Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, Mahfud MD saat mengisi kuliah kebangsaan di Universitas HKBP Nommensen, Medan, Senin (15/1). (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Energi politik tahun 1993 sangat kuat, begitu juga dengan otoritarianisme, dan hukum yang katanya supreme, panglima atau pengendali utama, ternyata dikalahkan politik.
"Saat itu, hukum dipermainkan. Hukum kalah betul dengan politik," kata Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, Mahfud MD mengawali topik saat mengisi kuliah kebangsaan di Universitas HKBP Nommensen, Medan, Senin (15/1).
Calon Wakil Presiden nomor urut 3 ini menceritakan, bahwa dia dia pernah menulis disertasi tentang Politik Hukum di Indonesia.
"Kenapa saya memilih isu ini? Saya belajar hukum tata negara, hapal asas hukum perdata dan pidana. Sesudah lulus saya gelisah. Katanya hukum itu supreme, panglima, pengendali paling utama. Tapi ternyata energi politik sangat kuat. Saat itu, 1993 otoritarianisme sangat kuat," tutur Mahfud.
Mahfud pun belajar ilmu politik untuk tahu jawaban kenapa hukum kalah dan bagaimana cara memenangkannya. Dari sana dia mengetahui ternyata hukum kalah dari politik, karena hukum produk politik. Undang-undang, keputusan dan lain itu produk politik. Jadi konfigurasi politik sangat menentukan karakter hukum.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, Mahfud MD, menunjukkan bukunya 'Politik Hukum di Indonesia' yang dibawa seorang mahasiswa di acara 'Tabrak, Prof' di Medan, Minggu (14/1). Analisadaily/Cristison Sondang Pane
"Artinya, jika politiknya demokratis, hukumnya akan responsif. Jika politiknya otoriter, maka hukumnya konservatif," ucap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.
Masih kata Mahfud, apabila politiknya demokratis, peran partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dominan. Pemerintah netral, Pers bebas. Maka hukumnya responsif. Pembuatannya mengutamakan legislatif dan pengadilan. Wajahnya apsiratif dan membatasi interpretasi hukum.
Jika politik otoriter, parpol dan DPR dikooptasi. Pemerintah rajin mengintervensi. Pers dikekang hukumnya ortodoks, pembentukannya kooptatif, positif instrumentalistik atau membenarkan kebijakan yang salah, dan open interpretasi atau diartikan suka-suka.
Perkuat KPK
"Jika hukum ingin baik, jadi panglima, maka politiknya harus ditata agar demokratis dan bermartabat," pesannya.
Karena itu, sambung Mahfud, penegakan hukum ke depan harus seimbang. Untuk kelas atas, para oligarki, pejabat, harus diberi kepastian usaha dengan penegakan hukum yang tegas. Sementara untuk rakyat bawah harus ada perlindungan.
"Termasuk perbaiki legal struktur, aparat penegak hukum, perbaiki pucuknya. Tidak sulit kok. Tinggal berani atau tidak. Juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus independen dan diperkuat. Kembalikan ke UU yang dulu saja. Lebih bertaji dan produktif," pungkasnya.
Dalam kesempatan ini, mahasiswa dari berbagai jurusan berebut bertanya kepada Mahfud. Mayoritas mengeluhkan tentang hancurnya penegakan hukum, maraknya korupsi, dan culasnya oknum aparat penegak hukum. Sejumlah penanya terbaik, dapat hadiah buku yang ditandatangani oleh Mahfud.
(CSP)