Daya Beli Stagnan dan Ongkos Produksi Tinggi, Pemerintahan Baru Harus Realistis

Daya Beli Stagnan dan Ongkos Produksi Tinggi, Pemerintahan Baru Harus Realistis
Daya Beli Stagnan dan Ongkos Produksi Tinggi, Pemerintahan Baru Harus Realistis (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Jakarta - Pertumbuhan ekonomi Indonesia dinilai akan relatif stabil di kisaran 5%, tetapi banyak pekerjaan rumah (PR) dan tantangan pemerintahan baru dalam lima tahun ke depan, agar target ekonomi yang lebih realistis dapat tercapai.

Hal tersebut diungkapkan Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih relatif stabil di kisaran 5% di tengah ketidakpastian ekonomi global dan kemungkinan berakhirnya era suku bunga tinggi. Harga komoditas ekspor utama pun menjadi penentu dari sisi eksternal dan global di tengah tekanan geopolitik internasional.

“Meski demikian, pekerjaan rumah dan tantangan terbesar adalah memperbaiki konsumsi masyarakat, daya saing ekspor, hingga mempertahankan keberlanjutan fiskal,” ujarnya dalam diskusi di acara buka puasa IGICO Public Affairs Advisory & BRIEFER bersama jurnalis, dengan tema ‘Menakar Peluang dan Tantangan Ekonomi di Awal Kepemimpinan Rezim Baru’, di Greyhound Cafe, Jakarta, pada Jumat (22/3).

Tauhid menjelaskan sejumlah peluang dan tantangan yang akan dihadapi rezim baru, yang terpilih pasca Pilpres 2024. Dari sisi peluang, kondisi ekonomi global perlahan membaik. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2024 sebesar 3,1% sedangkan World Bank 2,4%.

Perkembangan inflasi global pun terus menurun. Di mana pada 2022 sempat mencapai 8,7%, dan tahun lalu 6,9%. Adapun pada 2024, inflasi global diproyeksi kembali menukik menjadi 5,8% dan tahun depan sekitar 4,4%. Peluang lainnya ketika inflasi menurun secara global adalah The Fed diperkirakan memangkas suku bunga pada semester II/2024. Dari 5,50% pada 2023 menjadi kisaran level 4,75%-5%.

“Nanti suku bunga pinjaman cenderung akan semakin turun, suku bunga konsumsi turun. Ini bagi banyak negara akan happy kalau misalnya The Fed menurunkan suku bunga karena dia punya multiplier effect di sektor keuangan yang cukup besar sekali,” ujarnya.

Di sisi lain, Indonesia pun dapat berharap meningkatkan ekspor empat komoditas unggulan yaitu batu bara, minyak mentah, nikel dan minyak sawit yang harganya perlahan membaik. Tauhid juga menyebut, rezim baru akan mewarisi pertumbuhan ekonomi yang cenderung stabil di mana pada 2023 sekitar 5,05% dan tahun ini diperkirakan mencapai 5,2%.

Selain itu, pemerintah Indonesia yang baru memiliki modal yang kuat dari sisi Manufacturing Purchasing Manager Index (PMI). Pada Januari 2024, PMI Manufaktur S&P Global Indonesia tercatat naik menjadi 52,9 dari Desember 2023 sebesar 52,2.

Total penanaman investasi di Indonesia pun cukup baik, mencapai Rp1.418,9 triliun pada 2023, naik dari posisi 2023 sebesar Rp901 triliun. Pun demikian dengan consumer confidence index yang mencapai 125 hingga kuartal III/2023.

“Jadi ini menandakan bahwa potensi atau peluang ekonomi kita sebenarnya tidak langsung berjalan cepat,” tuturnya.

Harga Pangan

Dari segi tantangan yang akan dihadapi, menurut Tauhid, tekanan global masih tetap terjadi. Harga pangan dunia masih di atas rerata harga sebelum pandemi melanda dan sulit untuk turun ke harga semula. Hal itu diperparah konflik Rusia-Ukraina dan Palestina-Israel yang belum dapat diprediksi kapan berakhir sehingga mengacaukan rantai pasok.

Oleh karena itu, pemerintahan baru nanti menurut Tauhid, akan dihadapkan pada isu konsumsi rumah tangga yang tertahan. Padahal, konsumsi rumah tangga berpengaruh sekitar 58% sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini menjadi cerminan persoalan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Sementara, dari perdagangan, Indonesia menghadapi tren surplus yang susut. Neraca perdagangan kumulatif periode Januari-Februari misalnya, di mana pada 2023 mencapai US$9,28 miliar sedangkan pada 2024 hanya US$2,87 miliar. Adapun pada Februari 2024, impor Indonesia tumbuh 15,8% sedangkan ekspor minus 9,4% secara tahunan.

Tantangan riil demikian ditambah stabilitas global bakal mengancam akselerasi target pertumbuhan ekonomi. Tak heran Bappenas, kata Tauhid, pada 2023 dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2025-2029 melalui skenario transformatif dan super transformatif mematok pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,6%-6,1%.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 pun dipatok paling tinggi 5,2%. Sedangkan calon presiden-calon wakil presiden terpilih yaitu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming menargetkan pertumbuhan 6%-7%, bahkan ekonomi Indonesia dijanjikan meroket hingga 8%.

“Artinya kalau 2025 harus 6% itu sangat tidak masuk akal. Begitu pula kalau pertumbuhan ekonomi dikaliberkan sampai 7% apa lagi 8%, ini berat banget. Pemerintahan Pak Jokowi saja menargetkan sampai 2029 naik hanya sampai di 6,1%. Tim ekonomi presiden baru nanti harus memutuskan koreksi target pertumbuhan ekonomi yang bener-bener achievable jadi bisa rasional, bisa ditargetkan sampai 2029,” tuturnya menekankan.

Program Pemerintah

Pemerintahan baru yang terpilih 5 tahun ke depan pun menurutnya dihadapkan pada bagaimana memilih prioritas program. Pemerintahan saat ini memiliki prioritas pada penaikan kualitas pendidikan tentunya dengan menaikan anggaran. Disusul social protection, infrastruktur, dan kesehatan.

Adapun calon pemerintahan yang baru sudah mencanangkan program makan siang gratis. Di mana anggarannya dinilai dapat membebani APBN atau bahkan mengorbankan program prioritas lain seperti kesehatan dan infrastruktur yang sudah berjalan baik di era Joko Widodo.

“Jadi tantangannya adalah memilih prioritas program yang berhadapan dengan ketersediaan anggaran yang ada. Pemerintahan baru harus bisa menjaga keberlanjutan fiskal,” imbuh Tauhid.

PPN 12% Memberatkan

Dari sisi kebijakan fiskal, penerapan PPN 12%, bakal memiliki dampak siklus yang panjang yaitu kenaikan biaya produksi dan konsumsi yang menekan daya beli sehingga utilisasi dan penjualan melemah. Tentunya akan berpengaruh pula pada menurunnya penyerapan tenaga kerja, pendapatan dan konsumsi yang menurun dan menghambat pemulihan ekonomi serta menekan pendapatan negara.

“Tantangan-tantangan itu harus diatasi pemerintahan baru. Karena kita perlu akselerasi pertumbuhan ekonomi, serta menjaga konsistensi prioritas pembangunan nasional. Oleh karena itu pemerintahan baru harus menunda kenaikan PPN 12%, serta mengurangi efek volatile food karena inflasi. Dan diharapkan dapat mendorong reindustrialisasi dan mempertahankan pertanian sebagai prioritas pembangunan yang akan datang,” pungkasnya.

(REL/RZD)

Baca Juga

Rekomendasi