Peran Kejaksaan dalam Penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang

Peran Kejaksaan dalam Penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang
Rotua Nauli br Panjaitan. (Analisadaily/Istimewa)

Oleh: Rotua Nauli br Panjaitan*

ISTILAH pencucian uang atau money laundering telah dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat. Pada saat itu organisasi kejahatan mafia telah membeli perusahaan-perusahaan pencucian pakaian (laundry) sebagai tempat pemutihan uang yang dihasilkan dari bisnis ilegalnya (misalnya: perjudian, pelacuran, dan minuman keras). Al Capone, salah satu mafia besar di Amerika Serikat, mempekerjakan Meyer Lansky, seorang akuntan yang berkewarganegaraan Polandia, untuk melakukan pencucian uang dari kejahatannya dengan bisnis binatu ini yang dikenal Laundromats (tempat cuci otomatis). Bisnis ini dipilih karena sistemnya dengan penggunaan uang tunai sehingga mempercepat proses pencucian uang yang diperoleh dari hasil pemerasan, prostitusi, perjudian, dan penyelundupan minuman beralkohol terlihat sebagai uang yang halal. Meskipun demikian, Al Capone dituntut dan dihukum dengan pidana penjara berdasarkan penghindaran pajak (tax evasion), sedangkan tindak pidana pencucian uangnya tidak dipidana. Namun saat itu sudah mulai dikenal istilah money laundering (pencucian uang).

Tindak pidana pencucian uang tergolong tindak pidana ekonomi atau economic crime. Ciri penting economic crime ialah proses pemilikan harta benda dan kekayaan diperoleh secara licik dan beroperasi secara tersembunyi dan sering dilakukan oleh perorangan yang memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Tindak pidana ekonomi pada umumnya sering dikaitkan dengan kejahatan kerah putih (white collar crime), yaitu kejahatan yang terkonsep dengan sistematis dan rapi, sehingga kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang berintelektual tinggi.

Di Indonesia sendiri, pengaturan tindak pidana pencucian uang tidak dapat dilepaskan dari masuknya Indonesia ke dalam daftar Non-Cooperative Countries and Territories (NCCTs) oleh FATF (Financial Action Task Force on Money Laundering). FATF itu sendiri adalah sebuah badan antar-pemerintah yang memerangi pencucian uang dan pendanaan teroris. Dimasukkannya Indonesia ke dalam daftar NCCTs oleh FATF pada bulan Juni 2001 membuat pemerintah Indonesia segera mengambil berbagai langkah dan upaya dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Langkah dan upaya tersebut meliputi aspek penguatan kerangka hukum, penguatan pengawasan di sektor keuangan, operasionalisasi PPATK, penguatan kerjasama antar lembaga, penguatan penegakan hukum dan kerjasama internasional yang diatur dalam sebuah undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 dan kedua undang-undang tersebut kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan, “…. term used to describe investment or other transfer of money flowing from racketeering, drug transaction, and other illegal sources into legitimate channels to that its original source cannot be traced.” Batasan money laundering di atas memberi pemahaman inti bahwa money laundering adalah pemindahan atau menyamarkan uang dari sumber-sumber illegal (dirty money) melalui saluran legal, yang pada gilirannya sumber asal uang itu tidak dapat diketahui. Artinya, dengan money laundering tersebut pendapatan atau kekayaan yang pada mulanya berasal dari praktik ilegal dapat diubah menjadi pendapatan atau kekayaan yang seolah-olah berasal dari sumber yang legal.

Pada umumnya terdapat tiga metode yang digunakan dalam money laundering:

Pertama, penempatan (placement) merupakan upaya penempatan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial sistem) atau upaya menempatkan uang giral kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan. Seperti pembukaan deposito, pembelian saham-saham atau juga mengkonversikannya ke dalam mata uang negara lain.

Kedua, transfer (layering) merupakan upaya untuk mentransfer harta kekayaan, berupa benda bergerak atau tidak bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud, yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan (placement). Layering dapat pula dilakukan dengan transaksi jaringan internasional baik melalui bisnis yang sah atau perusahaan-perusahaan “shell” (perusahaan mempunyai nama dan badan hukum namun tidak melakukan kegiatan usaha apapun).

Ketiga, menggunakan harta kekayaan (integration), suatu upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalu placement atau layering sehingga seolah-olah mejadi harta kekayaan “halal”. Proses ini merupakan upaya untuk mengembalikan uang yang telah dikaburkan jejaknya sehingga pemilik semula dapat menggunakan dengan aman. Disini uang yang di “cuci” melalui placement maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak seperti tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan yang menjadi sumber dari uang tersebut.

Tahapan integrasi ini merupakan tahapan terakhir dari operasi pencucian uang yang lengkap karena memasukkan hasil tindak pidana tersebut kembali ke dalam kegiatan ekonomi yang sah atau dimanfaatkan untuk kegiatan bisnis misalnya digunakan untuk membeli rumah, mobil, dan lain-lain, dengan demikian pelaku tindak pidana dapat leluasa menggunakan harta kekayaan hasil kejahatannya tanpa menimbulkan kecurigaan dari penegak hukum untuk melakukan pemeriksaan dan pengejaran karena sudah digunakan dalam bentuk harta fisik yakni bendabenda nyata. Namun, tindak pidana pencucian uang telah terjadi meskipun hanya satu atau lebih dari ketiga tahapan tersebut yang terpenuhi.

Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang.

Bahwa pada KUHAP Pasal 1 angka 1 Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Tetapi, Kejaksaan tidak tergolong dalam dua kategori tersebut, karena Jaksa bukan PPNS dan Polisi. Tetapi pada Pasal 17 PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dalam Bab VII Penyidikan terhadap Tindak Pidana Tertentu, bahwa penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik [vide pasal 6 ayat (1) KUHAP], jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pada Pasal 30 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dijelaskan bahwa: Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

Kejaksaan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan dalam beberapa tindak pidana tertentu yang telah diatur dalam undang-undang. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kejaksaan memiliki kewenangan untuk menyidik perkara tindak pidana korupsi. Pasal 39 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.

Pada TPPU, tercantum dalam Pasal 74 UU PPTPPU menjelaskan Penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundangundangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ini. Sedangkan TPPU merupakan tindak pidana ikutan yang memiliki tindak pidana asalnya atau predicate crime yang dijelaskan pada Pasal 2 UU PPTPPU.

Kejaksaan memiliki kewenangan melakukan penyidikan pada tindak pidana korupsi berdasarkan dengan UU Tindak Pidana Korupsi sehingga dalam TPPU ini berdasar Pasal 74 UU PPTPPU, Kejaksaan dapat melakukan penyidikan TPPU yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi.

Kemudian dalam hal penuntutan TPPU, Kejaksaan menjadi sentral atau pokok karena hanya Kejaksaan yang memiliki peran penuntutan (dominus litis). Bahwa Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. (Pasal 1 UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia)

Kejaksaaan merupakan lembaga yang diberi kewenangan untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan Undang-undang. Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni dilaksanakan secara merdeka telepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.

Pada bulan Februari 2024, Jaksa Agung telah melantik Kepala Badan Pemulihan Aset sebagai satuan kerja baru di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia. Adapun Badan Pemulihan Aset merupakan supporting function terhadap keberhasilan penegakan hukum Kejaksaan baik yang dilaksanakan oleh Bidang Tindak Pidana Umum maupun pada Bidang Tindak Pidana Khusus. Hal tersebut sesuai dengan amanat dalam Pasal 30A Undang-Undang Kejaksaan yakni dalam pemulihan aset, Kejaksaan berwenang melakukan kegiatan penelusuran, perampasan, dan pengembalian aset perolehan tindak pidana dan aset lainnya kepada negara, korban, atau yang berhak.

Pembentukan Badan Pemulihan Aset ini kemudian berimplikasi dengan adanya rencana untuk pemindahan pengelolaan Rumah Peenyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) dari Kementerian Hukum dan HAM kepada Kejaksaan Agung dengan harapan benda yang disita negara dapat dikelola dengan baik oleh Kejaksaan sehingga nilainya tidak turun.

Kejaksaan dalam penanggulangan TPPU khususnya dalam pengelolaan dan tahap eksekusi putusan Hakim terhadap barang sitaan yang merupakan karta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana asalnya dapat optimal dengan hadirnya Badan Pemulihan Aset.

*Penulis adalah mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
(BR)

Baca Juga

Rekomendasi