Analisadaily.com, Jakarta - Jakarta baru-baru ini menjadi saksi lahirnya pertunjukan musikal inklusif yang unik. Di sebuah teater yang penuh dengan antusiasme penonton, musik lembut mengalun mengiringi gerakan para aktor yang menari di atas panggung. Namun, ada yang berbeda dari musikal ini; tidak ada suara nyanyian. Semua dialog dan lirik tampil di layar, sementara para aktor mengekspresikan diri melalui ekspresi wajah dan bahasa isyarat.
Grup teater Fantasi Tuli mempersembahkan 'Senandung Senyap', musikal pertama di Indonesia yang sebagian besar aktor dan kru adalah individu tuli. Disutradarai oleh Hasna Mufidah dan Helga Theresia, musikal ini tidak hanya menyajikan hiburan, tetapi juga membawa misi sosial: meningkatkan kesadaran tentang pentingnya bahasa isyarat dan kesetaraan bagi komunitas tuli di Indonesia.
'Senandung Senyap' mengangkat kisah perjuangan siswa di sekolah menengah khusus anak-anak tuli. Lewat lakon ini, penonton diajak merasakan realitas yang dihadapi siswa berkebutuhan khusus dalam pendidikan di Indonesia. Hasna Mufidah, yang juga tuli, menjelaskan bahwa musikal ini hadir untuk mengajak masyarakat memahami bahwa tuli dan dengar memiliki kesetaraan.
"Harapan saya, ke depannya, inklusivitas dapat diperkuat, bahwa antara orang tuli dan orang dengar, pendengaran tidak lebih superior - kita setara," kata Hasna, menggunakan bahasa isyarat, dilansir dari REUTERS, Minggu (27/10/2024).
Musikal ini memerlukan waktu persiapan sekitar tiga bulan dan melibatkan lebih dari 60 aktor dan kru tuli berusia 16 hingga 40 tahun. Hasna dan Helga terinspirasi oleh konsep yang diusung Deaf West Theatre di Amerika Serikat, yang juga terkenal dengan pendekatan inklusif dalam seni peran bagi penyandang disabilitas pendengaran.
Pertunjukan ini sekaligus mengusung diskusi penting tentang pendidikan anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Selama ini, metode pendidikan bagi anak tuli sering kali menekankan pelatihan bicara dan membaca bibir, sementara penggunaan bahasa isyarat kurang diprioritaskan. Beberapa pihak dalam komunitas tuli berpendapat bahwa metode ini membuat anak-anak tuli merasa terisolasi, sehingga bahasa isyarat dianggap sebagai cara komunikasi yang lebih alami dan efektif.
Sebaliknya, sebagian pendukung metode oral berpendapat bahwa pendekatan ini dapat membantu anak-anak tuli lebih mudah terintegrasi dengan komunitas pendengar yang lebih luas. Debat ini menggambarkan kompleksitas dalam merumuskan pendidikan inklusif yang efektif bagi siswa dengan disabilitas pendengaran.
Bagi Hanna Aretha Oktavia, salah satu aktor dalam "Senandung Senyap", musikal ini menjadi momen perkenalannya dengan bahasa isyarat dan komunitas tuli di Indonesia.
"Selama latihan dialog, kami harus menggunakan ekspresi sebanyak mungkin dan mengikuti alur cerita," ujar Hanna.
Hanna menambahkan bahwa pengalaman unik dalam berlatih koreografi sambil merasakan tempo dan getaran musik menjadi tantangan tersendiri. Para aktor tuli menggunakan bantuan pengeras suara besar untuk merasakan getaran dan mengikuti alunan musik.
Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada lebih dari 2 juta orang dengan disabilitas pendengaran di Indonesia, termasuk sekitar 27.983 siswa di sekolah berkebutuhan khusus. Kehadiran musikal 'Senandung Senyap' diharapkan menjadi langkah awal untuk menciptakan lebih banyak ruang bagi seni inklusif di Indonesia, yang dapat memperkuat kesadaran masyarakat tentang komunitas tuli.
Dengan munculnya musikal ini, Fantasi Tuli berhasil menunjukkan bahwa seni pertunjukan dapat menjadi media yang kuat untuk menyuarakan kesetaraan. Semoga karya-karya inklusif seperti 'Senandung Senyap' terus berkembang dan memberikan dampak positif bagi masyarakat luas.