Rusaknya Etika Politik

Rusaknya Etika Politik
Ilustrasi. (Analisadaily/Istimewa)

Oleh: Sarah Madaniah S.E.*

LOLOSNYA Gibran sebagai calon wakil presiden yang bersanding dengan Capres Prabowo pada pertarungan politik pilpres 2024 masih menyisakan kegaduhan di banyak pihak. Keputusan MK No.90 dianggap sebagai Keputusan yang mengada-ngada dan dipaksakan karena jelas mengandung unsur nepotisme dan isu pelanggaran Undang-Undang Kehakiman. Berawal dari perubahan batas usia cawapres yang seolah sudah menjadi gambaran yang jelas bahwa Keputusan MK No.90 dibuat agar Gibran bisa lolos syarat calon wakil presiden. Usia memang bukanlah hal yang menjadi persoalan utama tapi lebih ke arah etika politik yang dilanggar oleh pengusung Gibran sebagai Cawapres. Tidak sedikit pihak menyatakan adanya kecacatan hukum dan demokrasi dalam proses terpilihnya Gibran.

Tentunya keputusan ini dianggap kabar gembira bagi sebagian orang tapi tidak sedikit juga yang menganggap ini sebagai kabar buruk. Bukan hanya pengamat politik, masyarakat awam, bahkan media asing pun ikut menyoroti keputusan ini dan tentu saja dengan hadirnya Gibran sebagai Cawapres menyebabkan munculnya spekulasi dinasti politik yang haus akan kekuasan dan mengobrak-abrik arti demokrasi yang sesungguhnya. Dari kejadian ini seolah-olah menjadi hal yang bisa membuktikan teori kekuasaan bahwa dengan adanya jabatan di kursi pemerintahan dan kekayaan bisa mengubah banyak hal, dari yang baik menjadi buruk atau dari yang buruk menjadi baik. Lalu apakah akan muncul sumber kekuasaan baru dalam konteks bernegara sebagai kekuasaan yang bisa diwariskan ? Mahkamah Konstitusi pun sendiri tidak ingin dipandang sebelah mata oleh masyarakat tapi malah mengeluarkan keputusan-keputusan yang mengarah untuk memihak kepentingan keluarga.

Tidak berhenti sampai disitu, Komisi Pemilihan Umum sontak membuat kaget dengan merubah peraturan bahwa tidak ada debat khusus cawapres. KPU berencana menggelar debat capres-cawapres dalam 5 kali gelaran debat secara bersamaan. Berbeda dari Pilpres 2019 yang formatnya 2 kali khusus capres, 1 kali khusus cawapres, dan 2 kali debat dengan komposisi bersamaan capres-cawapres. Jelas-jelas keputusan ini mengundang banyak tanda tanya khalayak umum. Meskipun akhirnya KPU kembali membuat keputusan mengacu pada UU Pemilu dan PKPU Nomor 15/2023 bahwa pelaksanaan debat capres dan cawapres akan dilaksanakan dengan format 3 kali debat capres dan 2 kali debat cawapres yang diadakan pada 12 Desember 2023. Nyatanya Prabowo - Gibran sendiri sudah delapan (8) kali tidak hadir dalam diskusi terbuka diantaranya, Indonesia Data and Economic Konferece Katadata, Kuliah Umum Dialog Kebangsaan UNPAR, President Candidate's Lecture - Perihimpunan Periset Indonesia, The 11th Annul US-Indonesia Invesment Summit, Ekslusif Mata Najwa Pasca Deklarasi, Sarasehan UNM Makassar, KG Media Diskusi Capres UNAIR, Rembuk Ide Habibie Centre. dan pada kegiatan Dialog Publik PP Muhammadiyah di Universitar Muhammadiyah Surabaya pada 24 November 2023, Gibran tidak hadir. Kerap kali berkelit dengan agenda padat, seharusnya sebagai cawapres bisa meluangkan waktu di dalam forum yang memperkenalkan konsep pemikiran dan gagasan capres dan cawapres. Toh juga rakyat pasti ingin kenal lebih dekat dan akrab dengan calon-calon pemimpin negri. Bukan hanya sekedar berkampanye di pasar-pasar dan belusukan terus.

Sejenak meriview mengenai etika politik. Rakyat harus disadarkan bahwa untuk membedakan permainan politik yang beretika dan tidak beretika bisa berdasarkan pada pertanyaan seperti Apa tujuan sebenarnya dalam berpolitik ? lalu apakah aktivitas berpolitik yang digunakan sesuai dengan standar kesetaraan dan keadilan ?. Bukankah sudah menjadi tidak beretika jika mempermainkan keadilan. Modifikasi-modifikasi keputusan terus bergulir tidak pernah berhenti. Dalam konteks kekuasaan, politik memang menjadi alat stir kekuasan yang mengarahkan kemana kekuasaan tersebut akan mengalir. Namun sangat disayangkan jika aliran kekuasaan tersebut harus menyalahi etika-etika yang secara tidak sesuai dengan konteks politik bernegara.

Dalam teori kekuasaan lain menyebutkan bahwa cara terbaik demi memperoleh kekuasaan adalah dengan keahlian dan acuan pribadi. Banyak sekali digaungkan bahwa yang muda harus diberikan kesempatan untuk memimpin sehingga menjadi tepat kolaborasi tua dan muda. Si yang lebih tua dianggap sudah pakar dan ahli dan kaya akan pengalaman sehingga dianggap mampu membopong amanah dan beban yang berat. Namun semakin tua akan semakin berdampak pada proses pengambilan keputusan karna akan semakin tumpul. Generasi muda memang sarat akan energi yang meluap-luap dan paham akan perkembangan zaman yang dinamis tapi yang tidak boleh dilupakan adalah kematangan berpikir dan miskin pengalaman hidup. Mengawinkan tua dan muda dalam konteks politik bukanlah hal yang salah dan banyak terjadi di dunia politik tapi ada aspek-aspek penting lainnya yang harus lebih diperhatikan. Bahkan ketidakmatangan pun menjadi ancaman akan timbulnya kesombongan yang akan merajai kekuasaan di Negara. Maka timbullah kekhawatiran baru bagaimana jika kesombongan itu menjadi akar dari niat jahat. Lalu bagaimana dengan nasib Negara kedepannya jika masyarakat memberikan posisi pemimpin kepada orang yang sudah melanggar etika politik ? dan apakah etika politik sekarang ini masih bisa digunakan sebagai acuan baik dan buruk dalam bertatanegara ?.

Syukur-syukur masyarakat saat ini sudah mulai melek politik dan sudah mulai sadar agar tidak lagi menjadi korban keserakahan kekuasaan para elit politik. Banyak kritik-kritik lahir dari masyarakat dan menjadi topik-topik panas yang seru didiskusikan dikalangan umum dan bukan hanya makanan utama para pakar politik saja. Aktivitas-aktivitas politik dan kekuasaan sudah menjadi suguhan wajib setiap harinya sepanjang perjalanan menuju pemilu. Masyarakat pun turut belajar membaca dan merebut aliran-aliran kekuasaan untuk kembali kepada jalan yang seharusnya. Semoga dalam dalam pesta demokrasi yang akan diselenggarakan pada tahun 2024 akan memunculkan pemimpin yang benar-benar tulus dan pro-sosial yang sudah menjadi harapan dan terpatri di dalam doa setiap kesusahan yang dirasakan rakyat.

*Penulis: Mahasiswa Magister Ilmu Manajemen – Fakultas Ekonomi dan Bisnis USU atas bimbingan Prof. Dr. Elisabet Siahaan,SE.,M,Ec (Guru Besar USU).

(BR)

Baca Juga

Rekomendasi