Pesta Demokrasi, Pestanya Siapa?

Pesta Demokrasi, Pestanya Siapa?
Pesta Demokrasi, Pestanya Siapa? (Analisadaily/Istimewa)

Oleh: Rizal R Surya

NEGARA ini akan digelar pesta. Pesta yang sangat meriah. Pesta yang sangat besar. Lebih besar dari pesta-pesta sebelumnya. Bahkan bisa disebut terbesar di dunia.

Dikatakan lebih besar, karena beberapa pesta digabung dijadikan satu.

Dilakukan secara serentak. Pesta yang menjadi perhatian utama adalah mencari pengganti RI 1 dan juga RI 2. RI 1 yang saat ini sedang berkuasa tidak boleh jadi pengantin lagi karena sudah dua periode berkuasa.

Sementara RI 2, tidak mencalonkan diri lagi. Sikap RI 2 ini tepat. Mampu membaca arah mata angin. Kalau angin tidak bertiup ke arahnya, untuk apa dilawan. Cukuplah satu periode saja. Setidaknya sudah masuk dalam catatan sejarah republik ini.

Pesta kali ini pasti lebih meriah dibanding lima tahun lalu. Pasalnya, seperti disebut di atas, juara bertahan atau sering disebut petahana atau incumbent, tidak ikut bermain. Jadi pengantinnya, wajah-wajah baru, meski ada stok lama.

Tanda-tanda kemeriahan sudah terlihat, karena pesta ini (pesta demokrasi) memang berbeda dengan pesta di kampung kami. Tapi sebenarnya, pesta di kampung kami lebih maju dibanding hajatan besar republik ini.

Di kampung kami, istilah zaman Siti Nurbaya, sudah tidak ada lagi. Tidak ada lagi dijodoh-jodohkan, atau kawin paksa. Semuanya berdasar cinta. Ada yang sudah pacaran setahun. Ada yang sudah dua tahun pacaran. Atau bahkan lebih. Kalau ada yang kurang dari itu, hanya satu-dua saja. Itupun karena "kecelakaan", tetap ada unsur suka sama suka.

Tapi di republik ini--yang konon katanya jauh lebih maju. Lebih modern dan hajatannya terbesar di dunia--masih menganut mahzab Siti Nurbaya. Kawin paksa! Kalaupun tidak dipaksa, setidaknya dijodoh-jodohkan. Ada yang baru kenal beberapa bulan. Bahkan ada yang ketemu menjelang "hari pertunangan".

Seru bukan? Yang penting jangan rusuh!

Pernikahan di republik ini memang rumit. Perjodohan anak-anak (calon pengantin), tidak hanya melibatkan orangtua kedua mempelai. Semua terlibat, mulai dari sepupu, paman, om, paklek, tante, buklek, bibi, uwak, hingga yang paling senior, mbah.

Semua harus ditanya. Semua harus dilibatkan atau melibatkan diri, karena punya peran (pengaruh). Sampai-sampai, pengantinnya sendiri bingung. "Sebenarnya, yang mau kawin siapa? Katanya, bebas milih, tapi..." Itulah serunya. Penuh dengan taktik dan intrik. Asal jangan manipulatif.

Terlepas dari lika-liku dan fenomena yang terjadi, yang pasti Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI selaku penyelenggara telah menetapkan tiga pasang calon pada 13 November 2023. Sah mereka sebagai pengantin.

Pertandingan dimulai. Tiga pasangan ini diberi kesempatan untuk "menjual diri" selama 75 hari. Mulai 28 November 2023. Bertandinglah secara sportif. Patuhi aturan yang berlaku.

Pileg

Bagaimana dengan hajatan yang lain? Pesta yang satunya lagi tidak kalah serunya. Kalau pilpres (pemilihan presiden) hanya diikuti tiga pasang calon, pesta yang satunya lagi (pemilihan anggota legislatif/pileg) diikuti ratusan ribu calon.

KPU pada 4 November 2023 telah mengumumkan daftar calon tetap (DCT). Sebanyak 9917 calon yang terdiri atas 4261 laki-laki dan 3676 akan memperebutkan 580 kursi DPR RI. Mereka ini akan bertarung di 84 daerah pemilihan (dapil). Sedangkan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebanyak 668 orang (535 laki-laki dan 133 perempuan).

Mereka akan memperebutkan empat kursi di masing-masing provinsi (38 provinsi). Sementara ratusan ribu caleg lainnya akan bertarung di 301 dapil untuk memperebutkan 2.372 kursi DPRD provinsi dan di 2.325 dapil untuk 17.510 kursi DPRD kabupaten/kota. Total keseluruhan 2.710 dapil dan 20.462 kursi.

Seperti pilpres, tidak mudah memperoleh tiket untuk bertanding. Sebelum memperoleh tiket (DCT), caleg harus berjuang terlebih dahulu di internal partai. Saling sikut merupakan hal biasa dan dianggap lazim.

Karena itu untuk menjadi caleg tidaklah mudah. Dibutuhkan kemampuan yang komplet. Ketenaran saja tidak cukup. Modal besar tidak bisa menjamin. Butuh kepintaran, butuh strategi dan butuh mental yang kuat, plus nasib baik (hoki).

"Masyarakat sekarang pintar-pintar. Semua ditampung. Dibagi (diberi) saja belum tentu dicoblos. Apalagi tidak. Pusing deh..." demikian obrolan sejumlah caleg pada suatu sore di pojok restoran kelas menengah.

Obrolan caleg itu merupakan realita. Realita yang harus mereka hadapi. Seperti peribahasa, "Dimakan mati emak, tidak dimakan mati ayah". Memberi saja belum tentu dipilih, apalagi tidak.

Obrolan itu sampai pada suatu kesimpulan, "Pintar-pintarlah". Hanya merekalah yang tahu maksudnya itu. Yang pasti praktik transaksional telah terjadi. Terjadi di mana-mana. Sudah tahu sama tahu. Bukan rahasia umum.

Kabarnya juga, tidak boleh melakukan "money politics" (politik uang). Kenyataan, tanya pada diri sendiri. "Tidak ada bukti. Tidak bisa dibuktikan," kata pengawas pemilu. "Betul kata," ujar penegak hukum menegaskan.

Apa kata pengamat? Apa kata akademisi? Apa kata pakar? Ibarat buang angin (kentut), baunya ke mana-mana tapi tidak bisa diraba.

Ketika aksi transaksional terjadi maka hukum ekonomi (jual beli) berlaku. Suara sudah dibeli, sudah dibayar. Maka menjadi milik pembeli. Putus hubungan. Jangan salahkan mereka (anggota legislatif). Jangan tuntut janjinya. Bukankah sudah kita jual?

Makanya, jangan dijual! Pertanyaannya, pesta ini. Hajatan ini, sebenarnya milik siapa?

(RRS/RZD)

Baca Juga

Rekomendasi