Liarnya Keyakinan Hakim dalam Putusan Kasus Ronald Tannur

Liarnya Keyakinan Hakim dalam Putusan Kasus Ronald Tannur
Ilustrasi Hakim. (Analisadaily/Istimewa)

Oleh: Appu T. Sitanggang, Cahya M. Salsabila dan Nadya A. Utari*

HUKUM tumpul ke atas, tajam ke bawah sering kali kita dengar. Hal ini menjadikan kredibilitas hukum di Indonesia dipertanyakan oleh khalayak ramai. Maka dari itu putusan hakim dalam perkara pidana selalu menjadi sorotan karena merupakan puncak dari proses pengadilan yang panjang. Salah satu putusan yang banyak menuai kontroversi adalah putusan No. 454/Pid.B/2024/PN.SBY dimana korban seorang perempuan kehilangan nyawa nya setelah “bersenang-senang” dengan kekasihnya sendiri dan kekasihnya tersebutlah yang menjadi terdakwanya. Terdakwa bernama Gregorius Ronald Tannur yang merupakan seorang anak dari mantan anggota DPR-RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Edwin Tannur. Dalam kasus ini Ronald Tannur dibebaskan oleh Majelis Hakim dari vonis pembunuhan atau penganiayaan yang dilimpahkan oleh Jaksa Penuntut Umum pada Pengadilan Negeri Surabaya tepatnya pada Rabu 24/07/2024.

Kronologi

Kasus ini bermula pada 3 Oktober 2023 sekitar pukul 21.40 WIB, Dini Sera Afrianti bersama Ronald Tannur (pelaku) datang ke Blackhole KTV di Lenmarc Mall, Surabaya, untuk berkaraoke dengan teman-temannya sambil meminum Tequila Jose. Sekitar pukul 00.10 WIB, mereka meninggalkan ruangan karaoke menuju parkiran melalui lift, di mana terjadi percekcokan yang diiringi kekerasan fisik. Korban menampar pelaku, lalu pelaku mencekik, menendang, dan memukul kepala korban dengan botol Tequila. Setelah tiba di basement, pelaku masuk ke mobil dengan korban berada duduk di sebelah kiri mobil bagian pintu depan. Pelaku melajukan mobilnya tanpa memperhatikan kondisi korban. Pelaku pun turun dari mobilnya dan memeriksa keadaan korban yang sudah tidak berdaya dan bergegas membawa korban ke dalam mobilnya untuk dibawa ke apartemen milik korban. Setelah tiba di apartemen tersebut tepatnya di lobby apartemen Orchad Tanglin, korban sudah tidak bernafas dan korban langsung diangkat menuju mobil pelaku oleh beberapa saksi yang berada di tempat tersebut untuk diantar menuju ke Rumah Sakit National Hospital sebelum akhirnya dibawa ke RSUD Dr. Soetomo atas anjuran dokter karena diduga termasuk dalam kategori kematian yang tidak wajar. Hasil visum No. KF. 23.0465 menunjukkan adanya pendarahan, luka lecet, memar, dan luka dalam akibat kekerasan benda tumpul.

Proses Persidangan

Atas perbuatannya tersebut, Gregorius Ronald Tannur didakwa oleh Penuntut Umum melanggar beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan menggunakan dakwaan yang disusun secara kombinasi yaitu tersusun secara alternatif dengan jeratan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan atau Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian, kemudian dengan dakwaan kumulatif Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian orang lain dan Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan. Walaupun Ronald Tannur dijerat dengan berbagai pasal tersebut diatas, namun berdasarkan pertimbangan hukum dalam hal ini Majelis Hakim tidak menghiraukan bukti-bukti di persidangan dan hanya meyakini bahwa korban tewas karena berlebihan mengkonsumsi minuman alkohol yang pada akhirnya melahirkan putusan yang menyatakan bahwa Gregorius Ronald Tannur tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana dan membebaskannya dari seluruh dakwaan serta tuntutan tersebut. Untuk menindaklanjuti hasil putusan yang dianggap mencederai keadilan bagi pihak korban dan masyarakat, Kejaksaan Negeri Surabaya pun telah mengajukan dan mendaftarkan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung pada Jumat 06/09/2024. Kasus yang menimpa korban tersebut merupakan suatu kejadian yang dapat dianggap sebagai kekhilafan dalam penegakan keadilan. Tidak mempertimbangkan hasil Visum dalam putusan No. 454/Pid.B/2024/PN.SBY menimbulkan pertanyaan apakah hakim dalam menjalankan tugasnya masih tetap independen dan objektif? Atau terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil putusan tersebut?

Pelanggaran disana-sini

Fakta bahwa ayah terdakwa masih berstatus sebagai anggota DPR sebelum vonis dijatuhkan, memunculkan spekulasi mengenai potensi intervensi atau tekanan yang mungkin terjadi dalam proses peradilan. Pandangan ini sejalan dengan konsep pemikiran menurut Michel Foucault yaitu seorang filsuf Prancis berpengaruh yang menyatakan relasi kuasa bermaksud menjelaskan bahwa kekuasaan merupakan satu dimensi dari relasi. Di mana ada relasi, di sana ada kekuasaan dan kekuasaan selalu teraktualisasi lewat pengetahuan, karena pengetahuan selalu punya efek kuasa. C. Wright Mills berpandangan bahwa kekuasaan itu adalah dominasi, yaitu kemampuan untuk melaksanakan kemauan kendatipun orang lain menentang, artinya kekuasaan mempunyai sifat yang memaksa. Pada kenyataannya, relasi kekuasaan di Indonesia sudah mengakar sejak lama. Penulis berpendapat bahwa terdapat kelemahan yang signifikan dalam putusan hakim, khususnya terkait dengan pengabaian visum et repertum sebagai alat bukti. Visum et repertum adalah alat bukti yang sah dan sangat penting dalam kasus penganiayaan, yang dapat menunjukkan adanya luka-luka fisik akibat tindak pidana. Dalam sistem hukum Indonesia, hakim wajib mempertimbangkan semua alat bukti yang sah untuk memastikan bahwa putusan yang diambil adalah adil dan objektif. Pengabaian visum dalam putusan ini dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam sistem pembuktian pidana di Indonesia.

Dalam keyakinan Majelis Hakim bahwa korban meninggal akibat meminum minuman ber-alkohol bukan karena adanya penganiayaan, merupakan sebuah keyakinan yang diperoleh bukan dengan alasan yuridis. Majelis Hakim telah mengabaikan ketentuan dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana timbulnya keyakinan hakim dalam membuat putusan haruslah didasarkan dengan minimal 2 alat bukti yang sah. Majelis Hakim wajib mempertanggungjawabkan cara bagaimana memperoleh keyakinan dan selanjutnya hakim wajib menguraikan alasan-alasan yang menjadi dasar putusannya yakni semata-mata dengan keyakinan atas dasar ilmu pengetahuan dan logika. Majelis Hakim tidak mempertimbangkan alat bukti visum et repertum yang menyatakan bahwa penyebab kematian korban karena luka robek majemuk pada organ hati akibat kekerasan tumpul sehingga terjadi pendarahan hebat. Majelis Hakim juga tidak mempertimbangkan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum yang menerangkan bahwa Terdakwa sempat berdalih tidak kenal dengan korban, bahkan Terdakwa yang membenarkan adanya perdebatan antara dirinya dan korban serta pengakuan Terdakwa mendorong korban saat di dalam lift tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim.

Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP, tujuan ketentuan yang memberikan syarat minimal adanya 2 alat bukti yang sah bagi Hakim memperoleh keyakinan dalam menentukan Terdakwa bersalah atau tidak adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Kebenaran yang dicari adalah kebenaran materil, yang tidak hanya bergantung pada alat bukti, tetapi juga keyakinan hakim. Namun dalam konteks keyakinan hakim ini, pakar hukum pidana Mudzakir memberikan pandangan bahwa seharusnya Majelis Hakim mendasarkan vonisnya pada bukti-bukti primer dalam hal ini dua alat bukti yang sah dan berkekuatan hukum, bukan atas keyakinannya saja. Jika Majelis Hakim hanya mengandalkan keyakinan, maka kekhawatiran atas vonis terhadap Terdakwa terkesan sebagai selera pribadi masing-masing anggota majelis hakim.

Selain itu, Majelis Hakim juga tampak mengabaikan ketentuan dalam Pasal 188 KUHAP. Hakim tidak menjadikan alat-alat bukti yang terungkap di persidangan sebagai alat bukti petunjuk sebagai suatu konstruksi yang memiliki persesuaian. Dalam ketentuan Pasal 188 KUHAP, hakim dapat memperoleh petunjuk dari perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Semua petunjuk tersebut dapat diperoleh dari Keterangan saksi, Surat, dan Keterangan Terdakwa. Dalam kasus ini, Majelis Hakim menjadikan keyakinan hakim sebagai pertimbangan yang berdiri sendiri, tidak didasarkan pada persesuaian alat-alat bukti yang ada dan menilai bahwa korban meninggal akibat sering meminum minuman keras.

Keputusan Hakim tersebut berpotensi merusak citra pengadilan dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan di Indonesia. Sorotan masyarakat luas yang tertuju pada putusan kasus ini pun mengakibatkan terbukanya mata untuk melihat pelanggaran yang dilakukan Majelis Hakim sehingga dijatuhi sanksi pemecatan oleh Komisi Yudisial (KY) pada Senin 26/08/2024 karena terbukti melanggar Kode Etik Pedoman dan Perilaku Hakim (KEPPH). Melihat vonis bebas terhadap terdakwa, masyarakat mungkin menganggap sebagai tanda bahwa pengadilan tidak sepenuhnya menjalankan tugasnya dengan adil dan transparan. Selain itu, pengabaian visum dapat menimbulkan preseden yang buruk dalam penanganan kasus-kasus serupa di masa mendatang, dimana alat bukti medis yang krusial dapat diabaikan dengan alasan yang tidak jelas sehingga tidak mencerminkan kepastian hukum untuk mencapai penegakkan hukum. Adanya ketidakpastian hukum dalam penegakkan hukum itu sendiri tidak sejalan dengan asas legalitas yang dalam hal ini mengandung makna setiap putusan hakim harus didasarkan pada ketentuan hukum yang sudah ada sebelum putusan dibuat. Artinya hakim tidak boleh memutus perkara menurut kehendak sendiri melainkan hakim mengadili harus menurut hukum. Asas mengadili menurut hukum dalam hal ini adalah hukum dalam arti luas, termasuk hukum tidak tertulis, karena hakim bukan saja sebagai corong undang-undang tetapi corong keadilan.

Penutup

Keyakinan hakim harus sejalan dengan asas mengadili menurut hukum, yang juga harus diartikan mengadili menurut rasa dan pertimbangan keadilan termasuk kepentingan yang lebih luas seperti kepentingan masyarakat dan negara. Oleh karena itu, diperlukan pemantauan publik terhadap kasus-kasus hukum yang terjadi untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan secara menyeluruh dan transparan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku di Indonesia. Dengan begitu, adagium yang berbunyi “meskipun langit akan runtuh keadilan harus tetap ditegakkan” (Fiat Justicia Fiat Caelum) bisa diterapkan dalam penegakkan hukum di Indonesia.

*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara.

(BR)

Baca Juga

Rekomendasi