pengorbanan Phoa Keng Hek akhirnya diakui oleh pemerintah Belanda, dan Ratu Belanda menganugerahinya tanda kehormatan Bintang Oranje Nassau. Peristiwa ini merupakan pertama kalinya seorang Tionghoa Hindia Belanda memperoleh penghormatan semacam ini.

Phoa Keng Hek juga tercatat pernah menjadi anggota Komite Pengumpulan Dana untuk Masyarakat Korban Meletusnya Gunung Merapi pada 1930 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? 2/1/1931, donator untuk warga korban kebakaran di Sawah Besar (Bataviaasch nieuwsblad, 23/9/1925) dan kegiatan filantropi lain.

Membela Lewat Pena

Selain dikenal sebagai dermawan, Phoa Keng Hek ternyata juga penulis di surat kabar Perniagaan yang cukup kritis. Pada Perniagaan No. 56 tahun 1907, Phoa Kek Heng menulis tentang ketidaksetujuan pemerintah kolonial terhadap Sekolah THHK yang mengajarkan Bahasa Inggris, bukan Belanda, padahal sekolah THHK berada di wilayah Nederlandsch-Indie. Soal pengajaran Bahasa Tionghoa juga dikritik pemerintah karena orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda sudah tak lagi berhubungan dengan tanah asal mereka.

Menjawab kritik ini, Phoa Keng Hek menulis bahwa selam 20 tahun, Pemerintah kolonial tak suka jika ada orang Tionghoa berbicara dalam Bahasa Belanda. Pemerintah juga mempersulit orang Tionghoa yang ingin jadi pegawai pemerintah.

"Apa faedahnya orang muda Tionghoa terpelajar cara Belanda, sedangkan toko-toko Belanda dan pemerintah tak suka menggunakan pegawai dari bangsa Tionghoa?" Phoa melanjutkan saat Abendanon menjabat Direktur O.E.N., anak-anak muda Tionghoa yang dengan susah payah dan membayar mahal sekolah, saat lulus tidak boleh ikut ujian sebagai calon pegawai pemerintah. Tentang surat jalan (passenstelse) yang wajib dimiliki orang Tionghoa jika mengadakan perjalanan keluar dari kota tempat tinggalnya juga tak luput dari kritiknya.

Pada Perniagaan No. 60 tahun 1907, ia menulis: “jika seorang Tionghoa di Batavia hendak pergi ke Solo, ia harus minta dulu surat pas ke Kantor Polisi Batavia. Asisten Residen Batavia tidak akan memberi pas jika tidak ada keberatan dari residen Solo terhadap orang Tionghoa Batavia yang akan ke Solo. Karena itu harus ada dulu surat menyurat antara Asisten residen Batavia dengan residen Solo, Paling cepat butuh waktu 1 minggu untuk menunggu balasan dari Residen Solo. Jika pemohon ingin dapat balasan lebih cepat, ia bisa menggunakan telegram, tapi biaya ditanggung pemohon. Pemohon juga harus membayar telegram balasan.

"Saya sungguh tidak tahu, ada rahasia apa dibalik aturan yang amat aneh itu?" Phoa juga mengritik penerapan pemberian surat pas yang berbeda tergantung kepala negeri. Ia memberi contoh A tinggal di sebuah tempat. Ia memiliki persediaan surat jalan untuk antisipasi jika ada keperluan mendadak. Tapi jika surat itu baru digunakan setelah 10 hari, ada kepala negeri yang menyatakan surat jalan itu sudah mati. Si A didenda. Ada juga kepala negeri yang mensyaratkan, saat pulang ke tempat asal, surat jalan harus menggunakan meterai, tapi kepala negeri lain tidak mensyaratkan ketentuan materai ini.

"Lewat 24 jam pulang di rumah surat jalan tidak diteken, pemilik surat pas bisa kena denda”. Yang lebih membuat miris menurut Phoa Kek Hek adalah aturan berikut:

"Ada lagi kepala negeri yang memerintahkan orang Tionghoa tidak boleh keluar dari Pecinan lebih dari satu paal, dan ada juga orang-orang Tionghoa yang mengantar mayat ke kuburan diminta surat jalan. Begitu juga mereka yang akan mandi di luar Pecinan diminta surat jalan. Siapa yang melanggar perintah tersebut akan ditangkap, dibawa ke kantor polisi dan dihukum."

Masih banyak lagi kritik Phoa Keng Hek terhadap kebijakan passenstelse. Kritik-kritik itu dimuat dalam beberapa seri tulisannya yang berjudul "Peri Keadaan Bangsa Tionghoa di sini yang dimuat surat kabar Perniagaan sebagaimana terdapat dalam buku Kesusastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 4.

Phoa Keng Hek memang bukan sekadar tuan tanah yang dermawan, bukan juga sekadar Presiden THHK selama 25 tahun, tapi ia juga tokoh yang kritis melihat berbagai bentuk diskriminasi yang dialami warga Tionghoa Indonesia pada masanya. Ia melawan diskriminasi itu dengan pena, meski ia juga tetap membantu pihak yang dikritiknya.

Editor:  J Anto

Baca Juga

Rekomendasi