War Djamil (Analisadaily/Istimewa)
Oleh: War Djamil
SEPENGGAL saya kutip dari Ethics for the Media karya William L.Rivers/Cleve Mathews (halaman 21) terjemahannya:
“..semakin biasa melakukan tugas, kita mempertanyakan norma-norma yang telah diterima, kita semakin diharapkan untuk biasa ditanyai...” (David Haberstam).
Nah, ditanyai oleh siapa?. Jawabnya: Publik!.
Mari mundur, sekitar 25 tahun silam. Tatkala UU Pers No.40/1999 diundangkan 23 September 1999. Terlihat suasana euforia. Tak cuma kalangan pers. Publik juga
Penerapan kemerdekaan (= kebebasan) pers, bagai tiada batas. Tidak diperlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), sebelumnya Surat Izin Terbit (SIT), spontan lahir ratusan media dan ratusan wartawan. Keadaan itu sah-sah saja. Hal terpenting, aktivitas jurnalistik tetap berpedoman pada UU Pers, Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan ketentuan terkait lainnya.
Saat bersamaan, terjadi semacam perubahan paradigma dalam dalam pers nasional. Dari paradigma yang state centered menjadi paradigma yang civil centered.
Untuk yang pertama cenderung pada gambaran kepentingan penguasa (saat itu). Sedangkan yang kedua, justru makin demokratis dalam cerminan kebebasan
pers. Ini terbukti, antara lain: Begitu mudah menerbitkan media cetak. Juga hak mengeluarkan pendapat, apalagi menyampaikan kritik. Meski ada bias. Seperti reaksi publik terhadap isi sebagian media, yang dinilai berani menyiarkan tanpa peduli pada hak-hak privasi atau yang berdampak negatif.
Di sini. Publik juga bertanya: Seberapa jauh media melindungi publik?. Benarkah proteksi tak seratus persen?. Muncul keluhan publik atas pemberitaan pencemaran nama baik atau membuka aib dan sebagainya.
Tak cuma itu. Sejumlah birokrat dan beberapa politisi melontarkan kritik tajam atas sebagian media yang tak mengindahkan sisi-sisi privasi dan lain-lain. Seberapa besar kepatuhan media pada etika profesi?. Mengapa masih ada media yang menabrak koridor hak asasi manusia (HAM)?.
Nah, terkait dengan pernyataan David Haberstam di atas, pula terkait sejumlah pertanyaan publik. Bagaimana reaksi pers?. Tentu ada. Pihak pers menyatakan, tidak semua media meresahkan publik. Sebagian besar media justru dengan informasi akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Jika ada satu-dua media kurang peduli pada etika pers, kiranya publik tak menyamaratakan. Tidak anggap semua media begitu. Artinya, diakui ada dua-tiga media melanggar KEJ, tetapi tetap diproses.
Seraya tetap memperhatikan keluhan dan pertanyaan publik. Media memang harus siap memberi jawaban ke publik. Tidak boleh membiarkan pertanyaan itu. Tidak mendiamkan. Jika media keliru, ayo dengan jiwa besar akui dan jika perlu sampaikan pernyataan maaf.
Implementasi norma-norma KEJ tentu menjadi perhatian publik. Pihak pers kiranya menyadari itu, tentang adanya pengamatan publik. Selain jawaban lisan, sesungguhnya jawaban dijabarkan dalam karya jurnalistik, itu terbaik. Artinya, publik menilai dan langsung merasakan tentang penerapan etika pers dalam operasional media.
Dari sisi peran media, sesungguhnya sebagai wahana publik mengekspresikan pemikiran/pendapat (freedom of expression). Dibutuhkan kemampuan memelihara kepercayaan publik atas nilai-nilai demokrasi seperti kepatuhan pada hukum, adanya toleransi, egalitarianisme dan non-violence.
Aktivitas pers berlandaskan nilai-nilai profesionalisme, antara lain mengacu pada KEJ, objektivitas, akurasi, investigative reporting. Kebebasan pers makin mendukung jurnalisme berbasis HAM.
Kebebasan pers tetap dalam konteks menjunjung HAM. Menghindari pelanggaran HAM dalam pemberitaan. Dilakukan self censorship.
Sebelum berita disiarkan, pertimbangkan dengan matang dampak positif-negatif terhadap publik. Termasuk sisi imparsialitas (tetap seimbang dan netral).
Kiranya etika bermedia bukan hanya untuk pers. Taat etika profesi pers melindung dua pihak: Pers dan publik. Perlu menempatkan etika profesi pada bagian tertinggi dalam media.
Pernah ditanyai publik: Etika bermedia?. Atau, media beretika?.
(NAI/RZD)