Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta bersama jaringan masyarakat sipil membentangkan spanduk dan poster tuntutan saat memperingati 27 tahun kasus pembunuhan jurnalis Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin di Nol Kilometer Yogyakarta, Ra (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Yogyakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta dan jaringan masyarakat sipil Yogyakarta mempertanyakan kabar kelanjutan penanganan kasus pembunuhan jurnalis Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin, kepada Kapolda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang baru, Irjen Suwondo Nainggolan.
Pembunuhan Udin memasuki tahun ke-27, tetapi hingga kini pengusutan kasus ini mandek.
"Kapolda Baru, apa kabar kasus Udin? Telah 21 kapolda berganti, tetapi pelaku dan aktor intelektual di balik tewasnya Udin belum terungkap hingga hari ini," kata Ketua AJI Yogyakarta, Januardi Husin saat aksi memperingati 27 tahun Udin di Nol Kilometer Yogyakarta, Rabu (16/8).
Menurut dia, Kapolda DIY harus berani mengungkap kasus pembunuhan Udin karena terlalu lama dibiarkan terlantar. Menurutnya, jika tidak diselesaikan, kasus ini akan menambah catatan “dark number”, kejahatan yang tidak diungkap oleh kepolisian.
"Reformasi kepolisian harus dimulai dengan mengungkap kasus-kasus lama yang mangkrak," tegas Juju, sapaan akrab Januardi Husin.
Juju mengatakan AJI Yogyakarta sudah pernah menanyakan langsung penyelesaian kasus Udin kepada Kapolda Suwondo Nainggolan. Saat itu, Kapolda mengatakan akan kembali menyelidiki kasus Udin jika ada bukti baru.
"Padahal, yang dibutuhkan hanya kemauan dan keseriusan untuk mengungkap tuntas kasus Udin. Saksi-saksi yang diduga terlibat masih bisa diperiksa," ujar Juju.
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X pernah berjanji mengungkap kasus tersebut dan mengajak Polda DIY untuk melakukan penyelidikan mulai dari nol.
“Hingga saat ini kasusnya tetap menjadi ‘dark number’ penuh misteri. Pada waktu itu ada sesuatu yang tidak konsisten dalam penyelidikan,” ujar Sultan dalam sambutannya pada pembukaan Festival Media Aliansi Jurnalis Independen di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri, Kompleks Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Sabtu, (28/9/2013) silam.
Telah belasan kali jabatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia berganti, tapi penuntasan kasus Udin jalan di tempat. Pada 2013, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Polisi Sutarman di sejumlah media massa menyebut ada kesalahan dalam pengusutan kasus Udin.
“Sudah salah dari awalnya,” kata Sutarman di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta, Selasa, (19/11/2013).
Menurut Sutarman, salah satu kesulitan dalam mengusut kasus itu adalah alat bukti. Penyidik kasus Udin dari Kepolisian Resor Bantul, Sersan Mayor Edy Wuryanto menghilangkan alat bukti, yakni melarungkan darah Udin ke Pantai Parangtritis.
Edy dalam kasus Udin pernah menyeret tersangka palsu, Dwi Sumadji alias Iwik dengan tuduhan perselingkuhan. Terdakwa Iwik disidangkan. Ia membantah semua tuduhan itu dan hakim membebaskannya.
Sedangkan Edy hanya diadili di Mahkamah Militer karena didakwa menghilangkan barang bukti penting. Selain darah Udin, juga ada buku catatan Udin yang diambil dari Marsiyem, istri Udin. Setelah melewati proses persidangan, Edy hanya mendapat hukuman 10 bulan penjara karena kelalaiannya.
Udin meninggal pada 16 Agustus 1996 setelah dianiaya oleh sejumlah orang tak dikenal tiga hari sebelumnya. Diduga kuat, pembunuhan ini berhubungan dengan karya jurnalistik kritis yang ditulis oleh Udin sebelumnya. Ia mengupas kasus korupsi mega proyek Parangtritis dan suap suksesi Bupati Bantul Sri Roso senilai Rp 1 miliar kepada Yayasan Dharmais milik Presiden Soeharto kala itu.
Berdasarkan investigasi wartawan Bernas yang tergabung dalam Tim Kijang Putih dan Tim Pencari Fakta dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Yogyakarta menghasilkan petunjuk bahwa ada dugaan pembunuhan Udin karena sejumlah berita korupsi di Bantul yang ditulisnya. Sejumlah upaya hukum dan advokasi dilakukan, termasuk memberikan data-data hasil investigasi itu kepada pihak kepolisian. Namun, kepolisian tetap berpegang bahwa Iwik adalah pelakunya.
Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Artidjo Alkostar pernah menegaskan bahwa kasus pembunuhan Udin tidak akan kedaluwarsa. Menurut dia, dalam kasus ini, belum ada terdakwa yang sudah menerima vonis bersalah dari hakim sehingga tidak bisa diberi tenggat waktu kedaluwarsa 18 tahun.
“Nonsense kalau kasus Udin dikatakan akan kedaluwarsa,” ujar Artidjo seusai berbicara dalam diskusi “Refleksi Akhir Tahun Penegakan Hukum: Antara Cita dan Fakta,” di Aula Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yogyakarta, Kamis (26/12/2013).
Artidjo mengatakan sudah menyatakan pendapat ini dalam diskusi mengenai kasus Udin di Dewan Pers, beberapa waktu lalu. Menurut dia, saat itu, semua pihak dalam diskusi tersebut juga sepakat kasus Udin tidak akan pernah kedaluwarsa.
Tren Kasus Kekerasan Jurnalis
Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), Erick Tanjung menyebut, selain kasus Udin (1996), AJI Indonesia mencatat ada delapan jurnalis lain yang mati dibunuh karena berita. Delapan kasus di antaranya dikategorikan dark number.
“Hanya satu kasus yang pelakunya tuntas diproses hukum,” ujarnya.
Delapan jurnalis tersebut masing-masing: Naimullah (1997), Agus Mulyawan (1999), Muhammad Jamaluddin (2003), Ersa Siregar (2003), Herliyanto (2006), Ardiansyah Matrais Wibisono (2010), Anak Agung Prabangsa (2009) dan Alfred Mirulewan (2010).
AJI Indonesia juga mencatat sejak 2006 hingga 2022 terjadi 935 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Tren serangan terhadap jurnalis ini terus bertambah dari tahun ke tahun. Pada 2022 tercatat 61 kasus dengan 97 korban dari jurnalis, pekerja media dan 14 organisasi media. Jumlah kasus ini meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 43 kasus.
Jenis serangan yang dihadapi sebagian besar berupa serangan digital yakni 15 kasus, kekerasan fisik dan perusakan alat kerja (20 kasus), kekerasan verbal (10 kasus), kekerasan berbasis gender (3 kasus), penangkapan dan pelaporan pidana (5 kasus) serta penyensoran (8 kasus).
Dari sisi pelaku, sebanyak 24 kasus melibatkan aktor negara yang terdiri dari polisi (15 kasus), aparat pemerintah (7 kasus) dan TNI (2 kasus). Sedangkan aktor nonnegara sebanyak 20 kasus yang melibatkan ormas (4 kasus), partai politik (1 kasus), perusahaan (6 kasus) dan warga (9 kasus). Sisanya, 17 kasus belum teridentifikasi pelakunya.
Berdasarkan data tersebut, jumlah kasus serangan digital melonjak dibandingkan 2021 yang tercatat hanya 5 kasus. Lonjakan tersebut terjadi karena peristiwa peretasan terhadap alat kerja 37 pekerja media dan DDoS attack pada situs berita Narasi pada 24 hingga 29 September 2022. Kasus ini merupakan serangan digital terbesar yang dicatat AJI Indonesia dalam empat tahun terakhir.
Ada dua tren utama serangan digital selama 2022 yakni peretasan yang menyerang individu jurnalis atau pekerja media, dan serangan DDoS pada situs organisasi media. Dari data AJI Indonesia, terdapat 6 kasus peretasan dengan 43 jurnalis dan pekerja media yang menjadi korban. Peretasan itu menargetkan platform komunikasi Whatsapp, email, Facebook dan Instagram milik para korban.
Selain serangan digital, AJI Indonesia mencatat bagaimana kekerasan fisik terhadap jurnalis yang meliput di lapangan semakin mengkhawatirkan karena melibatkan aktor negara, utamanya anggota polisi.
Pasal defamasi atau pencemaran nama baik dalam UU ITE masih digunakan untuk menjerat jurnalis. Hal ini dialami oleh Muhammad Irvan, jurnalis Timurterkini.com yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sulawesi Tenggara, pada 9 Mei 2022 dan divonis bersalah.
“Media massa punya peran penting menjaga prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Media massa bertanggung jawab menjalankan fungsinya sebagai anjing penjaga. Tugas jurnalis mengawasi jalannya pemerintahan,” ungkap Erick.
Kerja jurnalis dijamin dalam Undang-Undang No.40 tahun 1999. Pasal 6 di antaranya juga berbunyi pers melakukan pengawasan, kritik, koreksi, saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Siapapun yang menghambat dan menghalangi kerja jurnalistik terancam pidana paling lama 2 tahun penjara dan denda paling banyak 500 juta rupiah.
(CSP)