Begal Vs Aparat Kepolisian

Begal Vs Aparat Kepolisian
Ilustrasi. (Analisadaily/Istimewa)

Oleh: Rizki Rahmania dan Mahmul Siregar*

KEJAHATAN tindak pidana perampasan pada harta seseorang dengan kekerasan (begal) telah banyak memakan korban terjadi di Indonesia. Angka kejahatan ini mengalami peningkatan secara signifikan. Munculnya kekerasan dengan beragam bentuknya ini sudah tentu menggugat konsep ideal Indonesia sebagai negara hukum dan sekaligus juga menggugat konsep ideal tentang suatu bangsa yang berperikemanusiaan, berkeadilan, dan beradab.

Kejahatan ini telah dianggap sebagian masyarakat suatu hal yang biasa. Bahkan sering kali kekerasan digunakan oleh seseorang atau sekelompok dengan tujuan tertentu yang mengenyampingkan hukum sebagai dasar setiap melakukan tindakan (principle guiding). Hal ini sungguh sangat prihatin, karena sebagian besar dari bentuk kekerasan di jalan raya hingga sampai sekarang masih belum tuntas melalui proses hukum yang berlaku di Indonesia.

Walaupun Indonesia telah menyematkan dirinya sebagai negara hukum, pasti akan mengalami kewalahan dalam hal mencegah dan menaggulangi kejahatan tersebut. Apalagi kejahatan- kejahatan yang terjadi sering terang-terangan diserati kekerasan pada fisik. Kejahatan jalanan atau biasa disebut “begal” suatu perbuatan sangat menakutkan. Padahal Tim Kepolisian telah berupaya meringkus bandit-bandit yang berusia masih muda diantara 15-25 tahun.

Akan tetapi, bandit-bandit ini terus bermunculan bahkan lebih banyak, seperti mati satu tumbuh seribu. Dalam banyak kejadian kejahatan begal, pelaku mula-mula memepet sasaran di jalanan sepi, kemudian ketika korban sudah tidak ada ruang untuk bergerak, para pelaku merampas dengan cara menakut-nakuti menggunakan senjata tajam bahkan rela melukai korban dengan sadis sampai korban tidak berdaya.

Sungguh sangat heran tapi nyata, sebab tidak sampai diluar akal fikiran ada yang tega melakukan kejahatan itu dengan cara kekerasan. Seharusnya perbuatan tersebut tidak pantas dilakukan, sejatinya dizaman sekarang harus memanfaatkan hal-hal yang lebih kreatif, inovatif dalam hal melakukan kegiatan apapun.

Terlepas faktor-faktor lainnya, setidaknya sebagai manusia yang telah diberikan akal oleh Tuhan dapat berfikir yang logis bahwasanya sudah tidak zamannya lagi melakukan kejatahan demikian. Oleh karena itu, aparat penegak hukum terutama pihak Kepolisian sebagai ring pertama dalam melakukan tindakan, harus lebih kreatif untuk melakukan tindakan baik secara hukum maupun melakukan upaya lainnya, seperti pencegahan dan menanggulangi kejahatan begal ini agar lebih kreatif dan inovatif pula. Bukan hanya memahami faktor ekonomi, melainkan lingkungan, psikologi pelaku, kondisi sosial, memperketat personil untuk penjagaan dan sebagainya. Melainkan cara yang tepat serta memberikan solusi yang terbaik.

Akhir-akhir ini kejahatan (begal) sudah merebak dan meresahkan masyarakat. Keresahan itu bukan lagi sebuah kekesalan terhadap para pelaku, melainkan masyarakat sudah menganggap hal yang biasa ketika kejahatan begal itu terjadi. Seyogyanya tidak demikian, tapi pada realitanya begitulah yang terjadi. Setiap hari setiap saat muncul pemberitaan terjadi pencurian dengan kekerasan (begal) terjadi di masyarakat.

Hukum di Indonesia pada dasarnya telah merespon persoalan ini melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kejahatan tersebut telah diatur dalam Pasal 362 KUHP terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif, yaitu unsur subjektif disebut “met het oogmerk om het zich wederrechtelijk toe te eigenen“atau Dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum. Sedangkan unsur objektif itu ada Hij atau barang siapa, Wegnemen atau mengambil, Eenig goed atau sesuatu benda, Dat geheel of gedeeltelij aan een ander toebehoort atau yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain.

Suatu tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP juga merupakan gequalificeerde diefstal atau suatu pencurian dengan kualifikasi ataupun merupakan suatu pencurian dengan unsur-unsur memberatkan. Dengan demikian dalam Pasal 365 KUHP sesungguhnya hanyalah satu kejahatan, dan bukan dua kejahatan yang terdiri atas kejahatan pencurian dan kejahatan pemakaian kekerasan terhadap orang, dari kejahatan pencurian dengan kejahatan pemakaian kekerasan terhadap orang.

Menurut KUHP pencurian dengan kekerasan (begal) termasuk dalam kategori pencurian, secara khusus diidentikkan dengan kekerasan atau mengambil barang yang bukan haknya baik sebagian maupun keseluruhan yang didahului atau disertai dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang dengan maksud mempermudah aktifitasnya, dalam hal tertangkap tangan maka persiapan yang dilakukan pelaku adalah dimaksudkan untuk melarikan diri sendiri atau peserta lain atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya diatur dalam KUHP Pasal 365 yang ancaman hukumannya adalah mati atau seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun apabila menyebabkan korban luka berat atau meninggal dunia.

Tidak ada kata lelah ketika untuk menyelesaikan permasalahan begal dengan kekerasan. Walaupun segala upaya telah dilakukan untuk mencegah dan menganggulani kejahatan ini, mulai dari struktur hukumnya yaitu polisi, kejaksaan, pengadilan, pengacara yang telah memiliki bekal ilmu hukum yang baik dan pengalaman yang hebat. Berikutnya substansi hukum, terus memperbaharui peraturan kejahatan begal ini baik dari segi khusus maupun umum. Budaya hukumnya juga demikian. Dilakukannya pengayaan, pengayoman dan lainnya terhadap ruginya melakukan kejahatan begal ini.

Tegasnya Polri dapat menindak pelaku kejahatan begal ini agar diasingkan dari kelompok masyarakat, diasingkan dari keluarganya, dari tempat nyaman ke tempat yang sangat menakutkan. Solusi tersebut dapat dilaksanakan pihak kepolisian sebagai bentuk pemberian hukuman secara mental untuk pelaku kejahatan begal dengan kekerasan. Berikutnya pihak kepolisian dapat menghukum pelaku begal dengan cara merangkulnya atau secara lembut.

Yaitu jadikan ia sebagai keluarga. Bisa saja, pelaku melakukan kejahatan dikarenakan tidak ada orang yang menyayanginya, sering di bully, sering disudutkan sehingga melakukan kejahatan merupakan wadah untuk menyalurkan balas denda, Dapat juga memberikan label sebagai orang jahat. Misalnya pelaku diarak ditempat keramaian/umum, diberitakan di media sosial atau masyarakat pemberian penghargaan sebagai orang jahat.

Namun, pencegahan dan penanggulangannya bukan hanya sebatas kepada subjek hukum terhadap pelaku, bisa saja kejahatan ini terus terjadi disebabkan kurangnya ide atau gagasan dari penegak hukum terhadap pemberian hukuman kepada pelaku. Sehingga menyebabkan tidak adanya efek jera dari pelaku atas perbuatanya.

Atau melalui perbaikan- perbaikan dari lembaga tersebut. Selain itu, diperlukan peran serta masyarakat untuk terlibat aktif dalam menyelesaikan permasalah ini dengan berbagai cara. Terakhir adalah melalui mekanisme penguatan regulasi dalam pemberian hukuman, saran ini tentunya harus di fikirkan. Terkhusus apabila diterapkan di Indonesia harus melewati proses yang panjang dan alot.

*Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Hukum USU.

(BR)

Baca Juga

Rekomendasi