Nirwansyah Sukartara (Analisa/istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Tidak ada yang mengejutkan dalam pemanggilan sejumlah calon menteri maupun calon wakil menteri yang diundang l Presiden Republik Indonesia (RI) terpilih Prabowo Subianto ke rumahnya Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan. Selama Senin- Selasa (14-15 Oktober 2024) dari 100 orang lebih tokoh yang dipanggil Prabowo, adalah nama-nama yang sejak awal diprediksi akan mendapat “jatah kekuasaan.”
Mereka adalah orang-orang partai politik, publik figur dan akademisi yang sejak awal sudah mendukung dan berhubungan dekat dengan Prabowo Subianto. Sampai sejauh ini masyarakat masih menanti calon anggota kabinet yang tidak diprediksi tapi akhirnya dipanggil masuk ke dalam kabinet.
Kita masih belum melihat tokoh yang berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Nasdem dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Memang, meski tak mengharapkan jatah menteri, Nasdem tetap menyatakan dukungan terhadap pemerintahan mendatang.
PDIP sempat santer disebut bakal bergabung. Namun PDIP belum menyatakan sikap akan bergabung atau memilih di luar pemerintahan. Beredar kabar bahwa Prabowo akan bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Namun sampai saat ini tak kunjung dilakukan. Masyarakat penasaran, karena bergabung atau tidaknya PDIP ke dalam kabinet akan menentukan arah demokrasi Indonesia ke depan.
Jika PDIP bergabung maka bisa dipastikan pemerintahan Prabowo seeperti pemerintahan Jokowi. Hanya PKS yang beroposisi, walau terakhir merapat ke Koalisi Indonesia Maju jelang Pilkada Jakarta.
Minimnya oposisi bisa mengancam demokrasi. Bagi rakyat, jika PDIP bergabung ke pemerintahan Prabowo maka pupuslah harapan rakyat dalam menyampaikan aspirasi. Masyarakat sangat berkeinginan bahwa PDIP berada di luar pemerintahan. Apalagi PDIP tampil sebagai Ketua DPR RI, walaupun mayoritas anggota parlemen mendukung pemerintahan.
Dalam demokrasi yang sehat, oposisi berperan penting dalam memainkan adanya check and balance terhadap kebijakan pemerintah. Tanpa oposisi yang kuat, ada potensi bahwa kebijakan pemerintah bisa dijalankan tanpa pengawasan yang memadai, yang bisa merugikan masyarakat dalam jangka panjang.
Jika benar PDIP akan masuk ke dalam kabinet dan tidak ada oposisi formal, maka beberapa dampak terhadap demokrasi Indonesia akan terjadi.
Pertama. Minimnya pengawasan. Maksudnya, membuat kebijakan pemerintahan lebih sulit dikritik atau dikoreksi, karena tidak ada suara kuat yang melawan.
Kedua, pemerintahan Prabowo bisa bepotensi otoritarianisme. Dalam jangka panjang, dominasi satu kelompok politik tanpa oposisi berbahaya bagi demokrasi.
Ketiga, keterbatasan pilihan politik untuk pemilih. Para pemilih bisa kehilangan pilihan politik yang beragam dalam Pemilu berikutnya. Ini bisa mengurangi partisipasi publik dalam demokrasi.
Namun, ada sisi positifnya. Dengan koalisi besar di kabinet Prabowo bisa dipandang sebagai upaya untuk menciptakan stabilitas politik dan mencegah polarisasi yang terlalu dalam di masyarakat. Hal ini bisa memberikan ruang bagi pemerintah untuk bekerja lebih efektif tanpa terhambat konflik politik berkepanjangan.
Namun masyarakat berharap pada bagaimana Presiden teripilih, Prabowo Subianto dan kabinetnya menangani kritik dan membuka ruang untuk diskusi yang sehat di luar pemerintahan. Masyarakat berharap besar, sekiranya tanpa oposisi, Prabowo bisa mendengar kritik dengan baik, menerima aspirasi masyarakat serta menjalankan pemerintahan ke depan dan membawa negara ini menjadi lebih demokratis. Marilah kita tunggu semoga PDIP tetap memilih di jalur oposisi. **
Penulis: Nirwansyah Sukartara
Editor: Bambang Riyanto