Mujianto menjalani persidangan di PN Medan (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Direktur PT Agung Cemara Realty (ACR) Mujianto dengan tuntutan 9 tahun penjara karena dinilai terbuki korupsi.
Selain hukuman penjara, JPU juga menuntut Konglomerat Medan itu untuk membayar denda sebesar Rp 1 miliar dengan subsider 1 tahun kurungan. Sidang tersebut berlangsung di ruang Cakra VIII, Pengadilan Negeri (PN), Jumat (18/11).
JPU Isnayanda mengatakan, perbuatan terdakwa Mujianto terbuki melanggar Pasal 2 ayat 1 Jo pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
"Dan Pasal 5 ayat 1 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang," kata jaksa dihadapan Majelis Hakim yang diketuai Immanuel Tarigan.
Jaksa juga menuntut agar Terdakwa Mujianto membayar Uang Pengganti (UP) senilai Rp 13 miliar lebih dengan ketentuan, sebulan setelah perkaranya berkekuatan hukum tetap, maka harta benda Terdakwa disita kemudian dilelang JPU.
"Bila harta benda tidak mencukupi, maka akan diganti dengan pidana penjara selama 4 tahun 3 bulan," tegas jaksa.
Setelah mendengarkan nota tuntutan jaksa, Majelis hakim yang diketuai Immanuel Tarigan, menunda persidangan hingga pekan mendatang.
Sebelumnya dalam dakwaan jaksa, mengatakan bahwa kasus ini berawal saat Mujianto melakukan pengikatan perjanjian jual beli tanah kepada Canakya Suman seluas 13.680 m2 yang terletak di Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deliserdang.
Seiring waktu berjalan, PT KAYA dengan Direkturnya Canakya Suman mengajukan kredit Modal Kerja Kredit Konstruksi Kredit Yasa Griya di bank plat merah tersebut dengan plafon Rp 39,5 miliar guna pengembangan perumahan Takapuna Residence di Jalan Kapten Sumarsono dan menjadi kredit macet, serta diduga terdapat Peristiwa Pidana yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Kemudian, dalam proses pencairan kredit tersebut tidak sesuai dengan proses dan aturan yang berlaku dalam penyetujuan kredit di perbankan, akibatnya ditemukan peristiwa pidana yang mengakibatkan kerugian keuangan negara Rp 39,5 miliar.
(JW/RZD)