Ilustrasi manajemen konflik. (Analisadaily/Istimewa)
Oleh: Yuni Sari Fransiska Sihotang*
KERJA sama dalam mencapai tujuan organisasi merupakan faktor kunci untuk menciptakan lingkungan kerja yang produktif dan efektif di instansi pemerintah. Kerja sama yang kuat dan efektif antar sesama pegawai sangat berpengaruh terhadap pencapaian visi dan misi organisasi. Hal ini dikarenakan tim satu dengan tim yang lainnya di dalam organisasi memiliki keterkaitan yang erat di dalam proses kerja sama. Namun demikian, suasana kerja sama diantara para pegawai tidaklah selalu tercipta dengan baik.
Perbedaan yang terdapat dalam organisasi seringkali menyebabkan terjadinya ketidakcocokan yang pada akhirnya menimbulkan konflik. Adapun faktor yang menyebabkan hubungan kerja sama yang kurang baik tersebut diantaranya ialah yang pertama, perbedaan pendapat. Konflik sering terjadi karena adanya perbedaan pendapat dan pemahaman para pemimpin atau antar anggota tim di dalam organisasi terhadap pencapaian kinerja dan tujuan strategis organisasi. Misalnya, realisasi kinerja dari sisi anggaran, beberapa tim menganggap bahwa setelah selesainya kegiatan dan segala pengeluaran telah dilaksanakan kepada pihak yang berkepentingan dalam kegiatan yang bersangkutan, maka kinerja tim tersebut sudah selesai. Padahal kenyataannya, kinerja dari sisi anggaran itu adalah ketika besaran realisasi anggaran tersebut sudah diakui dan diterbitkan oleh Kementerian Keuangan melalui aplikasi SPAN, selanjutnya agar instansi yang bersangkutan mendapatkan nilai yang maksimal, besaran realisasi anggaran harus sesuai dengan target yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Tindakan serta perilaku individu ataupun kelompok dalam mewujudkan tujuan organisasi dapat dilakukan dengan cara yang bermacam-macam. Ada yang mewujudkannya dengan melakukan cara yang sama dan ada pula yang dilakukan dengan cara berbeda, hal tersebut memerlukan adanya kebijaksanaan dari masing-masing pihak, apabila tidak maka sudah dapat dipastikan dalam proses kerja sama dimungkinkan akan terjadi gesekan-gesekan yang lama-kelamaan jika tidak cepat diatasi maka akan menimbulkan terjadinya konflik baik kepada atasan ataupun sesama rekan kerja.
Kedua, ketidakcocokan personal. Konflik juga dapat muncul karena ketidakcocokan antarpersonal antara anggota tim atau antara pimpinan dengan bawahan. Misalnya, gaya kepemimpinan yang berbeda, konflik kepribadian dan perbedaan nilai-nilai serta etika kerja. Ketiga, Kurang konsisten terhadap peran dan tanggung jawab. Ketidakkonsistenan mengenai peran dan tanggung jawab dapat menciptakan ketegangan di antara anggota tim atau antara unit kerja. Hal ini dapat menyebabkan tumpang tindih atau kurangnya koordinasi yang mengarah pada konflik.
Keempat,
kondisi kerja yang tidak kondusif. Lingkungan kerja yang tidak kondusif, termasuk tingkat stres yang tinggi, beban kerja yang tidak seimbang dan kurangnya sumber daya dapat menciptakan ketegangan di antara anggota tim. Kelima, ketidakpuasan terhadap kepemimpinan. Konflik dapat muncul jika ada ketidakpuasan terhadap cara pimpinan mengelola sumber daya dan kebijakan.
Kata konflik berasal dari Bahasa latin “confirege”, yang berarti saling memukul, secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan dan membuat tidak berdaya. Menurut Sudarmanto, dkk dalam bukunya “Manajemen Konflik’’ (2021) menyatakan bahwa konflik dapat didefinisikan sebagai sebuah proses yang dimulai ketika suatu pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain telah memengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi kepedulian atau kepentingan pihak pertama. Definisi ini mencakup berbagai konflik yang terdapat dalam organisasi yang bisa meliputi ketidakselarasan tujuan, perbedaan interpretasi fakta, ketidak sepahaman yang disebabkan oleh ekspektasi perilaku.
Berdasarkan beberapa pengertian konflik diatas, penulis berpendapat bahwa konflik merupakan suatu keadaan di mana terdapat perbedaan pendapat, kepentingan, tujuan atau pandangan antara dua pihak atau lebih yang menyebabkan ketegangan dan pertentangan.
Konflik dalam organisasi sering kali dilihat sebagai sesuatu yang berdampak negatif, padahal tidak semua konflik selalu negatif dan merugikan. Jika konflik bisa ditata dengan baik, maka bisa menjadi katalisator untuk pertumbuhan, perubahan positif dan peningkatan kinerja serta keberlanjutan organisasi.
Manajemen konflik adalah proses mengidentifikasi dan menangani konflik secara efektif dan efisien. Tujuannya adalah untuk meminimalkan dampak negatif dari konflik dan memaksimalkan peluang yang mungkin muncul dari situasi konflik. Manajemen konflik melibatkan berbagai strategi untuk menangani perselisihan antara individu, kelompok atau pihak-pihak yang terlibat dalam suatu organisasi atau situasi.
Dalam merealisasikan strategi konflik, pihak yang terlibat konflik menggunakan taktik konflik. Taktik konflik adalah teknik yang mempengaruhi lawan konflik untuk menghasilkan keluaran konflik yang diharapkan dalam menghadapi situasi konflik. Beberapa taktik konflik menurut Wirawan( dalam Sudarmanto dkk, 2021 ) adalah yang pertama, taktik persuasi rasional. Taktik ini digunakan untuk mempengaruhi lawan konflik dengan mengemukakan data fakta informasi hukum (undang-undang atau peraturan), teori ilmu pengetahuan, etika moral dan/atau pengalaman masa lalu, baik yang baik maupun yang buruk. Kedua, taktik legitimasi, yaitu taktik yang digunakan oleh pemimpin yang menduduki posisi tertentu secara sah (dipilih atau diangkat secara sah). Jika menghadapi situasi konflik, pemimpin tersebut menunjukkan bahwa apa yang dilakukannya sesuai atau tidak bertentangan dengan jabatan posisi atau perannya. Apa yang dilakukannya sesuai dengan jabatannya serta ia mempunyai hak untuk menyusun dan melaksanakan suatu kebijakan tertentu. Ketiga, taktik permintaan inspirasional, yaitu, mengemukakan nilai-nilai norma, harga diri dan kesatuan organisasi untuk membangkitkan emosi, motivasi dan cita-cita bersama. Pemimpin organisasi akan mengingatkan pentingnya persatuan dalam mencapai tujuan atau cita - cita bersama. Keempat, taktik mengoptimasi, yaitu mengikutsertakan memberikan jabatan, posisi atau peran tertentu kepada lawan konflik untuk berperan serta dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh organisasi. Dengan mengoptimasi lawan konflik, ia merasa diikutsertakan dalam merencanakan, dan melaksanakan keputusan sehingga akan menghentikan pertentangan atau sikap negatif.
Kelima, taktik pertukaran, yaitu membuat janji untuk memberikan sesuatu sebagai imbalan jika lawan konflik berperilaku tertentu atau lawan konflik memberikan sesuatu. Taktik ini menciptakan solusi kompromi atau kolaborasi. Keenam, taktik mencari teman atau koalisi, yaitu taktik mencari teman atau koalisi umumnya dilakukan oleh pihak yang terlibat konflik dengan kekuasaan atau posisi lebih lemah daripada lawan konflik. Tujuan taktik ini adalah mencari teman untuk memperbesar kekuasaan atau memperkuat posisinya dalam menghadapi lawan konflik. Ketujuh, taktik menahan diri atau diam. Taktik ini berupa tidak melakukan sesuatu atau tidak bereaksi atas apa yang dilakukan oleh lawan konflik.
Kedelapan, taktik menangis dan mengimbau, yaitu taktik yang menunjukkan ketidakberdayaan pihak yang terlibat konflik menghadapi tindakan lawan konflik. Tujuan dari taktik ini adalah meminta belas kasihan kepada lawan konflik atau untuk menarik simpati pihak ketiga sehingga memperbesar kekuasaannya. Kesembilan, taktik mengancam. Seorang pemimpin yang terlibat konflik dengan karyawannya bisa menggunakan taktik mengancam untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan karyawan tersebut. Sebagai contoh pemimpin mengancam akan memberikan surat peringatan yang terlibat konflik dengannya atau mengancam tidak akan memproses kenaikan pangkat atau gajinya.
Kesepuluh, taktik berbohong. Jika menghadapi situasi konflik seseorang yang jujur bisa berubah menjadi pembohong terutama jika posisinya terdesak dan objek konflik menentukan hidup dan harga dirinya. Berbohong dengan memberikan informasi yang tidak benar, mengelak/menolak untuk memberikan informasi atau diam ketika ditanya mengenai sesuatu mungkin akan dilakukan. Kesebelas, taktik mengulur waktu, yaitu menunda untuk melakukan sesuatu atau menolak untuk merespons lawan konflik dalam interaksi konflik. Tujuannya mengulur waktu adalah untuk menenangkan diri, membuat lawan bosan atau menunda berbuat sesuatu hingga waktu yang tepat.
Thomas dan Kilmann ( dalam Sudarmanto dkk, 2021 ) menggunakan lima pendekatan untuk menangani konflik, yaitu, pertama, avoiding/menghindar, pendekatan menghindar menunjukkan komitmen yang rendah pada tujuan dan hubungan. Ini adalah metode paling umum dalam menangani konflik, terutama oleh orang-orang yang memandang konflik secara negatif.
Kedua, competing/bersaing. Pendekatan bersaing terhadap konflik menunjukkan komitmen tinggi terhadap tujuan dan komitmen rendah terhadap hubungan. Individu yang menggunakan pendekatan bersaing untuk mengejar tujuannya sendiri. Orang yang mengambil pendekatan ini akan menggunakan kekuatan apa pun yang diperlukan untuk menang. Ini mungkin ditampilkan sebagai mempertahankan posisi, minat, atau nilai yang diyakini benar.
Ketiga, accommodating/akomodatif. Akomodatif menunjukkan komitmen yang rendah terhadap tujuan dan komitmen tinggi terhadap hubungan. Pendekatan ini kebalikan dari bersaing. Hal tersebut terjadi ketika seseorang mengabaikan atau mengesampingkan masalah mereka sendiri untuk memuaskan kekhawatiran pihak lain. Pendekatan akomodatif digunakan untuk membangun adaptasi atau penyesuaian timbal balik. Ini bisa menjadi hasil yang diharapkan bagi mereka yang mengambil pendekatan akomodatif, tetapi kekurangan pendekatan ini, ketika pihak lain tidak membalas, konflik bisa terjadi. Keempat, compromising/kompromi. Pendekatan kompromi menghasilkan keseimbangan antara komitmen terhadap tujuan dan komitmen pada hubungan. Tujuan dari pendekatan kompromi adalah solusi cepat yang akan berhasil bagi kedua belah pihak. Biasanya pendekatan ini melibatkan kedua belah pihak yang menyerahkan sesuatu dan bertemu di tengah. Kelima, collaborating/berkolaborasi. Kolaborasi adalah pendekatan yang menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap tujuan dan juga komitmen yang tinggi terhadap hubungan. Pendekatan ini digunakan sebagai upaya untuk memenuhi kepentingan semua pihak. Kepercayaan dan kemauan untuk mengambil risiko diperlukan agar pendekatan ini efektif.
Untuk menangani konflik secara efektif, penting untuk menganalisis situasi dan menentukan waktu dan pendekatan mana yang paling tepat. Manajemen konflik yang efektif membantu menciptakan lingkungan kerja yang lebih harmonis, meningkatkan produktivitas dan membangun hubungan yang lebih kuat antara anggota organisasi. Manajemen konflik juga dapat mengurangi stres dan ketegangan serta mendorong inovasi dan pertumbuhan melalui pemecahan masalah yang kreatif.
Dengan demikian, kerja sama yang baik bukan hanya meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan, tetapi juga membentuk fondasi yang kuat untuk pertumbuhan dan keberlanjutan jangka panjang dari organisasi tersebut.
*Penulis adalah: Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Panca Budi, Medan(BR)