Dosen USU Melalui Pengabdian Masyarakat Inisiasi Majalah Wisata di Desa Parsingguran II Kabupaten Humbang Hasundutan. (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Humbahas - Lembaga Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Universitas Sumatera Utara (USU) melalui Tim Pengabdian Masyarakat yang diketuai Samerdanta Sinulingga, S.ST.Par., M.Par., Dosen Perjalanan Wisata Fakultas Vokasi USU bersama Mahasiswa USU dan Perangkat Desa Parsingguran II Kabupaten Humbang Hasundutan menginisiasi pembuatan majalah wisata untuk mendorong perluasan informasi objek-objek wisata yang terdapat di Desa Parsingguran II sebagai mitra pengabdian wisata.
“Biasanya, kalau kita beli tiket masuk ke suatu wilayah di mana pengelola wisatanya masyarakat desa atau perpanjangan tangan dari pemkab, mereka hanya mengutip tiket masuk, tidak ada transaksi informasi wisata yang padat, singkat, jelas kepada pengunjung. Bayar tiket masuk, sering dicap sebagai bayar parkir saja. Ini sangat keliru. Wisatawan bayar tiket masuk bukan untuk parkir, mereka masuk ke lokasi wisata mereka mau tahu, ada berapa tempat spot-spot wisata, aktivitasnya apa saja, apakah ada produk ciptaan masyarakat desa yang perlu diketahui, apakah ada event budaya yang sedang atau akan terjadi. Maka siapapun yang bayar tiket masuk, kita kasih tunjuk majalah yang berisikan objek-objek wisata yang ada di daerah tersebut. Itulah yang disebut transaksi berimbang, antara tiket masuk dan informasi yang dikonsumsi tamu atau wisatawan,” kata Samerdanta mewakili tim Pemas USU, belum lama ini.
Melalui majalah wisata ini, Samerdanta berharap, penyebaran wisatawan yang berkunjung ke Desa Parsingguran dapat merata, tidak hanya terpaku pada satu dusun, yaitu dusun 7 saja yang didalamnya terdapat pemandangan Danau Toba. Apabila demikian desa wisata tidak akan tercapai, yang malah ada adalah Dusun Wisata bukan Desa Wisata.
“Kuncian lokasi wisata kita fokuskan di Penatapan Sileme-leme, disitulah kita buat sebagai tempat
meeting point terjadinya transaksi bisnis. Yang saya maksud transaksi bisnis yaitu, di Sileme-leme lah pendaftaran wisatawan melalui tiket masuk, dan tempat wisatawan mengkonsumsi semua informasi melalui majalah wisata. Ketika wisatawan masuk ke Sileme-leme, mereka akan diberikan struk, seperti kalau kita beli barang di Indomaret, ada kertas print-nan, di situ ada barcode, kalau scan barcode keluarkan link untuk buka majalah wisata digital. Nah, tidak mungkin semua wisatawan yang datang melek teknologi, mungkin ada beberapa yang gaptek atau tidak terbiasa lihat lokasi wisata pakai gadget, tak nyaman dia atau mungkin lupa bawa kacamata. Disinilah disiasati, majalah wisata yang hard copy lah yang akan menjadi penyerang andal dalam penyebaran informasi. Jadi kita punya hard copy dan soft copy,” jelasnya.
Samerdanta sangat optimis dengan tantangan yang terjadi yaitu di mana mayoritas masyarakat sebelumnya adalah petani, hal ini akan memerlukan proses dan pembelajaran panjang menjadikan masyarakat Desa Parsingguran II sadar akan pariwisata.
“Mereka pasti terkejut, biasanya menanam padi, tiba-tiba disuruh menjadi orang pariwisata, USU akan membantu masyarakat, secara bertahap dan menyediakan jalan agar masyarakat nyaman dengan pariwisata. Caranya bagaimana? Yah, ciptakan majalah wisata. Majalah wisata ini pasti buat wisatawan bertanya dan ingin datang ke lokasi yang ditampilkan di majalah. Lalu ke mana mereka akan bertanya dan minta tolong? Pasti ke masyarakat. Inilah awal rantai nilai (
value chain) antara warga dan aktivitas pariwisata di desa ini,” ujarnya.
Sebagai dosen yang sangat ahli dalam bidang pariwisata dan telah melihat kepribadian masyarakat skala desa dalam mengelola pariwisata di Sumatera Utara, Samerdanta ingin melawan arus dari kebanyakan kisah tragis pariwisata di Sumatera Utara.
“Kita sudah lihat bagaimana citra Siosar yang diviralkan sehingga sepi dan tak ada wisatawan, banyak yang tutup. Kita sudah lihat citra Debuk-debuk. Kita sudah lihat diawal Pelaruga Langkat naik daun, banyak pengutipan liar terjadi. Hal ini terjadi karena distribusi wisatawan tidak merata, atau saya kontraskan: terjadinya aliran uang yang tidak merata kepada masyarakat. Gejolak inilah yang menimbulkan gerakan kriminalitas baru. Namun, dengan adanya majalah wisata ini, setiap potensi wisata hingga skala dusun dapat dikasih tahu kepada wisatawan, sehingga wisatawan bisa hadir ke seluruh wilayah desa, tidak ada warga desa yang merasa terzalimi karena tak ada wisatawan yang datang ke tempatnya. Kalau wisatawan sudah datang hingga ke lingkup kecil seperti dusun desa, maka maka sila ke lima Pancasila yang diartikan sebagai pemerataan dan keadilan, tercapai,” katanya.
Samerdanta menambahkan, bahwa di dalam majalah wisata tersebut, tidak akan berisi informasi detail. Akan dibuat sebagai informasi yang ‘gantung’ atau tidak menyeluruh. Hal ini diciptakan agar timbul rasa penasaran bagi wisatawan sehingga ingin mengetahui dan bertanya secara langsung ke warga. Penyelenggaraan pengabdian ini memberikan dampak yang positif bagi desa.
Sabar Banjarnahor selaku Kepala Desa Parsingguran II menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan yang diberikan oleh LPPM USU kepada wilayah tersebut, karena di masa pendampingan USU-lah, desa memiliki uang kas yang bersumber dari aksi gotong royong wisata.
Kepala Desa sangat menyadari bahwa pentingnya tercipta majalah wisata desa, karena ternyata banyak travel, tour, hingga general manager hotel yang menghubunginya agar bisa menitipkan majalah wisata di kantor mereka, sehingga bisa mereka buatkan paket-paket wisata yang menjadi pilihan wisatawan.
Dalam majalah wisata akan dicantumkan nomor operator desa yang akan mendistribusikan keperluan- keperluan teknis, misalnya kebutuhan karena wisatawan ingin mengunjungi suatu tempat di majalah wisata namun tidak tahu lokasi tersebut ke arah mana dan wisatawan juga memerlukan orang yang mendampingi sebagai
guide ke lokasi tersebut. Majalah wisata akan di
design menjadi kuda hitam penglibatan masyarakat secara langsung.
Inilah sebuah strategi
tricle down effect, dari hanya majalah wisata, akhirnya bisa menjadi penggerak seluruh roda sumber daya manusia di Desa Parsingguran II Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan.
(REL/BR)