Terdakwa yang menjalani sidang di Pengadilan Negeri Medan (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Perkara Hendra Putra Sembiring (33) warga Jalan Plamo Garden Blok F 1 No.20 Kel. Balai Permai Kecamatan Batam Kota kembali digelar diruang cakra 4 Pengadilan Negeri (PN) Medan, Rabu (15/6).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) AP Frianto Naibaho yang menghadirkan terdakwa secara langsung yang ditanya Majelis Hakim diketuai Ahmad Sumardi menyebutkan, bahwa aganda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan Ahli Forensik yang dihadirkan penasehat hukum terdakwa.
Usai melaksanakan sumpah, dr. Agustinus Sitepu yang dihadirkan kepersidangan guna memberikan keterangan terkait visum et repertum yang dialami saksi korban Andri Harun Siregar kuat dugaan tidak berdasarkan Undang-Undang yang berlaku.
"Sebab, terkait surat visum yang dikeluarkan Rumah Sakit Setia Budi belum cukup dijadikan bukti atau tidak bisa dijadikan bukti dalam perkara ini," ujar dr. Agustinus Sitepu dihadapan Majelis Hakim Ahmad Sumardi.
dr. Agustinus Sitepu menjelaskan, Visum secara Nasional itu terbagi lima bagian, yaitu yang pertama, visum yang di buat Dokter sah menurut Undang-Undang (Hukum). Kedua ada pendahuluannya yakni isi visum, isi visum harus ada Identitas yang membuat visum yaitu nama Dokternya sendiri.
Selanjutnya yang ketiga, yakni orang yang meminta visum, itu adalah penyidik, dan didalam visum harus ada nama penyidik, pangkat dan dari mana penyidiknya berasal, itu harus dituliskan diketerangan surat visum.
"Berikutnya kata Ahli lagi, orangnya yakni korban, atau orang yang divisum, juga wajib dituliskan nama atau identitasnya secara lengkap dan jelas," kata Ahli.
Seterusnya adanya pemberitaan, harus dituliskan apa yang ditemukan oleh Dokter sebagai yang membuat visum. Artinya apa yang ditemukan dalam pemeriksaan terhadap korban itulah dibuat dan dituliskan oleh Dokter dalam keterangan pada visum tersebut dan visum et repertum ini wajib berdasarkan Undang-Undang, tidak bisa ditambah maupun dikurangi.
"Artinya kalau dikurangi dan ditambahi,maka dampaknya bisa berbeda pada yang sebenarnya. Hal ini dapat dikatakan Dokter telah memberi keterangan palsu tentang visum dimaksud," jalas dr. Agustinus Sitepu.
Sedangkan yang keempat bersifat subjektif, yakni pendapat dari seorang Dokter yang membuat visum dan yang kelima yakni penutup yang menerangkan dasar Undang-Undang.
"Hanya saja setelah surat visum ini saya lihat dengan tegas saya mengatakan, visum ini jelas belum cukup untuk dijadikan bukti terjadinya perkara atau tidak bisa dijadikan bukti oleh penyidik dalam perkara ini," ungkapnya.
Lebih lanjut ahli menjelaskan, menurut Undang-Undang seharusnya divisum ini dibuat kata pengantarnya, seperti ; saya yang bertanda tangan dibawah ini, harus ada Nama Dokternya, yang melakukan pemeriksaan terhadap korban atas kasus ini, pada hari apa dan Jam berapa dilakukan pemeriksaan.
Lalu Dokter juga harus menjelaskan dan menuliskan, bahwa permintaan visum ini adalah dari penyidik, maka nama penyidik, pangkat dan dari mana penyidiknya harus ditulis juga dalam berita visum.
"Saya lihat divisum ini, malah tidak ada nama penyidiknya ditulis atau dibuat. Dan lebih parahnya lagi, divisum ini juga tidak ada nama Dokter yang membuat visumnya, jelas visum ini diduga kuat hasil rekayasa. Artinya tidak sah menurut Undang-Undang," tegasnya.
Berikutnya kata Ahli lagi, dalam visum ini juga tidak ada dicantumkan atau dibuat tentang pemeriksaan apa. Apa yang ditemukan pada korban. Misalnya luka apa, dan disini ada dituliskan keluhan sakit pada paha tulang kanan, namun tidak dijelaskan sakitnya bagaimana.
Kemudian ada sakit luka pada leher, tapi tidak dijelaskan sakit apa, seharusnya dijelaskan donk, luka apa korbannya, luka memerkah, luka lecetkah, luka bacokkah, luka tusukkah dan hal ini juga tidak ada dijelaskan dan dicantumkan keterangan tentang luka yang bagaimana diderita korban.
Seterusnya ungkap Ahli, terkait besar luka, berapa centikah, berapa millikah lukanya, begitu juga panjang dan lebarnya. Divisum ini tidak ada dituliskan rinciannya. Begitu juga luka pada leher dan kepala korban tidak disebutkan juga rinciannya.
Menurut Ahli lagi, kesalahan yang lain yakni visum ini menggunakan perkataan medis berbahasa latin, yang seharusnya tidak dibolehkan, menurut aturannya harus berbahasa indonesia, biar semua bisa mengerti, semua pihak harus mengerti isi visum tersebut.
Rancunya lagi, bahasa latin yang dituliskan didalam visum tersebut juga salah. Tidak ada istilah medis extermitas atas dan extermitas bawah. Yang ada adalah extremitas.
Lebih rancunya lagi kata Ahli, divisum ini tidak ada kesimpulannya, tidak ada kata penutupnya, seperti ; "Demikian visum ini dibuat dengan sejujur- jujurnya yang berdasarkan Undang-Undang yang berlaku," katanya.
Jadi menurutnya, prosedur penulisan di visum ini salah, isinya juga salah, dan jelasnya visum ini belum cukup dijadikan alat bukti dalam perkara ini," tegas ahli dr. Agustinus Sitepu M Ked (For) Sp FM.
Sementara menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), dengan tegas Ahli menjelaskan, soal tulang patah bisa terjadi karna ada hantaman yang kuat, memakai benda keras, itu bisa terjadi patah tulang.
Lanjutnya menjelaskan, patah tulang terbagi dua, bisa terjadi menimbulkan luka karna tulangnya keluar dari daging, ada juga patah tulang didalam saja, dagingnya bagus tidak ada yang luka.
Tapi perlu dingat, kalau masih muda dan orang biasa seperti kita ini, tidak ada penyakit tulang keropos, itu kalau patah tulang dikarenakan ada hantaman benda keras atau di hantam orang seperti Mike Tyson.
Petinju dunialah yang bisa mematahkan tulang dengan tinju kepalan tangannya, kalau orang seperti kita ini (orang biasa) yang menghantam tidak bisa patah tulang, kecuali dihantam memakai alat yang keras," ucap Ahli menambahkan.
Satu lagi ada keanehan dalam perkara ini, disurat visumnya tidak ada dituliskan foto Rontgen, mendengar kata Rontgen, JPU sempat nyeletuk mengatakan ada Rontgennya, hanya saja Ahli langsung mematahkan pengakuan JPU, sembari menunjuk surat visum.
"Kalau ada foto Rontgennya, pastinya dituliskan disudut kiri bawah surat visum ini, coba lihat, tidak adakan dituliskan, foto Rontgennya, begitu juga nama atau identitas Dokter yang mengeluarkan visum ini, anehkan visum ini, siapa yang membuat dan mengeluarkan surat visum ini, jadi jelasnya visum ini belum cukup untuk dijadikan alat bukti dalam perkara ini," tegas dr. Agustinus.
Usai mendengar keterang Ahli, selanjutnya Majelis Hakim Ahmad Sumardi melanjutkan sidang dengan agenda mendengar keterangan terdakwa Hendra Putra Buana Sembiring.
Hendra Putra Buana Sembiring selaku terdakwa dalam keterangannya menyebutkan tentang kronologis peristiwa yang sebenarnya terjadi yang bermula saksi korban Andri Harun Siregar memanggilnya ditempat umum dengan perkataan tak sopan.
Merespons hal itu, terdakwa lalu keluar dari dalam mobilnya dan mendatangi saksi korban dengan melompat menghampiri mobil saksi korban, namun tanpa diduga saksi korban langsung memukul wajah terdakwa sebanyak satu kali.
"Saat saya mendatanginya, saksi korban langsung memukul wajah saya dengan tangan kanannya, akibat pukulan itu wajah saya lembam dan membiru," ujar terdakwa menjelaskan kepada Majelis Hakim.
Lebih lanjut terdakwa menjelaskan, mendapat pukulan dari saksi korban, terdakwa spontan memiting dan menjatuhkan saksi korban, sembari memukul wajahnya, sebanyak 3 kali pukulan. Setelah itu langsung dipisah warga.
Anehnya, kata terdakwa, saat kejadian itu orang tua (Ayah) terdakwa datang menolong saksi korban, tapi niat baik ayah terdakwa malah dibalas dengan makian dengan perkatan yang tidak pantas.
"Mendengar ayah dimaki oleh saksi korban, selaku anak, saya marah dan saya kembali mendatangi saksi korban, niat kembali ingin memukul saksi korban, namun tidak jadi, akhirnya saya menendang wajah saksi korban," sebutnya.
Terdakwa Hendra Putra Buana Sembiring menyebutkan kejadian perkelahian itu pada tanggal 6 Febuari 2023 di Jalan Sei Batu Gingging Kelurahan Merdeka Kecamatan Medan Baru, Kota Medan, tepatnya di depan Kantor PLN ULP Medan Baru sekitar pukul 14.00 Wib. Saat itu ia bersama kedua orangtuanya. Sementara saksi korban seorang diri.
(JW/RZD)