Seminar Sejarah Deliserdang mengungkap banyak fakta tentang Deliserang dimasa silam (Analisadaily/Amirul Khair)
Analisadaily.com, Deliserdang - Hari jadi 77 tahun Kabupaten Deliserdang pada 11 Juli 2023 diperingati secara meriah dengan sejumlah rangkaian kegiatan. Salah satunya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Deliserdang melalui Dinas Kebudayaan, Pemuda, Olahraga dan Pariwisata (Budporapar) menggelar seminar bertajuk “Sejarah Deliserdang” 27 Juni 2023 lalu.
Seminar ini menghadirikan 5 narasumber berkompeten yakni, Suprayitno (Dosen Sejarah USU) Erond L Damanik (Guru Besar Unimed), Edi Sumarno (Dosen Sejarah USU), Wara Sinuhaji (Sejarawan Sumatera Utara) dan Tengku Mira Sinar (dari Kesultanan Serdang).
Ada hal menarik dari seminar ini terekam lewat sinyal tema yang diusung yakni, “Memperingati hari jadi, memperkuat jati diri”. Dari judul seminar dan tema yang diusung ini, terkesan ada hal yang ingin dibedah untuk menemukan dalil-dalil kuat guna meneguhkan keberadaan Kabupaten Deliserdang secara ilmiah.
Kenapa 1 Juli?
Menelaah paparan dari 5 narasumber dalam seminar ini, ada banyak fakta-fakta mencengangkan yang selama ini tidak banyak diketahui masyarakat Deliserdang secara luas. Bahkan mungkin, kaum intelektual, jajaran pejabat serta orang-orang yang lahir, besar dan berkembang di daerah ini.
Guru Besar Unimed Erond L Damanik yang tampil dengan judul bahasan “Mengapa 1 Juli (1946) ?” membedah penetapan tanggal hari jadi Kabupaten Deliserdang yang selalu diperingati setiap 1 Juli.
Menurutnya, peringatan hari jadi kabupaten dengan hari jadi Deliserdang berbeda. Apa yang selalu diperingati setiap tanggal 1 Juli adalah peringatan hari jadi kabupaten.
Sedangkan hari jadi Deliserdang jauh sebelumnya sudah ada. Kalau hari jadi Deliserdng merujuk sumber-sumber legenda atau mitos yang lebih lawas seperti, merujuk Gocah Pahlawan atau sebelumnya lagi adanya Kerajaan Aru berpusat di Delitua itu hari jadi Deliserdang.
“Harus dibedakan hari jadi kabupaten dengan hari jadi Deliserdang,” ungkap Erond.
Faktanya, 1 Juli yang selalu diperingati di Deliserdang adalah hari jadinya kabupaten. Namun pertayaan mendasar. Ada peristiwa apa di balik 1 Juli 1946 itu? Untuk menjawab ini, Erond lebih dulu menggarisi kata kuncinya dengan kata ‘Nasional’.
Untuk membedah ada apa di balik 1 Juli 1946, Kabupaten Deliserdang ditetapkan sebagai hari jadinya. Ada 4 inti yang harus dilihat. Inisitornya siapa? Gagasan utamanya apa? Capaian masa kininya apa? Dan rencanan masa depannya apa?
Lebih rinci Erond menguraikan, bahwa penetapan hari jadi Kabupaten Deliserdang 1 Juli, kemungkinan besar diawali dengan penetapan Penjabat Bupati Deliserdang pertama Moenar S Hamidjojo yang Tanggal Mulai Tugas (TMT) juga 1 Juli 1946.
“Itulah mengapa dasar diperingati 1 Juli 1946,” terangnya.
Menjawab pertanyaan kenapa Penjabat Bupati Deliserdang pertama bukan tokoh daerah? Hal ini disebabkan saat itu 3 bangsawan yakni, Karo Simalungun dan melayu sedang berselisih, Dalam Karo ada 5 Sibayak, ada 7 Kerajan Simalungun dan 5 Sultan Kesultanan Melayu.
Sebagaimana kata kunci ‘nasional’ diawal ungkap Erond, Moenar S Hamidjojo yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Komite Nasional Indoensia Daeah (KNID) adalah sosok intelektual yang dipercaya dan pro-nasionslis.
“Inilah kenapa Bupati pertama Deliserdang tidak dari tokoh daerah,” tandas Erond.
Kaya dan Majemuk
Sementara narasumber lainnya Dosen Sejarah dari Universitas Sumatera Utara (USU) Suprayitno, mengemukakan banyak fakta dari sejarah masa silam Deliserdang yang penamaannya berasal dari 2 kesultanan melayu yang pernah jaya yakni, Kesulatan Deli dan Kesultanan Serdang.
Kedua kesultanan melayu ini masih dari satu keturunan yakni, Sultan pertama Kesultanan Deli Gocah Pahlawan yang kemudian karena perselisahan antara keturunanya setelah mangkatnya Panglima Paderap 1723.
Faktanya papar Suprayetno, wilayah Deliserdang merupakan daerah kaya dengan sumber daya alam (SDA) sehingga menjadi rebutan antara Aceh dan Siak. Keberadaan Kerajaan Aru masa silam yang situsnya ada Benteng Putri Hiaju di Kecamatan Delitua yang kini berada di wilayah administraitf Kabupaten Deliserdang bukan lagi sebuah mitos.
“Di sini dulu ada ada kerajaan Aru. Sudah ada situsnya. Bukan dongeng lagi. Ada di Deliserdang di Delitua, ada benteng Putri Hijau. Itu nyata dan realitas,” tegas Suprayetno.
Faktor Deliserdang dulu direbutkan wilayahnya karena memilki kekayaan sumber daya alam (SDA) baik mineral maupun botani (tumbuh-tumbuhan) sehingga menarik pedagang dari luar.
Selain itu juga, Deliserdang menjadi wilayah lajur ekspor yang barangnya berasal dari pedalaman Simalungun dan Karo. Dan lajur pengangkutannya melalui daerah pesisir, sungai sehingga kalau ada anak sungai, pasti ada pasar tempat transaksi ekonomi terjadi.
Dan daerah pesisir juga memiliki bandar seperti di Bandar Khalifah, Pantaicermin, Rantaupanjang dan lainnya yang menjadi lajur pengangkutan barang-barang terutama rempah-rempah seperti lada untuk diekspor.
Adapun kemajemukan masyarakatnya sejak lama sudah terjadi pembauran lewat aktivits perdagangan. Dari sumber sejarah menyebutkan bahwa masyarakat Aru dengan Malaka memiliki adat istiadat yng sama.
Interaksi masyarakat terjadi dengan para pedagang yang datang dari berbagai daerah sehingga tidak heran terjadi pembauran budaya. Dampaknya tertanam masyarakat yang majemuk. Dan faktor ini sudah ada di zaman itu dan peninggalannya terutama ketika muncul Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang.
Sejarawan Sumut dari USU Wara Sinuhaji yang juga tampail sebagai narasumber menimpali. Wilayah Deliserdang yang dikuasai dua kesultanan melayu Deli dan Serdang dengan pemerintahan bersifat feodalistik yakni, sistem pemerintahan turun-temurun dari satu sultan ke sultan keturunannya.
Sumatera Utara adalah salah satu wilayah dikenal sangat heterogen. Data menunjukkan bahwa semenjak masa colonial, wilayah ini telah dihuni berbagai macam suku yang ada di Indonesia. Bahkan Hamka, menyebutkan bahwa wilayah ini disebut sebagai “mininya” Indonesia.
Wilayah ini terdiri dari penduduk asli dan penduduk pendatang. Penduduk Sumatera Utara terdiri dari etnik Melayu, Karo, Simalungun, Batak Toba, Pakpak, Mandailing, Angkola Sipirok, dan Nias. Sedangkan pendatang di wilayah ini terdiri dari etnik Jawa, Tionghoa, Aceh, Minahasa, Sunda, Madura, dan lain sebagainya.
“Tidak mengherankan apa bila Hamka menyebut bahwa wilayah ini sebagai mininya Indonesia,” ungkap Wara.
Di antara wilayah Sumatera Timur yang paling menggambarkan komposisi ke-Indonesia-an adalah Deliserdang. Sejak masa lalu, wilayah ini telah menunjukkan penduduk berciri multikultur. Faktor terjadinya heterogenitas penduduk di wilayah ini adalah berkembangnya industri perkebunan yang mendorong masuknya penduduk dari luar ke wilayah ini.
“Namun, perbauran etnik telah terjadi sejak lama, yaitu munculnya identitas kultural etnik-etnik yang bermukim di kawasan pesisir Sumatera Timur dengan dataran Tinggi Sumatera,” timpal Wara.
Seminar yang dibuka secara resmi Bupati Deliserdang Ashari Tambunan yang turut didampingi Wakil Bupati Muhammad Ali Yusuf Siregar ini turut mengungkapkan banyak fakta lain yang meneguhkan bahwa Deliserdang adalah daerah maju, kaya, berperadaban dan layaknya menjadi daerah maju dan sejahtera dimasa kini.
(AK/RZD)