Ilustrasi (Analisadaily/Istimewa)
Oleh: Guntur Adi Sukma
WARNA-warni letusan kembang api menghiasi langit berbagai belahan dunia, Minggu (1/1) dini hari. Di Kota Medan dan sekitarnya juga. Disambut gempita dan sorak-sorai kerumunan orang yang datang berbondong-bondong menonton keramaian itu. "Pesta" kembang api menyambut Tahun Baru 2023. Berlangsung belasan menit. Setelah usai, semua bergerak membubarkan diri. Pulang. Langit kembali hitam dan hening.
Almanak berganti. Tahun baru datang. Waktu anyar yang kemudian diisi berbagai resolusi. Mulai dari awam hingga petinggi negeri. Mulai dari pengangguran sampai pejabat pemerintahan. Muncul pertanyaan: sudah mampukah kita mengelola waktu, terutama di pemerintahan yang salah satu ukuran kinerjanya ialah ketepatan, kecepatan atau periodesasi saat penerapan kebijakan, pembangunan dan pelayanan publik?
Data dan fakta yang ada bisa jadi bahan renungan. Contoh, data Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Pada 2021, salah satu pelayanan publik terbanyak dikeluhkan dan dilaporkan adalah penundaan berlarut. Memperlama pelayanan tanpa alasan jelas dan kredibel. Tahun lalu, keluhan sama masih terjadi. Dampaknya, banyak waktu terbuang percuma. Pelayanan tidak optimal.
Paling sempat menghebohkan adalah waktu bongkar muat (dwelling time) di pelabuhan. Pada 2016, "dwelling time" mencapai semingguan. Menghabiskan biaya besar dan membuat pengusaha pusing. Sekarang, menurut Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut B Panjaitan, "dwelling time" sudah lebih singkat: 2-2,5 hari. Bahkan, Indonesia masuk dalam 20 besar negara di Asia Tenggara yang punya pelabuhan terbaik. Kemajuan yang patut diapresiasi.
Membuang waktu
Keluhan soal waktu juga terjadi dalam pengurusan izin usaha dan investasi. Mulai dari pusat ke daerah. Tuntas di pusat, belum tentu selesai di daerah. Ada izin yang dari awal hingga selesai pengurusan memakan waktu bertahun-tahun. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadia, mengakui itu. Sulitnya minta ampun, katanya.
Sekarang, semestinya izin usaha lebih mudah didapat dan dalam waktu lebih cepat. Apalagi, pemerintah memangkas prosedur berdasarkan indikator yang ditetapkan. Tercatat, dari 90-an prosedur menjadi tinggal 49 prosedur. Dari 9 izin menjadi 6 izin. Semula selama 1.566 hari (4 tahun lebih) menjadi 132 hari atau 4-5 bulan.
Dunia usaha mengakui ada perbaikan pasca debirokratisasi perizinan lewat sistem Pendaftaran Daring Satu Pintu (One Single Submission/OSS) yang dibentuk. Tapi, keluhan masih muncul. Antara pusat dan daerah juga terkadang dianggap tak sinkron. Akibatnya, masih membuang waktu.
Dalam realisasi proyek pembangunan, "buang-buang" waktu juga terulang setiap tahun. Paling kentara ialah proyek fisik. Selalu dikebut di akhir tahun. Padahal, cuaca akhir tahun di negeri kita sebenarnya tak mendukung pola itu. Intensitas hujan sangat tinggi. Pekerjaan tak bisa rampung tepat waktu. Kalaupun tuntas, kualitasnya dipertanyakan.
"Jam karet"
Di dalam masyarakat, juga ditemui fenomena kurang menghargai waktu itu. Buahnya adalah tidak disiplin. Dalam berlalu lintas, misalnya, kita sering melanggar lampu lalu lintas. Tetap melaju saat lampu merah. Alasannya, mengejar waktu. Ironisnya, kita sering tidak memprioritaskan ambulans yang tengah berkejaran dengan waktu demi keselamatan pasien yang dibawanya.
Selain itu, juga ada kebiasaan jelek terkait waktu. Disebut "jam karet" atau "ngaret". Pelakunya bisa siapa saja, tak terkecuali para pemimpin masyarakat, pejabat negara dan elite bangsa. Bahkan, di dunia bisnis sekalipun yang seharusnya sangat menghargai dan presisi soal waktu.
Jamak terjadi, saat ada sebuah acara atau kegiatan, waktu awal dimulainya kegiatan molor dari yang ditentukan. Mulai dari belasan menit hingga berjam-jam. Sering tanpa penjelasan. Jikapun ada, biasanya sudah dikenali sebagai "basa-basi". Kita mungkin tidak terima atau maklum, tapi tetap saja "takluk".
Sampai sekarang, kebiasaan ini belum banyak berubah dibanding puluhan tahun lampau. Meski sudah sering diingatkan agar lebih menghargai waktu. Punya manajemen waktu yang baik. Dampaknya, sebagai satu bangsa, kita dijuluki sebagai "bangsa yang santai". Julukan dalam konotasi miring.
Konsep waktu
Dalam soal kebudayaan atau konsep waktu, seorang pakar, Edward T Hall, dalam karyanya "The Dance of Life" membagi corak dan karakter kebudayaan menjadi dua: monokronik dan polikronik. Masyarakat monokronik disebut memandang waktu sangat kaku dan pas serta mencitrakan diri sebagai masyarakat yang sangat disiplin. Melewatkan waktu berarti menimbulkan kerugian. "Waktu adalah uang" menjadi peribahasa untuk menggambarkan karakter masyarakat seperti ini.
Sementara, masyarakat polikronik digambarkan sebagai masyarakat yang memandang waktu sebagai sesuatu yang eklektik dan longgar. Luwes dan bisa dikompromikan. Bukan sesuatu yang mesti senantiasa presisi. Disebut banyak ditemukan dalam masyarakat pertanian dan nelayan.
Dilihat dari konsep ini, masyarakat Indonesia cenderung polikronik. Menilai waktu sebagai sesuatu yang luwes. Bisa dikompromikan. Sehingga, tak heran kalau pada akhirnya muncul budaya "jam karet" atau pelonggaran waktu yang dari sudut pandang karakter monokronik dianggap negatif.
Seiring zaman, bukan saatnya lagi bila kita masih berkarakter polikronik "berat". Kita dituntut bisa monokronik juga. Sehingga, memadukan keduanya adalah yang paling tepat. Di saat formal, sebaiknya bersikap monokronik agar tidak membuat kehidupan banyak orang, apalagi negara dan pemerintahan, berantakan. Di waktu informal, kita boleh polikronik. Misalnya, janji bertemu untuk "ngopi bareng". Dari pada menentukannya pada pukul 17.30, lebih luwes kalau janjiannya adalah menjelang senja.
Dengan begitu, kita telah sungguh-sungguh memaknai dan menghargai waktu sebaik mungkin. Tidak meremehkannya. Karena, jika merusaknya, kita akan terbunuh oleh waktu itu sendiri.
Penulis adalah Redaktur Pelaksana Analisadaily.com
Berita kiriman dari: Guntur Adi Sukma