Ekonomi Sumut Tumbuh 5,19% di Tengah Situasi Tak Bersahabat, Begini Cara Memahaminya!

Ekonomi Sumut Tumbuh 5,19% di Tengah Situasi Tak Bersahabat, Begini Cara Memahaminya!
Pengamat Ekonomi Sumut, Gunawan Benjamin (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Secara year on year (YoY), pada triwulan 2 tahun 2023 laju pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara (Sumut) tumbuh 5.19% dibandingkan dengan triwulan 2 tahun 2022.

Pertumbuhan ekonomi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi secara nasional, yaitu 5.17%. Dan jauh lebih tinggi dari ekspektasi sebelumnya.

Tentunya juga menepis apa yang dikeluhkan sebagian masyarakat, seperti petani sawit yang justru merasa pendapatannya kian tergerus seiring dengan kenaikan laju tekanan inflasi dan penurunan harga sawit belakangan ini, yang berdampak pada penurunan daya beli petani.

Pengamat Ekonomi Sumut, Gunawan Benjamin mengatakan, situasi memang tengah tidak berpihak pada sejumlah produsen komoditas di wilayah Sumut. Namun, jika melihat pertumbuhan ekonomi secara ril, maka harga bukan menjadi acuan sepenuhnya.

“Kita ambil contoh nyatanya begini, harga sawit memang terpuruk cukup dalam sekitar 50% dibandingkan capaian tertinggi tahun 2022. Namun bukan berarti panen sawit petani mengalami penurunan juga. Artinya bisa jadi panen tetap naik (tonasenya), meskipun harga turun,” kata Gunawan, Senin (7/8).

Gunawan menyebut, secara ril produksi sawit petani mengalami peningkatan, karena tonasenya tetap naik. Akan tetapi kalau berbicara harga pendapatan petani turun, pendekatan dengan produksi itu yang menunjukan bahwa kondisi ekonomi petani sawit tetap tumbuh.

“Akan tetapi dari sisi nominalnya, justru mengalami penurunan karena harga sawit anjlok cukup dalam,” sebutnya.

Ditegaskan Gunawan, sama halnya dengan pendekatan pertumbuhan ekonomi juga bisa seperti itu. Ekonomi bisa tetap tumbuh walaupun yang dirasakan adalah penurunan kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Karena di sini juga berperan yang namanya inflasi atau kenaikan harga barang. Inflasi ini jika tidak diikuti dengan kenaikan pendapatan, maka yang ada penurunan daya beli,” terangnya.

“Jadi, kalau kita kembali lagi mencotohkan petani sawit yang dirugikan karena penurunan harga TBS-nya, maka sekalipun panennya tetap nambah secara tonase, tapi harga jualnya anjlok, dan sejumlah kebutuhan sehari-hari mengalami kenaikan, maka petani sawit tadi akan merasa bahwa situasi ekonomi terasa sulit,” sambungnya.

Walaupun yang namanya harga ini fluktuatif sifatnya, yang artinya suatu saat bisa saja mengalami kenaikan, dan situasi ekonomi sulit yang dialami petani pada dasarnya juga tidak bersifat permanen, yang perlu diwaspadai adalah penurunan aktifitas ekonomi dari sisi kuantitas.

“Artinya di saat permintaan sawitnya turun secara kuantitas (tonase), maka disitulah ancaman ekonomi serius sebenarnya,” Gunawan menandaskan.

(REL/RZD)

Baca Juga

Rekomendasi