OPINI

Tren Quiet Quitting dan Dampaknya pada Kinerja Organisasi

Tren  Quiet Quitting dan Dampaknya pada Kinerja Organisasi
Tren Quiet Quitting. (Analisadaily/Istimewa)

Oleh: Yohana Mutiara, S.E., dan Theresa Sisilia Situmorang, S.E.

Kamu pernah merasa seperti berada di persimpangan antara terus berjuang di tempat kerja atau memikirkan mencari peluang kerja di tempat lain? Istilah quiet quitting atau berhenti tanpa suara semakin mencuat sebagai fenomena yang menandakan ketidakpuasan karyawan di tempat kerja. Dunia kerja saat ini menyaksikan fenomena yang semakin merakyat, dikenal sebagai “quiet quitting.” Fenomena "quiet quitting" adalah cerminan dari perubahan besar dalam cara pandang karyawan terhadap pekerjaan dan kehidupan.

Fenomena ini mencirikan karyawan yang tanpa secara resmi mengundurkan diri tetapi secara perlahan mengurangi upaya dan keterlibatan mereka dalam pekerjaan. Konsep quiet quitting ini berasal dari gerakan para karyawan yang memang terlibat dalam protes kerja seperti menolak untuk bekerja lembur, dan sebagainya. Fenomena quiet quitting atau "keluar tanpa suara" telah menjadi topik hangat dalam dunia kerja, terutama di kalangan pekerja milenial dan Gen-Z.

Fenomena quiet quitting disebabkan karena kurangnya pengakuan dan apresiasi di tempat kerja, kurangnya keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi, ketidakjelasan peran dan tanggung jawab, kurangnya peluang pengembangan karir, dan kurangnya komunikasi dan dukungan di tempat kerja. Para pekerja yang lebih muda ini lebih peduli dengan gaya hidup seimbang dan termotivasi oleh keuangan. Tujuan dari quiet quitting adalah untuk menciptakan work-life balance yang ideal dan mengenali batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan, padahal mindset dan perilaku ini disaat ini kadang sangat tidak relevan, di mana saat ini motto banyak pimpinan adalah kerja, kerja, produktif dan mencapai target optimal di tengah persaingan yang semakin sengit.

Ciri-ciri utama dari quiet quitting dapat dikenali melalui perilaku karyawan yang tidak lagi bersedia dan berusaha bekerja melampaui ekspektasi atasan atau tidka bersedia memberikan kontribusi tambahan di luar tugas yang telah ditetapkan. Karyawan yang melakukan quiet quitting juga cenderung kehilangan antusiasme dan keterlibatan dalam pekerjaan mereka. Mereka mungkin tidak lagi menunjukkan minat yang sama dalam proyek atau tugas, dan ketidakpedulian terhadap kualitas pekerjaan dapat menjadi jelas. Selain itu, karyawan yang quiet quitting cenderung menolak tanggung jawab tambahan atau proyek yang melampaui batasan tugas mereka. Mereka dapat menunjukkan resistensi terhadap beban kerja yang lebih besar atau tugas yang lebih kompleks.

Fenomena quiet quitting ini pada akhirnya akan bermuara pada great resignation. Melakukan quiet quitting ini bukan sepenuhnya negatif. Hal itu oleh karena upaya-upaya untuk mendapatkan keseimbangan hidup antara dunia kerja dan dunia sosial (termasuk keluarga) berkaitan dengan kesehatan mental.

Kenapa Gen z Terlibat Dalam Fenomena Quiet Quitting ?

Salah satu alasan quiet quitting bukan sekadar tren adalah bahwa ini mencerminkan perubahan paradigma yang lebih besar dalam dunia kerja. Gen Z adalah generasi yang tidak takut untuk berbicara tentang batasan mereka dan memperjuangkan kesejahteraan mental mereka.Gen Z, yang lahir antara 1997 dan 2012, dikenal sebagai generasi yang sangat memperhatikan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. Mereka lebih sadar akan pentingnya kesehatan mental dan lebih berani mengungkapkan ketidakpuasan terhadap budaya kerja yang toksik atau berlebihan. Inilah salah satu alasan mengapa quiet quitting bisa jadi pilihan yang menarik bagi mereka yang merasa pekerjaan mereka tidak memenuhi kebutuhan pribadi atau profesional.

Alasan lain yang mengapa Gen Z quiet quitting adalah gen Z sering kali diharapkan untuk selalu siap bekerja, berinovasi, dan mencari solusi kreatif meskipun di luar jam kerja. Fenomena quiet quitting menjadi bentuk perlawanan terhadap tuntutan budaya kerja yang terlalu keras ini. Banyak Gen Z merasa bahwa usaha mereka tidak diakui atau dihargai oleh perusahaan. Rasa kurangnya diapresiasi ini menjadi sumber kekecewaan dan ketidakpuasan yang akhirnya memicu quiet quitting.

Bagaimana Mengatasi Masalah Quiet Quitting Oleh Perusahaan Besar ?

Keterikatan kerja karyawan sangat penting terhadap produktivitas organisasi. Generasi Z harus menyadari saat ini tantangan yang dihadapi perusahaan sangat besar kemajuan teknologi yang cepat, perubahan yang cepat terjadi di semua proses bisnis, persaingan yang semakin ketat, keinginan untuk tetap bertahan membuat perusahaan membutuhkan karyawan yang tangguh dan karyawan yang bekerja dengan sepenuh hati dan mau terlibat dengan setiap tugas yang diberikan perusahaan. Proses seleksi itulah kunci untuk mendapatkan karyawan yang tangguh dan bersedia allout dalam bekerja. Proses wawancara yang mendalam sangat dibutuhkan sehingga di dapat karyawan yang memiliki mindset dan perilaku kerja yang sesuai dengan nilai-nilai perusahaan dan visi Perusahaan.

Tips & Trick Mencegah Quiet Quitting

  1. Membangun komunikasi yang terbuka dan transparan antara karyawan dan atasan. Tips dan trick ini memungkinkan karyawan menyampaikan keprihatinan, aspirasi tanpa takut terhadap konsekuensi yang akan diterima.
  2. Pastinya perusahaan harus mendengarkan keluhan dan masukan karyawan untuk memahami apa yang menjadi akar permasalahn yang menyebabkan quiet quitting.
  3. Menetapkan ekspektasi yang realistis dan achievable bagi karyawan sehingga mencegah frustasi dan kekecewaan.
  4. Menghargai kontribusi dan pencapaian karyawan merupakan faktor kunci dalam mencegah quiet quitting
  5. Fokus pada Keseimbangan Hidup Kerja. Perusahaan yang mendukung keseimbangan antara kerja dan hidup pribadi akan lebih menarik bagi karyawan.
  6. Memberikan peluang pelatihan atau kesempatan pengembangan karir akan membuat karyawan merasa perusahaan telah berinvestasi pada masa depan mereka.
Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Manajamen FEB Universitas Sumatera Utara di bawah bimbingan Prof. Dr. Elisabeth Siahaan, M. Ec.


(BR)

Baca Juga

Rekomendasi