Buku Kumpulan Puisi "Orang-orang Perbatasan". (Analisadaily/Bambang Riyanto)
MEMBACA kumpulan puisi “Orang-orang Perbatasan”, Karya Oppungleladjingga kita segera mengetahui, bahwa penyair adalah ia yang telah berumur dan kini sedang dilumat rasa gelisah pada apa yang terjadi di sekitarnya.
62 puisi dalam buku ini adalah hasil pemilihan karya dari penyair dalam rentang waktu 2008 - 2022. Namun, periode di 2015-2016 menjadi periode penulisan yang mendominasi tahun pembuatan puisi dalam buku bersampul Si Oppung yang sedang bersepeda ini.
Si Oppung hendak memosisikan dirinya sebagai penikmat alam yang dengan tergesa kemudian mengabadikannya dalam bait puisi. Proses estetika terkesan begitu cepat, tanpa proses kontemplasi yang panjang.
Hal ini ditandai dengan gaya penulisan yang tidak konsisten dan kurang mendalam. Sekali waktu, Oppung hendak menjadi Amir Hamzah dengan style memantun dan berima. Tapi pada kali lain ia hendak menjadi Chairil yang mendayu.
Perubahan stilistika antara satu puisi dengan puisi yang lain membuat puisi-puisi kurang bisa ternikmati. Tapi dari situ pula kita menjadi tahu, bahwa penyair--Si Oppung, adalah orang yang telah banyak mengunyah karya sastra. Dan kini ia sedang gelisah, menemukan bentuk dari puisi-puisinya.
Puisi “Orang-orang Perbatasan”, “Pak Ketipang Ketipung”, “Lagu Anak Seruling” adalah beberapa puisi yang menganut perimaan a-a-a-a atau a-b-a-b. Namun pada beberapa puisi lain, sebut saja “Sosok Malam”, “Stasiun Waktu”, “Umur Kehidupan” adalah beberapa puisi yang dibebaskan dari keteraturan rima.
Mungkin saja, itu terjadi karena puisi-puisi ini ditulis Oppung dalam rentang waktu yang berbeda-beda, sehingga sekalipun memiliki tema sama: alam, Tuhan dan romansa, namun puisi-puisi ini menjadi “sulit” untuk dinikmati sebagai kumpulan puisi yang menjadi suatu kesatuan--yang mencirikan puisi Si Oppung itu sendiri.
Hanya ada satu puisi yang ditulis di 2022, yakni puisi “Senandung Anak Jalanan” sebuah puisi tanpa keraturan rima dan lugas merekam apa yang ketika itu dilihat dan dirasakan si penyair. Kelugasan itu yang harusnya menjadi ciri khas dari Oppung yang kini semakin menenggelamkan dirinya di kehidupan alam dan kereta angin (baca: sepeda).
Lepas dari itu, puisi adalah sarana pembebasan. Dari kumpulan puisi “Orang-orang Perbatasan” kita bisa melihat bagaimana bait-bait yang ditulis adalah medium pembebasan dari apa yang dipandang, didengar dan dirasakan.
Karena diksi yang terlalu lugas itu pula, kita mampu membayangkan apa yang dideskripsikan dalam setiap puisi yang bertema alam, atau kegelisahan penyair terhadap kehidupan kota yang kian miris dan atau tentang religiusitas si penyair.
Pada “Orang-orang Perbatasan”, kita tersadarkan bahwa jauh dari hegemoni kaum urban yang hingar bingar barangkali adalah jalan lapang menuju kedamaian dan ketenangan hidup, khususnya untuk mereka yang sedang menuju senja.
Penulis: Bambang Riyanto
Editor: Bambang Riyanto