Suasana pertemua Korban pelanggaran Hak Asasi Manusi (HAM) berat 1965 di Sumatera Utara dengan Komisioner Komisi Hak Asasi Manusia di Kantor Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) di Medan Selayang, Kamis (13/4). (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan – Korban pelanggaran Hak Asasi Manusi (HAM) berat 1965 yang ada di Sumatera Utara bertemu Komisioner Komisi Hak Asasi Manusia di Kantor Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) di Jalan Bunga Kenanga No. 11 D, Medan Selayang, Kamis (13/4).
Anak korban pelanggaran HAM 1965, Joko Sunaryo, menyampaikan tanggapan dan harapan mereka atas kebijakan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, yang telah dikeluarkan.
“Kami berharap kebijakan Pemerintah itu bisa memenuhi rasa keadilan yang selama berpuluh-puluh tahun menjadi korban langsung maupun tidak langsung dari stigma akibat peristiwa 1965,” kata pria berusia 50 tahun tersebut di hadapan dua Komisioner Komnas HAM, Saurlin Siagian dan Abdul Haris Semendawai.
Pada pertemuan itu, Komisioner Komnas HAM bidang Pengkajian dan Penelitian, Saurlin, mengatakan maksud kedatangan mereka ke Sumatera Utara memang untuk melakukan percepatan verifikasi korban pelanggaran HAM berat 1965.
“Verifikasi ini nantinya akan sangat berguna untuk implementasi rekomendasi pemulihan hak-hak korban.” ujar Saurlin di pertemuan yang juga diikuti Wakil Ketua Bidang Eksternal, Abdul Haris Semendawai.
Kata dia, proses verifikasi ini membuat perubahan mendasar, yakni mereka yang tadinya disebut sebagai pelaku, kini dilihat sebagai korban.
“Dengan demikian, hak-hak mereka sebagai korban harus dipulihkan,” ucap Haris.
Haris lanjut menjelaskan, adapun verifikasi korban pelanggaran HAM berat 1965 di Sumatera Utara, khususnya yang didampingi Bakumsu, sudah dilakukan sejak beberapa tahun terakhir. Verifikasi yang kini sedang dilakukan adalah untuk membuka kembali ruang bagi korban yang belum sempat diverifikasi pada kesempatan-kesempatan sebelumnya.
“Verifikasi terkini yang dilakukan Komnas HAM sejak tanggal 12-13 April, mencatat sebanyak 18 korban pelanggaran HAM berat 1965 di Sumatera Utara,” sambung Haris.
Direktur Eksekutif Bakumsu, Tongam Panggabean, mengatakan solidaritas korban pelanggaran HAM berat 1965 di Sumatera Utara terbentuk setelah pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Keppres No. 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.
Hingga Keppres No. 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat dan Inpres No. 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat. Dua aturan yang disebut terakhir merupakan kelanjutan dari Keppres No. 17/2022.
“Korban merasa perlu mengawal implementasi aturan-aturan ini, agar benar-benar memenuhi rasa keadilan para korban. Apalagi aturan-aturan tersebut dibentuk sebagai upaya penyelesaian non yudisial untuk beberapa kasus sekaligus. Maka perlu untuk memastikan agar upaya penyelesaian non yudisial ini tidak malah memarginalisasi korban-korban yang sulit dijangkau oleh negara,” kata Tongam.
Komnas HAM sebagai lembaga yang berfungsi melakukan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang HAM diharapkan dapat menjadi penghubung korban dengan pemerintah. Sehingga kebutuhan korban dapat diakomodasi secara optimal melalui aturan-aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Di sisi lain, Bakumsu sebagai lembaga yang selama beberapa tahun terakhir aktif mendampingi korban di Sumatera Utara, meminta agar Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dapat menindaklanjuti Inpres No. 2 Tahun 2023 dalam rangka memenuhi hak-hak korban pelanggaran HAM berat 1965 yang ada di Sumatera Utara.
(CSP)