Arsip foto - Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemlu RI Judha Nugraha (kedua kiri) memimpin pemulangan 12 WNI korban "online scam" yang telah tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Banten, Jumat (5/8/2022) (ANTARA/HO-Kemlu RI)
Analisadaily.com, Jakarta - Kementerian Luar Negeri RI mencatat jumlah Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban perekrutan perusahaan penipuan berbasis daring (online scam) di luar negeri terus meningkat.
Dilansir dari Antara, Sabtu (11/2), Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemlu RI, Judha Nugraha mengungkapkan, pada 2022 tercatat 1.185 WNI yang menjadi korban perusahaan daring.
Para korban itu tercatat tersebar sebanyak 864 orang di Kamboja, 81 orang di Myanmar, 107 orang di Filipina, 102 orang di Laos, dan 31 orang di Thailand.
“Dari angka tersebut kita melihat peningkatan tajam, misalnya di Kamboja saja pada 2021 ada 116 kasus kemudian bertambah menjadi 864 kasus. Ini perlu menjadi concern kita bersama,” kata Judha.
Dia menegaskan, langkah-langkah komprehensif dan terkoordinasi di antara pemangku kepentingan terkait di Indonesia dan di negara tujuan diperlukan untuk menangani kasus tersebut.
Langkah-langkah yang mencakup penanganan kasus serta aspek pencegahan penting dilakukan, kata Judha.
Kemlu mencatat, dari 1.000-an WNI korban yang dipulangkan ke Indonesia, ada yang kembali berangkat ke luar negeri dan bekerja di jenis perusahaan yang sama.
“Ini yang perlu kita atasi bersama, terutama memberikan awareness kepada masyarakat agar jangan mudah tertipu dengan lowongan pekerjaan di media sosial yang menawarkan gaji besar tetapi tidak minta kualifikasi dan tidak mensyaratkan visa kerja,” kata Judha.
“Jika (masyarakat) tahu ada yang janggal atau merasa ada yang salah, ya jangan memaksakan diri. Kita paham ada motif ekonomi untuk mencari pekerjaan dan penghidupan yang bagus," ujarnya.
"Tetapi kalau sudah tahu dan mendeteksi ini akan jadi masalah ya jangan berangkat,” kata Judha, menegaskan.
Dia memaparkan, ada perbedaan antara para korban online scam dengan kalangan WNI yang mengincar pekerjaan informal secara ilegal di Malaysia --yang hanya dengan berbekal keahlian rendah, misalnya sebagai penata laksana rumah tangga (PLRT).
Para korban perusahaan penipuan daring umumnya memiliki latar belakang pendidikan yang bagus dan dari kalangan ekonomi berada.
Mereka juga berasal dari kota-kota besar, seperti Jakarta dan kota-kota di Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara.
“Yang berangkat ini adalah anak-anak muda berpendidikan, lulus SMA atau kuliah, dan bukan dari keluarga yang tidak mampu. Hanya memang mereka tergiur tawaran kerja yang gajinya berkisar 1.000-1.200 dolar AS,” kata Judha.
Guna meminimalisasi angka kasus penipuan perusahaan online, ujarnya, pemerintah Indonesia terus mengupayakan langkah-langkah pencegahan dan penindakan di dalam negeri maupun di negara-negara tujuan.
Judha menegaskan, calo yang memberangkatkan WNI ke luar negeri harus ditangkap dan dituntut karena telah melanggar UU No.18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran dan UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
“Dan sekaligus kita dorong negara tujuan untuk melakukan tindakan terhadap perusahaan-perusahaan yang memperkerjakan (para WNI). Jadi pelaku di Indonesia ditangkap, di sana juga ditangkap,” kata Judha.
Selain itu, pemerintah juga memastikan perlindungan terhadap korban dengan menangani kasus secepatnya serta memfasilitasi proses rehabilitasi dan reintegrasi kepada para korban WNI yang dipulangkan dari luar negeri.
(RZD)