Abdon Nababan: Kondisi Agraria Nasional Sedang Menghadapi Situasi Darurat

Abdon Nababan: Kondisi Agraria Nasional Sedang Menghadapi Situasi Darurat
Abdon Nababan: Kondisi Agraria Nasional Sedang Menghadapi Situasi Darurat (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA/1960) lahir 63 tahun lalu, tepatnya 24 September 1960. Kelahiran UUPA membutuhkan waktu 12 tahun melalui perjuangan kaum tani Indonesia untuk mendokolonisasi hukum agraria yang dibuat Belanda sebelumnya.

Untuk menghormati perjuangan gigih kaum tani, agar tanah dikelola untuk kesejahteraan rakyat, mengatur pembatasan penguasaan tanah oleh individu warga negara, serta untuk mengakui dan menghormati hukum adat yang sudah berlaku sebelum Republik Indonesia merdeka, maka tanggal 24 September ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional.

Pada Hari Tani Nasional tahun 2023 ini, Abdon Nababan sebagai sosok yang intens terlibat dalam perjuangan reforma agraria sejati oleh masyarakat adat, ketika dihubungi, Minggu (24/9), menyampaikan sikap dan pandangannya terkait persoalan pertanian dan agraria saat ini.

“Meski UUPA sudah berjalan selama 63 tahun, situasi agraria nasional sedang menghadapi situasi darurat. Konflik terjadi dibanyak tempat, di mana-mana menyeruak fakta tentang ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria oleh korporasi swasta dan negara. Fakta ini memastikan bahwa telah terjadi ketidakadilan distribusi dan produksi sumber agraria,” sebutnya.

Lebih jauh Abdon menyebut, darurat agraria terjadi akibat liberalisasi agraria yang tercermin dari terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja serta kebijakan Bank Tanah, Food Estate, Proyek Strategis Nasional (PSN) dan sebagainya.

“Selama 7 tahun Presiden Jokowi memerintah (2015-2022), beberapa organisasi non-pemerintah seperti Sayogyo Institute, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat terjadinya letusan konflik agraria sebanyak 2.710 kali yang didominasi oleh sektor pertanian dengan isu ketimpangan penguasaan tanah yang akut,” ucapnya.

Menurut Abdon, meski sudah ada 214 kebijakan daerah yang mengakui dan melindungi hak masyarakat adat dengan ruang hidupnya, namun masih terjadi juga 301 kali perampasan wilayah adat seluas 8,5 juta hektare selama Pemerintahan Jokowi.

“Data-data ini menunjukkan proses reforma agraria yang sejati berjalan lambat,” ujarnya.

Abdon Nababan yang menjadi Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sumatera Utara (Sumut) pada Pemilu 2024, menambahkan, Provinsi Sumut menduduki peringkat ketiga terbanyak soal terjadinya konflik agraria. Sampai saat ini kasus-kasus agraria dan pertanian masih terjadi di provinsi ini.

“Lambannya penyelesaian reforma agraria dapat dilihat pula bahwa pada minggu lalu saja, terdapat dua pengaduan soal agraria di Provinsi Sumut ini. Yang pertama, Kelompok Tani Maju Desa Ramunia, Kecamatan Pantailabu, Deliserdang, mengadukan pihak Kodam I Bukit Barisan ke Gubernur Sumut karena menutup akses petani ke lahan pertanian mereka. Yang kedua, para petani Desa Rambung dan Bingkawan, Kecamatan Sibolangit, mengadu ke markas Polda Sumut karena dugaan kriminalisasi petani yang berkonflik dengan PT Nirvana Memorial Nusantara,” ujar Abdon.

Abdon menegaskan, untuk mempercepat reforma agraria bagi kepentingan petani dan masyarakat adat, maka perlu segera disahkannya RUU Masyarakat Adat menjadi Undang-Undang yang diikuti dengan terbitnya Peraturan Daerah yang relevan pada semua tingkatan.

“Selain itu, pemerintah harus secepatnya melakukan kajian menyeluruh dan mendalam atas dampak kerusakan lingkungan hidup dari beroperasinya perusahaan-perusahaan besar di seluruh Provinsi Sumut, khususnya pencabutan ijin-ijin yang dipegang oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Kawasan Danau Toba yang sudah diprotes dan diperjuangkan lebih 30 tahun oleh rakyat korban di Tano Batak, serta areal HGU dan eks-HGU PTPN II di Sumatera Timur yang sudah diperjuangkan pengembaliannya oleh Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indoensia (BPRPI) selama lebih 70 tahun,” pungkas Abdon.

(REL/RZD)

Baca Juga

Rekomendasi