Massa aksi dari Masyarakat Adat saat berunjuk rasa di depan Kejaksaan Negeri Simalungun, Senin (29/7). (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Simalungun - Sekitar 500 orang masyarakat adat, mahasiswa dan masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Gerak Tutup TPL menggelar aksi untuk mengawal sidang Sorbatua Siallagan. Masyarakat menyampaikan kekecewaan terhadap dakwaan yang dijatuhkan kepada Sorbatua.
Menurut koordinator aksi, Doni Munte, dakwaan tersebut tidak berdasar karena kesaksian yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebelumnya tidak dapat membuktikan tuduhan tersebut.
"Mereka hanya menduga saja," tegas Doni di depan Kejaksaan Negeri Simalungun, Senin (29/7).
Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Simalungun, Yoyok Adi Syahputra, menjelaskan bahwa persidangan telah sesuai dengan prosedur KUHAP dan keputusan mengenai pembebasan Sorbatua Siallagan ada di tangan hakim.
"Keputusan ada di tangan hakim," ujar Doni, yang juga Jaksa Penuntut Umum dalam kasus Sorbatua Siallagan.
Sidang Sorbatua Siallagan sudah memasuki agenda pembacaan tuntutan dari JPU. Adapun Jaksa menuntut Sorbatua Siallagan dengan Tuntutan 4 tahun subsider Denda 1 Miliar atau menjalani 6 bulan penjara.
Pada kesempatan yang sama, kuasa hukum dari Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN), Boy Raja Marpaung, menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja yang menjadi bahan dakwaan sudah dicabut dan tidak berlaku lagi dan berharap hakim bisa memutuskan seadil-adilnya.
"Kami berharap majelis hakim agar memahami duduk perkara dengan jelas. Ada dua klaim, satu klaim atas nama perusahaan TPL dan satu klaim atas nama Masyarakat Adat. Clear, ini masalah kepemilikan tanah," tutur Boy.
Selain menyoroti dakwaan Sorbatua Siallagan, massa juga mengkritik cara Kepolisian yang menangkap 5 orang anggota masyarakat adat. Kuasa hukum TAMAN, Nurleli Sihotang, menyampaikan mereka sudah mendaftarkan kasus penangkapan 5 orang masyarakat adat ke Pengadilan Negeri Simalungun.
"Kami sudah mendaftarkan gugatan pra peradilan terkait sah atau tidaknya penangkapan masyarakat adat. Ada masyarakat adat yang diculik, ditendang, dipukuli bahkan disetrum saat penangkapan. Hal ini tidak sesuai dengan prosedur penangkapan seseorang, tidak ada surat penangkapan sebelumnya dan dilakukan pada dini hari. Kami ingin ini ditindaklanjuti, agar tak ada lagi narasi masyarakat adat diculik. Negara sangat abai akan hal ini," ujar Nurleli.
"Kami sering mendapat kriminalisasi dari pihak aparat kepolisian. Pada 2019 ada saudara kami yang dikriminalisasi, Thomson dan Jonny Ambarita, tanggal 22 ada penculikan pada dini hari. Anak saya sendiri menjadi korban. Ini harus ditindaklanjuti masyarakat adat bukan penggarap. Kami sudah ada sebelum Negara merdeka," ujar tetua adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas, Mangitua Ambarita, yang hadir dalam aksi.
(CSP)