Oleh: Bambang Riyanto
THOMAS Trikasih Lembong secara mengejutkan ditahan Kejaksaan Agung atas dugaan korupsi impor gula saat ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan, sembilan tahun lalu. Tom hanya menjabat lebih kurang dalam 1 tahun (12 Agustus 2015 - 27 Juli 2016). Pada masa yang singkat itu, Kejagung menduga Tom telah merugikan negara Rp400 miliar.
Beberapa hari setelah penangkapan, Kejagung justru mengatakan bahwa belum ada aliran dana korupsi ke orang terdekat Anies Baswedan tersebut.
Mendadak ditangkapnya Tom Lembong membuat publik berspekulasi apakah ini adalah strategi "pembukaman" yang dilakukan pemerintah, karena Tom kini berada di seberang jalan pemerintah Prabowo.
Nama alumni Harvard ini memang kian moncer saat menjadi tim sukses Anies Baswedan dalam Pilpres lalu. Sosoknya yang kalem dan intelektualitasnya membuat banyak orang simpatik.
Ia juga pernah menjadi orang kepercayaan Joko Widodo dan menulis beberapa pidato kenegaraan untuknya.
Saat Anies tak lagi mendapat perahu untuk bertarung di Pilgubsu Jakarta meski elektabilitasnya tinggi, Anies dispekulasikan akan membentuk partai politik.
Tom ditengarai menjadi sosok sentral dalam gerakan untuk mengusung Anies pada Pilpres 2029 mendatang. Meski kalah, Anies memang masih menjadi momok bagi lawan-lawan politiknya.
Sebagai pemenang kedua Pilpres, tentu Anies masih punya basis massa dan simpatisan yang solid. Berdirinya partai politik yang digawangi Anies dkk tentu akan mencipta poros baru dalam peta perpolitikan nasional. Dan Tom adalah mastermind Anies yang bisa mewujudkan hal tersebut.
Berkaca pada latar belakang tersebut, wajar bila ada dugaan kriminalisasi yang mencuat. Tidak adanya aliran dana korupsi kepada Tom, menguatkan dugaan tersebut.
Bagaimana bisa orang yang tak menerima uang korupsi, jadi tersangka korupsi? Apakah alasan kewenangan terkait impor? Bagaimana dengan menteri perdagangan yang lain yang juga membuka kran impor?
Kasus yang menjerat Tom terlihat aneh karena masih banyak pertanyaan publik yang belum terjawab. Kejagung tentu punya otoritas terhadap hal tersebut, penahanan Tom selama 20 hari dan rangkaian pemeriksaan yang dilakukan diharapkan dapat membuka tabir keterlibatan Tom dalam kasus yang dituduhkan.
Bila benar bersalah, tentu Tom harus di penjara. Namun bila tidak, tentu Tom harus dibebaskan.
Transparansi hukum terkait kasus yang menjerat Tom Lembong perlu diketahui publik, agar tak menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia yang dianggap pandang bulu.
Sebagai negara hukum, tentu kita masih harus percaya bahwa keadilan masih berdiri tegak, tanpa pandang bulu. Meyakini dan menghormati bahwa aparat penegak hukum telah melakukan tugas penegakan keadilan dengan sejujur-jujurnya, bukan karena pesanan belaka.
(BR)