Indonesia Darurat Perundungan Anak di Dunia Pendidikan

Indonesia Darurat Perundungan Anak di Dunia Pendidikan
Indonesia Darurat Perundungan Anak di Dunia Pendidikan (Ilustrasi/pexels.com)

Analisadaily.com, Medan - Analis Legislatif Madya Bidang Kesra pada Pusat Analis Keparlemenan Badan Keahlian DPR RI, Trias Palupi Kurnianingrum menyebutkan Indonesia saat ini sedang darurat perundungan anak di dunia pendidikan.

Berdasarkan data yang dirilis Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), tercatat sepanjang 2023, setidaknya ada 30 kasus perundungan di satuan pendidikan, jumlah ini meningkat 9 persen dari tahun sebelumnya (2022).

Dari 30 kasus, 50 persennya terjadi di SMP, sementara 30 persen terjadi di jenjang SD, sebanyak 10 persen terjadi di jenjang SMA, dan 10 persen lainnya terjadi di jenjang SMK.

Catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menyebutkan, ada sebanyak 64 aduan dengan rincian kekerasan terhadap anak pada satuan Pendidikan sepanjang 2023.

Peningkatan kasus perundungan ini menunjukkan aturan yang dibuat belum terealisasi secara optimal.

Faktor penyebab perundungan anak dibedakan menjadi 2, yakni internal dan eksternal.

Faktor internal adalah faktor yang bersumber dari diri pelaku yang berupa faktor psikologis seperti gangguan kepribadian maupun ketidakstabilan emosi.

Sementara faktor eksternal adalah faktor di luar diri pelaku yang memengaruhi kehidupan pelaku sehingga memiliki dorongan untuk melakukan tindakan perundungan.

Misalnya pengaruh teman sebaya; senioritas; keluarga tidak harmonis; perbedaan kelas seperti ekonomi, agama, gender, etnis atau rasisme; minimnya pengetahuan; situasi sekolah yang tidak harmonis atau diskriminatif; acara televisi yang kurang mendidik; dan sebagainya.

Selain itu pengaruh acara televisi dan games yang mengandung unsur kekerasan bahkan menjadi salah satu penyebab tingginya kasus perundungan. Hal ini dikarenakan tayangan dari televisi dan games tersebut secara tidak langsung akan tertanam di dalam otak bawah sadar anak.

“Meningkatnya tindakan perundungan anak di dunia pendidikan menunjukkan, pelindungan hak anak terhadap aksi tersebut masih belum maksimal,” ucap Kurnianingrum dalam kajian singkat terhadapa isu aktual dan strategis Pusat Analis Keparlemenan Badan Keahlian DPR RI, Rabu (24/1/2024).

Upaya

Menurutnya perlu beberapa upaya yang harus dilakukan yakni, edukasi. Pasalnya dalam beberapa kasus perundungan, tidak dipungkiri masih banyak sekolah seolah menutup mata terkait hal tersebut.

“Kemendikbudristek sebaiknya perlu didorong untuk melakukan, pertama, edukasi terhadap sekolah secara optimal. Harus ada perbaikan sistem sekolah, seperti edukasi stop bullying, literasi guru, proyek, dan sebagainya,” bilangnya.

Karena dengan adanya edukasi maka pihak-pihak di lingkungan sekolah akan memahami bentuk dan dampak perundungan sehingga lebih mudah meminimalisasi potensi perundungan di sekolah.

Sementara untuk orang tua, edukasi dapat ditanamkan sedari dini dengan memberikan contoh seperti berperilaku dan tutur kata yang baik.

Kedua, sosialisasi peraturan Kemendikbudristek nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

“Sosialiasi dibutuhkan karena masih banyak sekolah yang tidak mengetahui materi di dalam Permendikbudristek No. 46 Tahun 2003. Misalnya terkait mekanisme penanganan apabila terjadi kekerasan dan perundungan,” sebutnya.

Kurnianingrum juga menilai banyak sekolah yang tidak mengetahui bahwa sekolah wajib untuk membentuk satuan tugas (satgas) dan Tim Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan (TPPK).

“Padahal ketentuan ini tertuang di dalam Pasal 15 ayat (1) huruf e Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 yang mengamanatkan pembentukan TPPK di lingkungan satuan pendidikan dalam rangka penguatan tata kelola,” sebutnya.

Revisi

Lainnya, langkah untuk merevisi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik (Permenkominfo No. 11 Tahun 2016) juga menjadi hal penting. Tidak dipungkiri banyak aksi perundungan anak yang terinsipirasi dari games atau permainan yang ramai di media sosial.

Anak perlu mendapat pengawasan dan pembatasan akses permainan sesuai dengan peruntukannya.

“Revisi diperlukan untuk membatasi anak mengakses konten kekerasan dan sadisme di dalam sebuah games karena di dalam aturan tersebut hanya mengatur klasifikasi permainan tanpa adanya penguatan pelindungan anak dari paparan konten negatif,” katanya.

Ditegaskan Kurnianingrum, Komisi X DPR RI perlu mendorong Kemendikbudristek RI untuk meminta sekolah menerapkan zona zero bullying guna mencegah perundungan dan menangani anak yang menjadi korban.

“Tidak hanya itu, sebelum terlambat, sekolah dan orang tua pun juga harus meningkatkan pengawasan terhadap isu perundungan,” pungkasnya.**

(DEL)

Baca Juga

Rekomendasi