OPINI

Halusinasi Wong Cilik Kepada Pemerintah

Halusinasi Wong Cilik Kepada Pemerintah
Bersihar Lubis (Analisadaily/Istimewa)

Oleh: Bersihar Lubis

“Orang-orang Setia” adalah lakon drama absurditas. Cerita yang mustahil, aneh dan pedih, meminjam istilah Albert Camus. Ada dua gaek, Sarmin dan Rahman, seorang guru honorer sastra dan penjaga kamar mayat yang sudah 40 tahun mengabdi.

Keduanya berhalusinasi akan menerima penghargaan dari pemerintah atas jasa-jasanya. Edannya mereka mempercayainya sampai gladi resik segala. Inilah komedi tragedi. Lucu tapi perih.

Lakon teater realisme inilah yang digelar grup Teater Medan disutradarai Munawar Lubis dalam Parade Teater Medan, 14 Desember 2024 di Taman Budaya Medan.

Secara keseluruhan lakon ini menghibur batin. Setidaknya ditandai tepuk tangan dan gelak penonton. Namun ada sedikit adegan dalam lakon serasa percakapan biasa dalam keseharian.

Meskipun teater realisme adalah gambaran kenyataan keseharian, tapi teater realisme adalah sebuah illution of reality. Sebuah ilusi dalam menerjemahkan kenyataan. Lukisan bunga jauh lebih indah di atas kanvas ketimbang bunga di taman. Lukisan bunga dirasuki oleh ekspresi yang subyektif. Kata kata punya ilusi sendiri. Kata-kata diucapkan bagai bersayap terbang dari panggung menerpa batin penonton.

Tatkala Rahman bertutur bahwa besok mereka akan menerima penghargaan dari Gubernur, rasanya bagai kalimat biasa saja. Kurang greget. Padahal mereka selama ini hanya berhalusinasi. Lalu membuat piagam penghargaan. Ditanda tangani sendiri seolah dari presiden, menteri, walikota. Inilah, komedi, tanpa bergaya Srimulatan. Lucu tapi getir.

Penulis naskah, Iswadi Pratama bak bercanda ketika ia membuat dialog Rahman yang tiba-tiba ragu, apakah penghargaan itu bukan sekadar khayalan. Eh, Sarmin berkata, “Itu kan ada undangannya. Kamu kan langsung menerimanya tadi siang?”

Penonton bimbang, apakah penghargaan itu ada, atau hanya kegenitan pikiran mereka belaka.

Sebagai lulusan FISIP Universitas Lampung jurusan Ilmu Pemerintahan, Iswadi bagai menyindir-nyindir. Ketika Rahman bertanya, “pemerintah itu sebenarnya apa, Min?” Hehe, Sarmin menyahut, “(Orang) pemerintah adalah mereka yang dalam upacara akan duduk dibangku bangku terdepan. Memakai setelan yang bagus-bagus, necis, harum. Dikawal dan diiringi. Yang pintu mobilnya dibukakan dan ditutupkan......”

Beberapa kali pula penonton tergelak ketika keduanya melakukan gladi resik. Rahman berlagak bagai seorang gubernur. Sarmin merangkap protokol. Sang MC meminta Sarmin, guru honorer yang telah mengabdikan diri di sekolah terpencil maju ke depan. Sarmin berjalan tegap menuju Gubernur, dan lalu memberi hormat. Kemudian Rahman mengalungkan medali di leher Sarmin.

Sarmin berubah peran lagi menjadi protokol. “Berikut ini, terimalah sambutan dari Gubernur..." Sangat lucu ketika Rahman takut salah ucap. Takut jadi viral. “Yang penting jangan ada kata gobloknya,” kata Sarmin. He-he kita teringat Gus Miftah yang menggoblok-goblokan seorang penjual es teh baru-baru ini.

Gubernur pun berpidato : “Ingatlah selalu semboyan kita. Ayo kerja! Jangan ada yang bermalas-malasan.” Terdengar klise, suatu ciri khas pidato pejabat tertentu di negeri ini.

Kian lucu ketika gubernur mengucapkan kata-kata yang tak jelas maknanya, blablabla bliblibli.

Arus komedi tragedi masih mengalir ketika Sarmin menanyakan hal apakah yang mengharukan dalam pidato Gubernur? “Tolong sediakan dana untuk para pahlawan bangsa ini, masing-masing, dua..(miliar)?” kata Rahman. “Bukan yang itu. Kau selalu ingat kalau soal uang...”potong Sarmin.

Rahman tiba-tiba ingat. “Guru-guru bangsa yang tak pernah menyerah?” katanya. “Ya...persis! Kalimat itu membuat saya gemetar dan hampir ambruk di panggung tadi..” tutur Sarmin.

Giliran Rahman bertanya hal serupa. Sarmin bilang ini dan itu, tapi bagi Rahman itu cuma informasi. Terlalu biasa. Kurang puitis. Rahman menjawab sendiri: “Mungkin soal bantuan dana itu. Kurasa itu yang paling puitis.”

Puncak Absurditas

Meski hanya guru honorer sastra, Sarmin layak meraih sertifikasi guru. Ia pasih mengisahkan Karna dalam Mahabarata yang semasih orok dibuang ibunya, Kunthi, ke sungai, karena lahir dari hubungan gelap. Seorang sais kereta kemudian mengasuhnya.

Syahdan, setelah Karna mewarisi beberapa kesaktian dari seorang Resi, Brahma, Karna alias Radheya pergi ke Astina Pura. Di gelanggang tanding, Arjuna di elu-elukan seluruh rakyat. Tetapi Radheya dilarang ikut bertanding karena bukan seorang ksatria.

Mendengar itu, wajah Radheya memerah. Rahman tiba-tiba memeragakan Arjuna. “Siapa nama tuan? Tuan bisa tunjukan dulu keberanian tuan dengan menyebut dari puri mana tuan berasal,” tiru Rahman. Karakter suaranya perbawa. Beda dengan suara Rahman.

Eh, Sarmin menirukan Radheya, juga dengan watak suara yang berbeda. “Nama saya Radheya, saya berani mengalahkan tuan saat ini juga.” Toh, Radheya urung bertarung karena hanyalah anak seorang kusir kerajaan.

Karna berguru pada sang Brahma, karena ingin mengubah takdirnya. Dan terwujud ketika Duryudana, putra tertua Kurawa, mengangkatnya menjadi Adipati Karna. Ia pun sah menjadi seorang ksatria.

Moral kisah Karna mengajarkan seseorang yang berjuang mengubah takdirnya. Sementara mereka berdua, apa? “Kita cuma senyap, Min?” bisik Rahman. “Cuma asap,” gumam Sarmin. “Kain tua,” ucap Rahman. “Koyak,” kata Sarmin. “Sobek..,” kata Rahman.

Saat keduanya kembali ke bilik masing-masing yang bersisian, hanya suara angin dan jangkrik yang terdengar. Sayup sayup mengalun suara anak-anak mengaji. Mereka terkenang anak-anak jalanan di stasiun yang dulu diajari Sarmin mengaji.

Sampai suatu malam kepala stasiun menawari Sarmin menjadi penjaga musholah. Dan diberi honor 100 ribu setiap bulan. Dari situ Sarmin mengenal pejabat di Dinas Sosial yang menawari Sarmin menjadi guru honorer. Dan Rahman bisa jadi petugas kamar mayat.

Tak kuat dikepung kenangan itu, Rahman beringsut pergi meninggalkan Sarmin yang duduk sendirian.

Kala itulah Sarmin bermonolog. Jika dieksplorasi dengan ciamik, ritmenya akan memikat. Kian menggigit jika vokalnya kadang datar, lalu meninggi, kemudian antiklimaks dan berbisik.

Sarmin semakin tenggelam dalam kesedihannya. Ia terisak dan tertidur diantarkan iringan musik harmonika yang menyayat-nyayat.

Rahman kemudian muncul dan mendapati Sarmin sudah tidur. Ia hendak membangunkannya namun urung. Ia mengorak tubuh, dan duduk di biliknya.

Giliran Rahman pula melakukan soliloqui (berbicara kepada diri sendiri). “Min, kau selalu bilang…kere harus setia dengan kere. Jelata harus bersahabat dengan jelata. Saling menyayangi.”

Sesungguhnya, Rahman berpeluang menghipnotis penonton. Kiat vokal dengan segala bentuk dan karakternya bisa meraih iba hati penonton.

Aduhai, kadang Rahman membayangkan mereka adalah tokoh-tokoh yang ada dalam cerita-cerita Sarmin. Seperti Odhipus, Sishypus, Spartacus, Agus.Salim, Tan Malaka, Pramoedya, Hatta, Bung Karno, Sutan Syahrir...

Rahman mengerti mengapa Sarmin menceritakan kisah tokoh-tokoh itu. Ya, agar berbakti setulus yang dilakukan tokoh-tokoh itu. Bersetia pada janji, pada akal budi, pada cita-cita, pada hati nurani, jujur sejak dalam pikiran dan tindakan. Sayang tidak ada politikus dan pejabat yang menonton. Sekiranya ada, oh, alangkah.....

Perlahan lampu meredup. Gelap. Ketika matahari muncul di ufuk timur, Rahman dan Sarmin bergegas hendak menghadiri seremoni penghargaan. Mereka gladi resik lagi. “Sudah cukup, ayo berangkat,” ajak Sarmin.

Tetiba terdengar raungan bulldozer. Hiruk pikuk. “Waduh, Min! Penggusuran! Kita digusur Min!” jerit Rahman. Sarmin masih terkesima. Serombongan petugas merangsek. Rumah mereka yang bobrok pun roboh.

Astaga, usai ingar bingar itu, Sarmin masih sempat-sempatnya mengajak Rahman ke acara pemberian penghargaan. “Ayo Man, kita pasti sudah ditunggu,” kata Sarmin, bersemangat. Rahman masih terpaku. Akal sehatnya bekerja. “Mereka baru saja memberikannya pada kita, Min,” kata Rahman. Halusinasi pun tewas. Tak berkutik. Pentas pun usai.

(OPINI di Harian Analisa, Selasa, 17 Desember 2024)

Penulis adalah jurnalis menetap di Medan

(NAI/RZD)

Baca Juga

Rekomendasi