Kuburan Endas Woluh di Dusun Pondok Tengah, Serdang Bedagai. (Analisadaily/Jafar Wijaya)
Analisadaily.com, Medan - Desa Pondok Tengah di Kabupaten Serdang Bedagai, mempunyai kisah sejarah yang tidak dapat dilupakan Sukandar, anak dari Salik, pria yang diperintah untuk menggali dan mengubur korban yang dituduh sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
"Ayah saya itu orangnya pendiam, jarang bicara kepada anak-anaknya," ucap Sukandar saat ditemui di Desa Pondok Tengah.
Sukandar mendengarkan ayahnya saat bercerita bagaimana dirinya disuruh menggali lubang untuk kuburan bagi delapan orang, yang ia tidak ketahui dari mana asal para korban itu.
Sukandar lanjut menceritakan, pada tahun 1965 itu sekitar pukul 4 pagi jelang subuh ada datang sekelompok orang dengan menggunakan senjata mengetuk pintu rumah ayahnya.
"Saat pintu dibuka, orang itu langsung menodongkan senjata ke arah bapak dan mengatakan 'Ayo kesana'. Bapak pun langsung mengikuti perintahnya," ucap Sukandar mengingat cerita ayahnya, yang meninggal dunia pada 2020 lalu.
Ternyata, pada saat hendak menggali lubang itu tidak hanya Salik, tapi ada juga satu orang warga bernama Yusuf yang disuruh menggali lubang itu. Mereka pun berjalan ke arah perbukitan berjarak lebih kurang 300 meter dari rumah Salik.
Tiba di lokasi, ayahnya bersama Yusuf menggali lubang. Setelah lubang digali, kemudian mobil truk datang membawa beberapa orang dalam kondisi tangan diikat dan mata ditutup.
"Ada delapan orang turun dari mobil truk, mereka diikat dengan mata tertutup. Kedelapannya semua laki-laki. Bahkan, bapak dan pak Yusuf tidak mengetahui kedelapan orang itu dari mana," ucapnya.
Setelah turun dari mobil, kedelapan laki-laki itu mendekat ke lubang. Usai dieksekusi Salik dan Yusuf diperintahkan memasukkan ke lubang.
Salik dan Yusuf kemudian menutup lubang. Kata dia, mereka ibarat makan buah simalakama. Jika tidak dikubur, maka nyawa mereka juga menjadi taruhannya. Sebab, pada saat mengubur kedelapan korban itu mereka masih ditodong dengan senjata.
Saat sedang menguburkan korban, Salik seperti mendengar ada suara yang meminta tolong. Namun, karena tidak berdaya dan dengan tangan bergetar ia dan Yusuf menutup lubang dengan tanah tanpa menghiraukan suara itu. Hingga akhirnya sekelompok orang itu pergi meninggalkan Salik dan Yusuf.
Saat itu, kata Sukandar, ayahnya baru saja menikah dan memiliki anak yang saat itu berusia baru beberapa bulan. Pasca peristiwa itu, ayahnya memiliki trauma tersendiri.
"Kalau mengingat itu, Bapak pasti trauma lah," katanya.
Sukandar menambahkan, setelah kejadian itu ayahnya sering pergi ke kuburan Endas Woluh.
"Bapak sering melihat kuburan itu. Padahal Bapak saat itu cuma diperintahkan untuk menggali lubang dan sama sekali tidak tahu apa-apa," tuturnya.
(JW/CSP)