Ulama muda Aceh Tgk Muhammad Yusuf Nasir atau akrab disapa Abiya Jeunieb didampingi Cek Midi dan Hermansyah (Analisadaily/Muhammad Saman)
Analisadaily.com, Banda Aceh - Naskah karya intelektual cendikiawan muslim Aceh di masa lampau dianggap lebih bernilai jika dibandingkan sekarang.
Namun, sayangnya khazanah kebudayaan Islam yang dihasilkan pada abad 16 dan 17 itu justru tidak dapat diakses oleh masyarakat umum sekarang lantaran masih ditulis dalam bahasa Arab dan Arab Melayu.
Sehingga perlu upaya diterjemahkan ke dalam bahasa kekinian yang mudah dipahami misalnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
Hal itu disampaikan oleh ulama muda Aceh Tgk Muhammad Yusuf Nasir atau akrab disapa Abiya Jeunieb, ketika berkunjung ke Rumoh Manuskrip Aceh, di Banda Aceh.
"Ini perlu dipikirkan secara bersama-sama bagaimana agar ratusan naskah ini dapat diterjemahkan ke dalam bahasa kekinian untuk kemudian dibukukan dan dibagi-bagikan ke seluruh dayah yang ada di Aceh," ujar Tgk Muhammad Yusuf Nasir di Banda Aceh, Sabtu (12/8).
Kedatangan Abiya Jeunieb yang merupakan Pimpinan Dayah Rauhul Mudi Al Aziziyah Jeunieb, Bireuen ini mendapat sambutan hangat dari Tarmizi A Hamid atau akrab disapa Cek Midi dan Filolog (ahli naskah kuno) Aceh Hermansyah MTh MHum.
Dalam kunjungan itu, pendakwah yang dikenal vokal dalam menyuarakan kepentingan Islam tersebut merasa kagum dengan koleksi-koleksi yang ada di Rumoh Manuskrip Aceh.
Sosok ulama muda ini bahkan sempat menghabiskan waktu hingga tiga jam untuk membuka satu persatu koleksi manuskrip yang kini disimpan dengan rapi di rumah pribadi Cek Midi tersebut.
Beberapa kitab yang turut mendapat perhatian Abiya Jeunieb seperti manuskrip berisi tentang sejarah Aceh, budaya maupun pendidikan Islam. Dari sejumlah koleksi yang ada, Abiya Jeunieb bahkan terkesima dengan mushaf Alquran bertinta emas terbitan abad 17 masehi yang turut menjadi koleksi Cek Midi.
Beberapa manuskrip lain yang turut mendapat perhatian ulama ini seperti kitab Mir-atul Thullab, atau judul lengkapnya ialah Mir-atul Thullab fi Tas-hil al-Ma’rifat al-Ahkam wal Syari’ah lil Malik al-Wahhab karangan Syeikh Abdul Rauf bin Ali al-Jawi al-Singkili (1592-1693M).
Abiya Jeunieb kepada Cek Midi mengaku kagum dengan karya-karya keilmuan tersebut yang menurutnya, apa yang dipikirkan oleh cendikiawan saat ini, ternyata terlebih dulu sudah dikaji dengan baik oleh ulama masa lalu di Aceh. Salah satunya, dia mencontohkan, seperti penerapan sistem ekonomi syariah.
"Tinggal sekarang meramu kembali pemikiran-pemikiran ulama dulu, baik ekonomi syariah, baik kitab ibadah karangan Syekh Nuruddin al Ranirry dalam kitab As Shiratal Mustaqim, dan petuah-petuah untuk Aceh lainnya, yang hingga sekarang kita tidak mengetahui karena sumber primer dari peninggalan ulama ini sudah langka dan sulit ditemukan," kata Abiya Jeunieb seperti disampaikan Cek Midi lewat keterangan tertulisnya kepada media, Jumat (11/8).
Rasa kagum yang tak terhingga terhadap khazanah budaya Islam tersebut turut membuat Abiya Jeunieb berkeinginan melakukan kajian rutin di Rumoh Manuskrip Aceh. Dia berharap dengan kajian rutin tersebut pula dirinya akan dapat mengkaji satu persatu warisan ilmu yang ditinggalkan ulama Aceh masa lalu, dan kemudian diteruskan kepada generasi sekarang ini.
Selanjutnya Abiya melakukan ceramah dan kajian manuskrip selama 45 menit dengan judul "Memuliakan Khazanah Ulama Aceh, Perspektif Manuskrip".
Cek Midi menyampaikan penghormatan setinggi-tingginya kepada Tuan Guru Abiya Jeunieb yang bersedia meluangkan waktu memenuhi undangannya berkunjung ke Rumoh Manuskrip Aceh.
"Ini luar biasa, penghormatan yang tak terhingga kepada guru kita Abiya Jeunieb yang bersedia memenuhi undangan saya di tengah padatnya jadwal beliau mengisi ceramah di Aceh," kata Cek Midi.
Di kesempatan yang sama, Filolog Aceh Hermansyah, juga turut mengimbau seluruh warga Aceh yang menemukan manuskrip, tetapi tidak memahami isi dan belum mampu merawatnya untuk dapat menyimpannya di Rumoh Manuskrip Aceh.
Di Rumoh Manuskrip Aceh, menurutnya, semua karya ilmiah cendikiawan muslim masa lalu akan dikaji untuk kemudian diterjemahkan dalam naskah kekinian agar dapat dipahami oleh generasi masa kini.
"Saat ini, fenomena yang terjadi terhadap literasi masa lalu Aceh justru lebih mendapat penghargaan dari cendikiawan luar negeri. Mereka memburu karya-karya ulama Aceh terdahulu, kemudian menyimpan serta membukukannya dengan baik. Ini sangat berbeda dengan kondisi di daerah kita, yang terkadang ada orang-orang Aceh sendiri justru menyimpan karya intelektual ulama di kandang ayam dan sebagainya," pungkasnya.
(MHD/RZD)