OPINI

Jeritan Korban Salah Tangkap: Bagaimana Perhatian Hukum Bagi Mereka?

Jeritan Korban Salah Tangkap: Bagaimana Perhatian Hukum Bagi Mereka?
Ilustrasi. (Analisadaily/Istimewa)

Oleh: Muhammad Aulia Adhlani Tarigan, Laureza Nanda Putri Silaban dan Lauren Nataly Napitupulu.*

BERKACA dari kasus pencurian rumah yang terjadi di Lampung Utara, Oman Abdurrohman atau biasa disebut Mbah Oman (54) seorang marbot mesjid menjadi korban salah tangkap. Kasus ini telah menarik perhatian banyak masyarakat karena awalnya polisi telah menangkap Mbah Oman sebagai tersangka pelaku Pencurian rumah namun membebaskan setelah mbah Oman menjalani hukuman selama 10 bulan karena salah tangkap. Mbah Oman mengajukan gugatan Pra Peradilan ke Pengadilan Negeri Kota bumi, Lampung Utara pada tanggal 27 Juni 2019. Mbah Oman membantah bahwa dirinya bukanlah pelaku atas Pencurian yang terjadi di Lampung Utara. Setelah berjuang lama demi keadilan kegigihan Mbah Oman membuahkan hasil yang diharapkan. Hakim tunggal Pengadilan Negeri Kota Bumi mengabulkan perkara pra peradilan Mbah Oman dan membebaskan Mbah Oman. Hakim juga telah memutuskan agar Polda Lampung tidak melanjutkan penyelidikan terhadap Mbah Oman serta membayarkan biaya ganti rugi sebesar Rp.222 Juta.

Hal terkait salah tangkap dapat saja terjadi dikarenakan beberapa alasan seperti adanya kesalahan identifikasi fisik, saksi mata yang keliru, kualitas bukti yang buruk, tekanan dan kurangnya profesionalisme penyidik. Salah tangkap adalah kesalahan dalam proses penyidikan atau penahanan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Korban salah tangkap oleh polisi adalah persoalan serius yang menyoroti kelemahan dalam sistem penegakan hukum. Kasus seperti ini berdampak besar bagi korban salah tangkap seperti korban seringkali mengalami trauma psikologis yang mendalam, kehilangan pekerjaan dan kehormatan, serta stigma sosial yang sulit dihapus, meskipun mereka akhirnya dibebaskan dan dinyatakan tidak bersalah. Hal ini otomatis mempengaruhi masa depan korban salah tangkap. Sehingga dapat kita katakan bahwa dampak salah tangkap jauh lebih kompleks dan meluas daripada sekadar penahanan yang keliru.

Perlindungan Hukum

Dalam Kasus Mbah oman telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Lampung bahwa Mbah oman bukanlah pelaku Pencurian rumah di Lampung Utara, jelas bahwa Polda Lampung telah melakukan salah tangkap dan melakukan pemkasaan dengan kekerasan agar Mbah Oman mangkuk perbuatan yang tidak diperbuatnya. Perlindungan hukum yang dapat diterima oleh korban salah tangkap diatur dalam KUHP Pasal 95 ayat (1) yang menyatakan bahwa Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, Korban dapat menuntut ganti kerugian dengan mengajukan gugatan pra peradilan ke Pengadilan Negeri setempat.

Ganti kerugian yang dimaksud dapat berupa rehabilitasi yang diatur dalam pasal 97 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu korban juga berhak mendapat biaya ganti rugi berupa uang dengan jumlah minimal Rp. 500.000 dan paling banyak Rp. 100.000. Jika korban salah tangkap mengalami luka berat atau cacat sehingga tidak bisa bekerja, besarnya ganti kerugian yang bisa diterima adalah minimal Rp 25 juta dan paling banyak Rp 300 juta. Terkait ganti kerugian ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 92 Tahun 2015.

Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata pasal 95 ayat (2) menyatakan bahwa tuntutan ganti kerugian dapat diajukan oleh tersangka. Terdakwa, terpidana atau ahli warisnya ke pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan melalui acara pra pengadilan. Korban salah tangkap mengajukan tuntutan ganti kerugian dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima. Dalam prosesnya diperlukan pengumpulan bukti yang relevan baik berupa dokumen, saksi-saksi dan estimasi kerugian yang dialami.

Namun ada hal yang perlu digaris bawahi dalam menetapkan dikabulkan atau tidaknya tuntutan ganti kerugian, hakim mendasarkan pertimbangannya kepada kebenaran dan keadilan, sehingga dengan demikian tidak semua tuntutan ganti kerugian akan dikabulkan oleh hakim. Misalnya apabila tuntutan tersebut didasarkan atas hal yang menyesatkan atau bersifat menipu, maka tepat kalau tuntutan demikian itu ditolak.

Contoh Gugatan Pra Peradilan yang Gagal Dikabulkan

Salah satu bentuk pra peradilan yang ditolak ialah pada kasus PT SNI yang melakukan pencemaran limbah B3 tanpa izin. Pada 7 September 2022 Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo resmi menolak seluruh gugatan yang diajukan oleh PT Sinerga Nusantara Indonesia. PT Sinerga Nusantara Indonesia sebelumnya diduga melakukan kasus pencemaran LB3 limbah bahan berbahaya dan beracun (LB3) dan banyak melakukan kegiatan di luar dari dokumen perizinan lingkungan yang telah diberikan.Sebagaimana, putusan praperadilan No.04/Pid.Pra/2022/PN.Sda PN Sidoarjo, Hakim PN Sidoarjo menolak permohonan pemohon peraperadilan untuk seluruhnya, menyatakan sah menurut hukum penetapan tersangka korporasi PT SNI, dan membebankan biaya perkara yang timbul kepada pemohon.

Setiap orang berhak mengajukan gugatan pra peradilan apabila merasa keberatan atas tindakan dari seorang penyidik.Praperadilan merupakan upaya hukum yang bertujuan untuk membangun kontrol antara penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan tersangka. Objek praperadilan meliputi penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penggeledahan, penyitaan, dan penetapan tersangka.

Perbedaan Restitusi dengan Gugatan Pra Peradilan

Restitusi dan gugatan pra peradilan adalah dua hal yang berbeda. Restitusi adalah upaya untuk mengembalikan kerugian materi yang dialami oleh korban suatu tindak pidana yang bertujuan untuk mengembalikan atau memulihkan kondisi korban sebelum terjadinya tindak pidana. Restitusi diajukan setelah proses hukum terhadap pelaku pidana telah selesai. Bentuk bentuk restitusi adalah pemberian berupa uang dan pengembalian barang yang hilang. Sedangkan Gugatan pra peradilan adalah upaya hukum yang dilakukan seseorang untuk mengajukan keberatan terhadap tindakan penyidik. Gugatan Pra peradilan diajukan sebelum proses persidangan dimulai.

Cara pengajuan Gugatan Pra peradilan

Tata cara yang bisa kita lakukan dalam mengajukan pra peradilan ialah pertama, pengajuan permohonan kepada ketua Pengadilan Negeri. Permohonan ini dapat diajukan oleh tersangka, keluarga, atau kuasa hukumnya yang kemudian akan dilakukan pemeriksaan kelengkapannya baik berupa berkas, data ataupun bukti. Ketiga melakukan pendaftaran permohonan ke SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara) Keempat, akan dilakukan pemanggilan pihak-pihak oleh Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dan akan menetapkan hari sidang dan memanggil pihak pemohon dan termohon.

Kelima, pemeriksaan oleh hakim dan memutus permohonan praperadilan dalam waktu 7 hari. Dalam hal pencabutan permohonan, pemohon dapat mencabut permohonan praperadilan sebelum putusan dijatuhkan, jika termohon menyetujuinya. Terkait gugur permohonan, permohonan praperadilan akan gugur jika perkara sudah diperiksa oleh Pengadilan Negeri sebelum pemeriksaan praperadilan selesai korban salah tangkap yang mengajukan pra peradilan bisa memilih penasehat hukumnya sendiri baik secara mandiri maupun melalui lembaga bantuan hukum (LBH) dan tidak menutup kemungkinan untuk memakai jasa penasehat hukum yang sama sebelum dinyatakan salah tangkap.

Dukungan Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul serta tinggal disuatu tempat dibawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Anggota keluarga yang tinggal serumah mempunyai hubungan yang sangat erat, baik dari aktivitas secara fisik maupun emosional. Setiap individu membutuhkan dukungan dari keluarga agar dapat memberikan kenyamanan dan kesehatannya baik bagi fisik maupun mental. Dukungan dari keluarga dapat sangat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental seseorang, demikian pula halnya dengan korban salah tangkap.

Dukungan keluarga memberikan rasa aman dan nyaman bagi setiap anggota keluarga. Korban salah tangkap sangat membutuhkan dukungan dari keluarganya terutama dukungan mental dan emosional. Mendengarkan keluh kesah, memberikan semangat, menunjukan rasa saling percaya dan menemani setiap kondisi orang yang kita sayangi merupakan salah satu bentuk dukungan. mendapat dukungan keluarga merupakan cara yang efektif dalam membantu para korban salah tangkap untuk berani membuka diri kepada masyarakat dengan percaya diri dan memulai kehidupan yang lebih baik lagi.

Penutup

Secara keseluruhan, korban salah tangkap adalah tanda bahwa sistem penegakan hukum membutuhkan perbaikan yang signifikan. Pemerintah, lembaga peradilan, dan kepolisian harus bekerja sama untuk memastikan bahwa setiap warga negara diperlakukan dengan adil, dihormati hak asasinya, dan dilindungi dari tindakan sewenang-wenang.

Korban salah tangkap oleh polisi merupakan hal yang patut disoroti perihal kelemahan dalam sistem penegakan hukum. Kasus seperti ini berdampak besar bagi korban salah tangkap seperti korban seringkali mengalami trauma psikologis yang mendalam, kehilangan pekerjaan dan kehormatan, serta stigma sosial yang sulit dihapus, meskipun mereka akhirnya dibebaskan dan dinyatakan tidak bersalah.

Dari bunyi Pasal diatas Mbah oman dapat menuntut untuk mendapatkan ganti kerugian karena telah menjadi korban salah tangkap dan mengalami cacat karena adanya kekerasan dari Polisi agar Mbah Oman mengakui perbuatan yang tidak diperbuatnya. Ganti kerugian yang dimaksud dapat berupa rehabilitasi yang diatur dalam pasal 97 ayat (1) KUHAP, selain itu Mbah Oman juga berhak menuntut ganti kerugian berupa uang sebanyak 100 - 300 juta rupiah.

Namun tidak semua ganti kerugian dapat dikabulkan oleh hakim. Hakim harus memperhatikan dan mempertimbangkan apakah ganti kerugian tersebut harus dikabulkan atau tidaknya. Hal yang harus dipertimbangkan terlebih dahulu ialah apakah hal tersebut tidak didasarkan sesuatu yang menipu maupun menyesatkan, jika terbukti menipu dan menyesatkan maka berhak untuk tidak mengabulkan permohonan ganti rugi tersebut.

*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

(BR)

Baca Juga

Rekomendasi