Analisadaily.com, New York - Rachel Handlin, seorang seniman pelopor dengan Downsyndrom, membuat gebrakan di dunia seni, tidak hanya karena karya-karyanya yang menakjubkan tetapi juga karena keberhasilannya mendobrak batasan dalam pendidikan dan representasi. Sebagai orang pertama dengan Downsyndrom yang meraih gelar M.F.A. (Master of Fine Arts) dan salah satu dari sedikit yang memiliki gelar sarjana, perjalanan seni Handlin menjadi bukti ketekunan, semangat, dan kedekatannya dengan subjek-subjeknya.
Pameran solo pertamanya, bertajuk "strangers are friends I haven’t met yet", yang digelar di galeri White Columns di New York City, mengundang penonton ke dalam narasi unik tentang inklusivitas dan ekspresi diri. Pameran ini, yang menampilkan potret, patung, dan karya video, mengeksplorasi hubungan antara individu dengan Downsyndrom yang telah lulus dari perguruan tinggi dua atau empat tahun. Individu-individu ini, seperti halnya Handlin sendiri, berbagi ikatan prestasi akademik dan perkembangan pribadi.
Pada Mei lalu, Handlin mencetak sejarah dengan meraih gelar Master of Fine Arts dari Pratt Institute, menandai tonggak penting sebagai salah satu dari sedikit orang dengan Downsyndrom yang memiliki gelar M.F.A. Ia percaya dirinya mungkin adalah yang pertama. Perjalanan akademiknya dimulai dengan gelar Sarjana Seni Rupa dari California Institute of the Arts, yang menjadi landasan bagi kariernya sebelum pameran solo ini.
Komitmennya pada pendidikan, ditambah dengan semangat besarnya terhadap seni, bukan hanya pencapaian pribadi, tetapi juga menjadi inspirasi bagi komunitas Downsyndrom lainnya.
Pameran Handlin mengambil pendekatan yang personal, menampilkan potret individu dengan Downsyndron dari berbagai belahan dunia. Selama lima tahun, Handlin dan ibunya, Laura, melakukan perjalanan ke negara-negara seperti Peru, Australia, dan Spanyol, menghubungkan diri dengan individu dari berbagai latar belakang melalui kamera. Hubungan yang terjalin sebelum setiap foto diambil sangatlah penting, karena Handlin selalu meluangkan waktu 20 hingga 30 menit untuk berbicara dengan subjeknya sebelum menangkap esensi mereka dalam film.
Ibunya, yang juga berperan sebagai pendamping dan asisten studio, menekankan pentingnya membangun hubungan ini. “Koneksi dengan orang-orang sangat penting,” ujarnya. Kedekatan ini memungkinkan Handlin untuk menangkap subjeknya secara personal dan mencerminkan pengalaman yang mereka bagikan.
Tumbuh besar di Manhattan Beach, California, Handlin menunjukkan tanda-tanda awal kecintaannya pada seni. Orang tuanya melihat reaksinya yang unik terhadap seni, terutama saat mereka berkunjung ke museum. "Picasso membuat saya merasa sedih," ujarnya, "dan karya van Gogh membuat saya merasakan energi dalam tubuh saya."
Fotografi Handlin, yang menjadi bagian sentral dari pamerannya, sangat patut diperhatikan. Ia menggunakan film format besar, metode yang mendorong kesabaran dan ketelitian. Ibunya mencatat bahwa medium ini memaksa seniman untuk lebih hati-hati dan memastikan setiap bidikan dilakukan dengan penuh perhatian.
Selain potret, pameran Handlin juga mencakup patung las berjudul "invisible", yang merepresentasikan perasaannya ketika diabaikan. Siluet abstrak yang menampilkan Handlin dengan "rambut palsu gaya Andy Warhol" ini merupakan respons terhadap proyek seni publik David Hammons, “Day’s End." Handlin mencerminkan bagaimana ia sering merasa tak terlihat, terutama ketika orang bertanya kepada ibunya tentang nama atau usianya.
Patung tersebut, seperti halnya potret-potret Handlin, berbicara tentang tema identitas dan visibilitas yang terus ia eksplorasi dalam karyanya.
Saat pembukaan pamerannya, Handlin menjadi pusat perhatian. Mengenakan blouse renda dengan leher tinggi dan rok perak, ia berbaur dengan para tamu, berpose untuk foto, dan berbagi kisahnya. Ibunya menggambarkannya sebagai "Hillary Clinton di pesta koktail" karena kemampuannya yang alami untuk berinteraksi dengan orang-orang, berbicara dengan semua orang, dan membuat mereka merasa dihargai.
Karya Rachel Handlin bukan hanya tentang menciptakan gambar yang indah; ini tentang membangun koneksi, memperkuat komunitas, dan memberikan visibilitas kepada mereka yang sering kali diabaikan. Melalui potret, patung, dan cerita pribadinya, Handlin mengajak dunia untuk merangkul keragaman pengalaman dan identitas, membuktikan bahwa seni adalah alat yang kuat untuk inklusi dan perubahan.