Bhante Y.M. Jinadhammo Mahathera (Dok Guan Tjun)
Suatu hari di bulan November 2022, Guan Tjun, ikut dalam rombongan yang membawa Bhante Y.M. Jinadhammo Mahathera dari Magelang ke Bali. Saat berada di Wihara Watugong, Ungaran, Semarang, Guan Tjun mengambil beberapa foto "Eyang," begitu Bhante Jinadhammo Mahathera, karib disapa oleh umat. Selesai pengambilan foto, Eyang berkata kurang lebih begini:
"Guan Tjun, foto saya yang sedang duduk di bawah pohon Sala, nanti kamu cetak dan kamu kirim ke wihara-wihara di seluruh Kota Medan. Bila perlu ke seluruh wihara di Sumatera Utara."
Meski agak heran dengan permintaan eyang, Guan Tjun mengiyakan permintaan itu.
"Pohon Sala itu tempat Sang Buddha mangkat. Karena itu saya tak berani cetak foto itu," tutur Guan Tjun saat ditemui di Wihara Borobudur, Medan, Sabtu (28/1).
Menurut fotografer yang telah sepuluh tahun lebih mengabadikan perjalanan Eyang ke berbagai wihara itu di tanah air dan luar negeri itu, beberapa orang yang ajak berdiskusi, menyetujui sikapnya.
"Rencana saya, foto itu akan saya cetak sekitar Oktober atau November 2023, memeringati wassa beliau ke-53," ujar Guan Tjun. Namun takdir Tuhan ternyata berkata lain.
Duka Menyelimuti Umat Buddhis
Bhante Thanavaro Mahathera - Foto J Anto
Kamis pagi, 26 Januari pukul 04.00 WIB, duka menyelimuti umat Buddhis di Indonesia, terlebih di Sumatera Utara. Sebuah kabar lelayu tentang mangkatnya salah satu biksu paling senior di Indonesia, itu segera memenuhi percakapan di grup-grup komunikasi digital. Emoticon perlambang rasa sedih dan ungkapan duka, silih berganti muncul di layar ponsel. Sejak siang Wihara Borobudur Medan juga mulai ramai di datangi umat.
Awalnya tidak sedikit yang merasa penasaran, dan tak percaya dengan berita lelayu tersebut. Tapi setelah melihat sendiri jasad Eyang, wajah mereka seketika bergelayut mendung, penuh rasa duka. Bahkan muncul isak tangis.
"Eyang memang punya tempat spesial di hati umat. Banyak umat yang punya masalah setelah berkonsultasi dengan Eyang masalah mereka mendapat jalan keluar, dan hidup mereka berubah," ujar Anggota Dewan Pengawas Yayasan Wihara Borobudur, Andianto saat ditemui di Wihara Borobudur, Sabtu (28/1).
Tidak hanya itu, bhikku kelahiran Boyolali, Jawa Tengah, 3 September 1944 itu juga dikenal sebagai sosok yang sederhana, ramah, suka humor, dan welas asih terhadap setiap orang yang membutuhkan bantuan. Sikap welas asih eyang semata didasari rasa kemanusiaan.
"Banyak warga non Budhhis yang kerap mendapat bantuan dari eyang," tutur Sutopo, yang pernah menjadi Ketua MBI Medan. Eyang menurut Sutopo, rajin mengumpulkan setiap dana yang dberikan umat, terutama saat perayaan Kathina. Uang itu dibagi-bagikan warga kurang mampu yang kadang datang ke wihara.
Anggota Dewan Pengawas Yayasan Wihara Borobudur, Andianto - Foto J Anto
Simpati Umat Lintas Agama
Tak heran, di tengah kegembiraan masyarakat merayakan perayaan Tahun Baru Imlek 2023, berita mangkatnya eyang segera mengundang rasa prihatin umat Buddhis, para bhikku, dan berbagai organisasi keagamaan Buddha. Berbagai ungkapan rasa duka cita tak hanya bermunculan di dunia maya, tapi juga lewat papan karangan bunga yang terpajang di sepanjang Jalan Imam Bonjol dan halaman wihara Borobudur.
Namun ungkapan duka cita tidak hanya berasal dari kalangan Buddhis, tapi juga umat lintas agama dan kepercayaan. Mereka melayat ke tempat Bhikku Jinadhammo Mahatera disemayamkan di Lt.2, Ruang Bhaktisala, Gedung Buddhayana Dharmasala, Wihara Borobudur, Medan.
Sabtu (28/1) siang semisal terlihat datang Sultan Deli ke-14, Tuanku Mahmud Arya Alimanjiji, anggota Komisi X DPR RI, dr. Sofyan Tan, anggota DPRD Sumut, Rudy Hermanto, Ketua Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda, Finche Kosmanto, dan Ketua Pengprov Wushu Sumut, Darsen Song. Tak lama muncul Brilian Moktar dan Pembimas Buddha Sumut, Budi Sulistyo. Disusul Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi yang datang bersama Ketua Harian Perhimpunan INTI Indonesia, dr. Indra Wahidin. Sore hari datang, Wakil Ketua Umum Majelis Tao Dharma Indonesia, Gimin Bumin yang langsung terbang dari Jakarta.
Beberapa Isyarat Sebelum Eyang Mangkat
Sebelum mangkat menurut penuturan sejumlah murid Eyang kepada Andianto, Eyang seperti telah meninggalkan beberapa isyarat.Seorang muridnya di Bireuen, Aceh, menuturkan saat bertemu, Eyang tiba-tiba berkata:
"Saya minta maaf....."
Muridnya kebingungan karena tak mengerti maksud gurunya. Kepada murid lain, Eyang belum lama juga berkata:
"Mungkin eyang tidak bisa menunggu sampai selesai."
Menurut Andianto Eyang memang memberikan pesan berbeda-beda kepada setiap muridnya.
"Tapi nanti mereka yang akhirnya akan menemukan jawabannya sendiri," ujarnya.
Bersahaja Dalam Segala Hal
Tentang kebersahajaan hidup eyang, hampir semua orang mengamini saat ditanya tentang kepribadian eyang. Eyang juga dinilai banyak meninggalkan warisan nilai bijak yang bisa jadi sumber inspirasi banyak orang. Bhante Thanavaro Mahathera, menyebut eyang sebagai orang yang sangat disiplin dalam soal waktu. Jika sudah membuat janji, eyang akan datang tepat waktu.
"Mereka yang terlambat akan ditinggalkan," katanya. Bhante Thanavaro Mahathera juga punya pengalaman lain. Tahun 1998, ia hendak pergi ke Thailand untuk menjadi bhikku. Eyang sangat mendukung, bahkan memberi saran agar belajar ke
Wat Boworanives,Vihara, tempat eyang pernah tinggal selama masa kebhikkuannya. Eyang bahkan bersedia memberi rekomendasi.
"Surat itu ditulis eyang pakai tulisan tangan, saya langsung simpan," tutur Bhante Thanavaro Mahathera. Sesampai di Bandara Thailand, Bhante Thanavaro Mahathera kebingungan saat membuka surat rekomendasi itu.
"Surat rekomendasi eyang ternyata tak disertai alamat, hingga saya sempat kesasar," tuturnya. Satu pembelajaran penting diambil Bhante Thanavaro Mahathera dari kasus itu. Dalam hidup, setiap orang harus mau belajar bertanya. Orang juga harus teliti dalam segala hal, jangan sampai melupakan detil yang kecil-kecil.
Eyang juga menjadi sosok yang dicintai umat karena nasihat-nasihatnya ternyata memberi jalan keluar masalah yang dihadapi umat. Andianto memberi contoh. Ada seorang umat yang setelah menikah, lama memiliki keturunan. Setelah melakukan konsultasi dengan eyang, tak lama istrinya hamil, dan pasangan itu pun mendapatkan buah hati yang sudah lama diimpikan.
"Ada yang
stress karena kehilangan pekerjaan, setelah konsultasi dengan eyang, tak lama umat itu mendapat jalan keluar dengan penghidupan baru," ujar Andianto. Legasi lain yang patut ditiru menurut Kepala Wihara ITBC Medan, Bhante Thanavaro Mahathera, adalah intensitas eyang turun ke wihara-wihara, berjumpa umat danmenebar dharma lewat laku tiundak hidupnya.
“Itu sebabnya eyang tak pernah naik pesawat jika ke Jakarta. Eyang memilih naik perjalanan darat karena bisa singgah di mana-mana menjumpai umat,” katanya.
Eyang Soenardi atau Eyang Bhikku Jinadhammo Mahathera memang ibarat sumur yang terus mengeluarkan air. Ia tidak akan pernah kering menjadi sumber inspirasi mereka yang masih hidup agar laku dan lakon hidup mereka sesuai dengan ajaran Sang Buddha.
Selamat jalan Eyang
......