Politik Identitas Sudah Mulai Ditinggalkan Masyarakat

Politik Identitas Sudah Mulai Ditinggalkan Masyarakat
Warga yang ikut karnaval kampanye damai mengajak stop hoaks dan isu SARA. (ANTARA FOTO)

Analisadaily.com, Jakarta - Saat ini politik identitas mulai ditinggalkan masyarakat, terutama generasi Z, karena mereka lebih tertarik pada isu stabilitas ekonomi yang langsung dirasakan dampaknya. Politik identitas, khususnya yang memanfaatkan agama untuk penggiringan opini, nampaknya tidak mendapatkan panggung sebesar di tahun-tahun sebelumnya.

"Karena stabilitas menjadi utama di masyarakat kita, akhirnya isu tentang politik identitas itu tidak laku," kata pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Dr. Trubus Rahardiansyah dilansir dari Antara, Rabu (28/8).

Trubus berpendapat bahwa masyarakat saat ini jauh lebih tahan terhadap isu intoleransi, radikalisme, hingga terorisme, karena mereka lebih fokus pada isu stabilitas ekonomi yang langsung dirasakan dampaknya

Selain itu, lanjut Trubus, partai-partai yang selama ini mengusung politik identitas pun mulai ditinggalkan oleh para pendukungnya, karena masyarakat semakin melihat dari kebaikan apa yang dihasilkan partai tersebut, bukan semata-mata kesamaan dengan partai mana yang didukung.

"Saya berharap agar masyarakat Indonesia semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu primordialisme dan sektarianisme, serta menjauhi anarkisme dalam menyatakan pendapatnya," katanya.

Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI berkoordinasi dengan stakeholder atau pemangku kepentingan yang meliputi pemerintah daerah, aparat kepolisian, aparat TNI, serta aparat keamanan lainnya terkait hasil dari pemetaan kerawanan sebagai langkah mitigasi.

“Kami akan berkoordinasi dengan stakeholder yang terkait untuk memastikan agar ada mitigasi jika ada keamanan yang terganggu,” ujar Ketua Bawaslu Rahmat Bagja setelah peluncuran "Pemetaan Kerawanan Pemilihan Serentak 2024" di Jakarta (26/8).

Adapun yang ia maksud dengan kerawanan, yakni segala hal yang berpotensi mengganggu atau menghambat proses pemilihan yang demokratis.

Bagja telah mengungkapkan terdapat lima provinsi dengan tingkat kerawanan yang tinggi, seperti Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, serta Jawa Timur.

Bagja menjelaskan bahwa skor dari kelima provinsi tersebut tergolong tinggi karena memenuhi empat dimensi indikator kerawanan pemilu, yakni dimensi sosial politik, dimensi pencalonan (kontestasi), dimensi kampanye (penyelenggaraan pemilu dan kontestasi), serta dimensi pungut hitung (penyelenggaraan pemilu, kontestasi, dan partisipasi).

(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi