Mengembangkan Kompetensi Literasi Sejak Dini

Mengembangkan Kompetensi Literasi Sejak Dini
Aqilah Nadira Safia M. Solin (Analisadaily/Istimewa)

TOPIK literasi saat ini sangat sering diperbincangkan baik di dunia pendidikan maupun media. Sesungguhnya kompetensiliterasi merupakan sebuah kompetensi yang kompleks sebabtidak hanya mencakup kompetensi baca tulis tetapi juga memperikutkan kompetensi lanjutan seperti kompetensimengungkapkan apa yang dibaca dan diterima melaluipendengaran dalam strategi berkomunikasi yang lebih mudahdifahami pembaca atau pendengar. Juga termasuk di dalamnya kompetensi memanfaatkan isi bacaan untukmenyelesaikan masalah hidupnya serta kompetensimenciptakan suatu teks baru untuk dinikmati ataudimanfaatkan orang lain.

Sehubungan dengan itu maka kompetensi literasi tidak dapatmendadak tumbuh pada diri seseorang. Ia membutuhkan proses yang panjang mulai dari usia dini sehingga perludisusun cermat mulai dari dunia keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Tulisan ini hanya mengulas bagaimana literasi dapat ditumbuhkan sejak usia dini.

Sembilan puluh persen perkembangan otak anak terbentuk di usia 5 tahun pertama sehingga hanya 10% sisanya terbentuksetelah usia 5 tahun. Pertanyaannya dengan siapakah anakmenghabiskan sebahagian besar waktunya di usia tersebut? Jawabnya sebahagian besar anak usia dini menghabiskan waktunya di rumah bersama keluarga.

Sumber lainnya menyebutkan bahwa seorang anak membawa100 miliar sel otak pada saat lahir dan 700 – 1000 siap terbentuk setiap detik. Potensi otak ini lah yang memampukan seorang anak untuk dapat memahami dunianya bahkan dapat berkontribusi secara efektif kelak di usia dewasanya.

Namun banyak orangtua yang tidak memahami sehingga tidakmemanfaatkan usia emas anak selama berada bersamamereka. Ada anggapan yang menyatakan bahwa orangtuabekerja memiliki waktu sedikit bersama anak-anak mereka sehingga tidak akan mampu secara maksimalmenumbuhkembangkan kompetensi literasi anak-anak mereka.

Namun kenyataan lain dapat juga kita saksikan dimana orangtua bekerja malah terlihat lebih efektif dalam meningkatkan kompetensi literasi anak-anak mereka dibanding orangtua yang tidak harus terikat jam kerja.

Dengan demikian kesadaran akan strategisnya usia anak balita serta perencanaan yang disusun secara baik lah yang menentukan apakah sebuah keluarga dapat memanfaatkan 5 tahun pertama anaknya secara cerdas. Dengan kata lain, kebersamaan yang bermutu dengan anak sesungguhnya dapat disiasati secara baik dan cermat.

Orangtua Bercerita, Membacakan Cerita, dan Mendongeng untuk Anak

Orangtua telah melewati banyak persitiwa di dalam hidupnya. Peristiwa itu dapat meninggalkan rasa bahagia maupun duka. Pengalaman hidup orangtua dapat dijadikan sebagai materi dalam bercerita pada anak.

Orangtua tidak harus meluangkan waktu secara khusus untuk bercerita kepada anak-anaknya. Waktu makan pagi atau malam dapat dimanfaatkan untuk ayah ibu menceritakan pengalaman hidup mereka atau di setiap ada kesempatan duduk bersama.

Sebuah kisah tidak harus diselesaikan dalam sekali bercerita. Orangtua dapat menghentikan bercerita ketika anak sudah jenuh atau sudah ingin bermain bersama teman-temannya. Bahkan ketika anak sangat antusias pun orangtua dapatmenghentikan cerita untuk disambung di hari berikutnya.

Hal kedua yang dapat dilakukan orangtua adalah membacakan cerita. Banyak buku-buku cerita anak bergambar dan berwarna-warni dalam kalimat-kalimat pendek dan sederhana yang dapat ditemukan di toko buku. Orangtua dapat menyediakan buku-buku seperti ini secara berkala di rumah. Apabila ekonomi keluarga memungkinkan orangtua dapat mengumpulkan sebanyak-banyaknya buku cerita untuk dibacakan bagi anak-anak mereka. Orangtua juga dapat mendaftarkan diri sebagai anggota perpustakaan agar dapat meminjam buku yang sesuai untuk dibacakan kepada anak-anak mereka.

Sama halnya dengan kegiatan bercerita tentang kisah hidupnya, kegiatan membacakan cerita juga dapat dilakukan di waktu-waktu yang tersedia. Yang penting diperhatikan adalah konsistensi dan keberlanjutannya, apakah setiap hari atau sekali dua hari, dst. Sebuah buku juga tidak harus diselesaikan dalam sekali bercerita. Apabila seorang anak lebih suka memegang buku dan ‘membaca’ gambarnya orangtua harus memenuhinya.

Hal kedua adalah mendongeng untuk anak. Untuk kegiatan ini orangtua dapat membaca cerita-cerita edukatif dari berbagai sumber untuk diceritakan kembali kepada anak-anak mereka dalam bahasa yang mudah mereka mengerti. Banyak dongeng-dongeng menarik yang dapat dipilih untuk diceritakan secara berganti-ganti.

Memberi kesempatan anak bercerita, ‘membacakan’ cerita, dan mendongeng juga merupakan langkah strategis dalammenumbuhkan kompetensi literasi anak. Pada kegiatan inianak diberi kesempatan untuk mengungkapkan kembalidongeng atau cerita yang telah pernah didengar dan dibacakanuntuk mereka.

Cerita dan dongeng anak tidak harus dikoreksi karena tidakharus sesuai dengan isi cerita yang didengarnya maupun apayang tertera pada buku cerita. Orangtua harus memberikeleluasaan pada anak mengembangkan ceritanya sendiri walau terasa tidak logis. Isi cerita memang penting tetapi rasa percaya diri anak untuk berimajinasi jauh lebih penting.

Adakalanya seorang anak melompat dari satu cerita ke ceritalainnya. Orangtua tidak perlu meluruskannya ataumembenarkannya atau menghentikannya karena ceritanyasudah berpindah.

Sama halnya dengan kegiatan bercerita, kegiatan ‘membacakan’ cerita juga harus didukung dengan suasanayang sama yakni tidak untuk direvisi atau dikomentari karenaorangtua menganggap tidak benar. Pada saat anak ‘membaca’ gambar sapi sebagai jerapah orangtua dapat untuk sementara membiarkannya apabila fokus saat itu adalah untuk memberikeleluasaan pada anak untuk berimajinasi bukan untuk memperkenalkan nama-nama binatang.

Kegiatan mendongeng juga dapat didorong setiap waktu. Anak dapat mendongeng dengan dongeng yang sama dengan yang pernah didengarnya atau membawa dongeng ke arah fantasi yang disukainya. Apabila kesempatan seperti ini diberikan kepada anak, maka anak akan dengan mudah menapak naik ke tangga kompetensi literasi kedua yakni mengungkapkan kembali sesuatu yang pernah didengar dan dibaca dengan bahasa dan imajinasinya sendiri.

Bermain dan Melakukan Kegiatan Lain Sambil Bercerita

Kegiatan orangtua bercerita, membacakan cerita dan mendongeng tidak harus dalam suasana tenang dan fokus. Orangtua dapat bercerita pada saat anak melakukan kegiatanlain seperti menggunting, mewarnai, dan kegiatan lain. Sebaliknya orangtua juga dapat meminta anak untuk berceritapada saat ia menggambar atau melompat-lompat misalnya.

Kegiatan fisik yang dilakukan pada saat bercerita adakalanyamembuat anak lebih kreatif dalam melanjutkan imajinasinyadibanding ketika disuruh duduk tenang.

Orangtua juga dapat bercerita sambal memasak, merapikanlemari, atau membersihkan rumah. Sering sekali orangtuajustru dapat menafaatkan waktu tersebut untuk melibatkananak secara sukarela dalam membantu pekerjaan rumah.

Kegiatan bercerita, membacakan cerita, dan mendongengseharusnya juga ditata secara cermat dan sistematis di sekolah. Guru dapat menceritakan 1 atau 2 buah buku dalamseminggu dan mencipatakan kegiatan belajar sambal bermaindari bercerita sambal tetap merujuk kepada kurikulum.

Apabila seorang anak mendapat kesempatan mendengarkan 1 dongeng dalam 1 tahun bersekolah di PAUD, maka telah menyerap 36 buah buku cerita di kepalanya. Bayangkan bilahal yang sama dilakukan di Sekolah Dasar. Seorang anakdengan demikian telah membaca cerita imajinasi/fiksisebanyak 7 x 36 buah = 252 buah buku, sebuah jumlah yang fantastis bila kita bandingkan dengan minimnya jumlahbacaan peserta didik saat ini.

Apabila kegiatan membacakan cerita juga diikuti dengankegiatan menceritakan kembali isi cerita yang dibaca, tentu tanpa harus sama dengan naskah aslinya, maka seorang anak telah diberi kesempatan bergulat dua kali dengan 1 cerita (membaca dan menceritakan kembali isi bacaan), yang bermakna 2 x 252 = 504 buah buku. Sekali lagi ini merupakansebuah jumlah yang fantastis bila kita bandingkan dengan minimnya jumlah bacaan peserta didik saat ini.

Masyarakat juga dapat menambah pengalaman membaca ini berkali-kali lipat dengan cara memanfaatkan Lembaga-lembaga yang ada seperti perwiridan. Ibu-ibu dapat menabung sebanyak Rp. 4000 untuk membeli 1 buku dalam seminggu sehingga bila anggota perwiridan berjumlah 20 orang sajamaka akan terkumpul 20 buah buku dalam 1 minggu dan 80 buah buku dalam 1 bulan.

Ibu-ibu dan bapak-bapak perwiridan dapat melakukan kegiatan ini selama 1 tahun (52 minggu) dengan jumlahtabungan bervariasi sesuai harga buku. Maka sebuah perwiridan telah dapat memiliki 20 x 52 buku dalam setahunyakni 1040 buah. Sebuah jumlah yang fantastis untuk sebuah perwiridan dengan anggota yang minim.

Kenyataannya anggota perwiridan selalu lebih banyakjumlahnya dan mereka telah berkegiatan bertahun-tahunbahkan puluhan tahun. Dapat dibayangkan bahwa mereka di lingkungannya telah memiliki ribuan buku yang dapat mencerdaskan dan meningkatkan kompetensi literasi anak-anak mereka.

Masyarakat atau ibu-ibu perwiridan dapat memanfaatkan hari libur untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan terkait buku-buku yang telah dibaca anak-anak mereka. Dengan cara inipun mereka telah berkontribusi dalam meningkatkan kompetensi literasi anak-anak mereka ke tahap kedua.

Kompetensi literasi anak sesungguhnya merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, orangtua, dan masyarakat. Dengan perencanaan yang baik dan sistematis, seorang anak Indonesia dapat mencapai tingkat kompetensi yang setinggi-tingginya dalam literasi karena jam terbang dalam membaca, menceritakan kembali apa yang dibaca, dan memanfaatkan isi bacaan, akan membuat mereka menjadi sangat kompeten menghasilkan teks-teks baru utnuk dinikmati dan dimanfaatkan masyarakatnya sebagai salah satu bentuk kontribusi anak-anak Indonesia terhadap masyarakatnya.

Penulis Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISP USU

Berita kiriman dari: Aqilah Nadira Safia M. Solin

Baca Juga

Rekomendasi