Ilustrasi. (Analisadaily/Istimewa)
Oleh: Riska Sianturi, Riza Agnesta Br Tarigan dan Natanael Mantudalenta Purba.*
BERDASARKAN Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya,dan aspek kehidupan lainnya.
Diskriminasi sistemik adalah pola kebijakan, perilaku, atau praktik yang dapat menciptakan atau memperpanjang kerugian bagi kelompok-kelompok tertentu, seperti kelompok sara tertentu atau penyandang disabilitas. Hal ini dapat disebabkan oleh tindakan individu atau konsekuensi yang tidak disengaja dari sistem yang diskriminatif.
Indonesia, dengan mayoritas muslim (Kemenag, 2020), kerap menghadapi dilema terkait penggunaan jilbab. Larangan jilbab bagi Paskibraka, seperti yang terjadi pada saat persiapan upacara 17 Agustus 2024 di Ibu Kota Nusantara memicu kontroversi. Padahal, UUD 1945 dan Undang- Undang Pendidikan Nasional menjamin kebebasan beragama. Memaksa anggota Paskibraka berjilbab melepas jilbab adalah tindakan intoleransi dan prinsip negara yang menjunjung tinggi keberagaman.
Larangan pemakaian jilbab dapat dianggap melanggar sila pertama Pancasila, yaitu "Ketuhanan Yang Maha Esa,"jika larangan tersebut dianggap mengganggu hak individu untuk menjalankan ibadah dan keyakinan agama mereka. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia menjunjung tinggi kepercayaan kepada Tuhan dan menjamin kebebasan beragama.
Larangan Pemakaian jilbab saat pengibaran bendera pusaka pada HUT RI ke 79 ini juga dianggap telah menentang semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang artinya Berbeda-beda tetapi tetap satu jua dimana terdapat Diskriminasi Sistemik dalam membatasi hak warga negara Indonesia dalam keputusan yang dikeluarkan oleh BPIP dapat mengancam keberagaman budaya
bangsa kita dengan menyebabkan pengucilan dan pembatasan akses terhadap kelompok paskibra yang berjilbab. Hal ini dapat menyebabkan perpecahan dan keretakan dalam masyarakat.
Ketika larangan tersebut diterapkan secara tidak adil atau diskriminatif, hal ini bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip tersebut, yang mengharuskan negara dan masyarakat untuk menghormati kebebasan beragama setiap individu. Kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang diakui secara internasional dan harus dihormati sesuai dengan konstitusi dan prinsip-prinsip Pancasila.
Namun, penting juga untuk mempertimbangkan konteks dan alasan di balik larangan tersebut. Terkadang, larangan bisa dikaitkan dengan regulasi tertentu yang bertujuan untuk menjaga ketertiban umum atau dalam situasi tertentu seperti di lingkungan tertentu, namun tetap harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip keadilan dan kebebasan beragama. Terkait masalah larangan pemakaian jilbab yang dianggap melanggar hukum di Indonesia telah diatur di beberapa peraturan perundang- undangan diantaranya Pasal 28E Ayat (1) Undang – Undang Dasar 1945, Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjamin setiap warga negara bebas beragama dan beribadah sesuai agamanya. Penggunaan jilbab merupakan hak beragama yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun termasuk alasan keseragaman anggota paskibra.
Berdasarkan isu yang penulis angkat, penulis berpendapat bahwa Isu ini adalah hasil dari peraturan yang diskriminatif, dimana Keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) No 35 Tahun 2024 menyebabkan kelompok berhijab kehilangan akses terhadap tim paskibra HUT RI-79. Maka dari itu, penulis juga berpendapat bahwa diskriminasi sistematik membatasi hak-hak warga negara dengan cara-cara berikut:
1. Perwakilan yang tidak adil: diskriminasi sistemik pada Kelompok yang tertentu berakibat pada kurang terwakilinya mereka dalam lembaga-lembaga pemerintahan, bisnis, dan organisasi masyarakat, atau bahkan dalam acara negara yang resmi. Hal ini menyebabkan kebijakan dan keputusan yang dibuat seringkali tidak mempertimbangkan kebutuhan, perspektif,dan representasi mereka.
2. Akses yang tidak setara: diskriminasi sistemik terbukti menghambat akses kelompok tertentu terhadap pendidikan berkualitas, pekerjaan yang layak, perawatan kesehatan yang memadai, dan termasuk dalam isu yang diangkat oleh penulis. Keputusan BPIP No. 35 Tahun 2024 menciptakan keadaan diskriminatif yang membatasi partisipasi kelompok berhijab untuk dapat bebas menjalankan syariat agama dalam isu ini adalah agama Islam.
3. Tekananpsikologis: diskriminasi sistemik dapat menyebabkan kerusakan psikologis yang signifikanbagi individu dan komunitas yang terdampak peraturan yang diskriminatif. Ada pula kemungkinan yang masuk akal bagi para anggota kelompok yang terdampak diskriminasi sistemik untuk mengorbankan hak mereka (dalam kasus ini hak untuk menjalankan syariat agama berupa mengenakan hijab) demi mendapatkan akses untuk menjadi paskibraka pada perayaan HUT KE 79 RI. Hal ini memungkinkan terjadi nya konflik batin pada individu.
Berbagai peraturan mengenai seragam dan pakaian dalam institusi pendidikan sering kali menimbulkan berbagai pendapat dan kontroversi bergantung pada perspektif masing-masing pihak, baik dari segi hukum, budaya, maupun agama, terutama mengenai kebijakan pelarangan pemakaian jilbab ini sering kali diklaim sebagai bagian dari upaya menjaga keseragaman dan disiplin, namun bisa menimbulkan ketidaknyamanan bagi mereka yang ingin mematuhi ajaran agama mereka.
Oleh karena itu menurut pandangan penulis seharusnya ada upaya untuk mengakomodasi kebutuhan beragama sambil tetap mempertahankan tujuan organisasi, daripada memberlakukan larangan yang dapat dianggap eksklusi, seperti dengan mengadaptasi seragam atau penyesuaian khusus agar sesuai dengan kebutuhan agama tanpa mengorbankan seragam, keseragaman dan tanpa mengganggu tujuan kebijakan hal ini dapat menjadi solusi yang adil dan inklusif.
Larangan pemakaian jilbab dalam konteks tertentu perlu diuji dan dievaluasi berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan undang-undang yang berlaku. Jika kebijakan tersebut melanggar hak kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang,maka larangan tersebut dianggap tidak sah. Namun, jika ada alasan praktis yang sah yang dijelaskan dengan jelas dan tidak bersifat diskriminatif, kebijakan tersebut mungkin bisa dipertahankan.
Oleh karena itu setiap kasus harus dianalisis berdasarkan fakta-fakta spesifik dan peraturan yang relevan. Jika ada ketidakpuasan dengan kebijakan yang ada, jalan hukum seperti pengaduan atau gugatan bisa dipertimbangkan untuk menegakkan hak-hak tersebut.
Namun demikian, tidak ada manusia yang sempurna,kita semua akan menghadapi permasalahan hidup yang tiada henti. BPIP sendiri telah mencabut Keputusan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Nomor 35 tahun 2024 tentang Standar Pakaian, Atribut,dan Sikap Tampang Pasukan Pengibar Bendara Pusaka sebagai wujud kepedulian BPIP atas partisipasi masyarakat yang menggelora akibat dikeluarkan nya keputusan tersebut. Perlu diketahui bersama bahwa perayaan HUT RI ke - 79 Tahun pun yang jatuh pada tanggal 17 Agustus2024 telah berjalan dengan baik dan meriah.
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
(BR)