War Djamil (Analisadaily/Istimewa)
Oleh : War Djamil
TIGA tanggal tergolong berdekatan (= beruntun). Masyarakat dunia memperingati Hari Internasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, tiap tanggal 25 November.
Kegiatan di berbagai negara, biasanya seolah-olah bersambung hingga tanggal 10 Desember yang dikenal sebagai Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia. Ada yang menyebut Hari HAM Internasional. Sama saja. Organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tetap memberi tema. Tahun 2024, Hari HAM Sedunia memilih tema “ : Cultivating a Culture of Peace (Membudayakan Perdamaian).
Berikutnya dari Tanah Air. Tanggal 22 Desember yang kita rayakan sebagai Hari Ibu secara nasional. Tentu tak cuma sekadar aneka kegiatan positif yang membangkitkan semangat kaum Ibu untuk terus berperan.
Namun, ada pesan khusus dari rangkaian kegiatan 22 Desember antara lain eksistensi kaum Ibu sangat berperan dalam berbagai bidang, untuk keluarga, masyarakat dan bangsa/negara.
Rangkaian tiga kegiatan tersebut diyakini mengandung pesan dan tujuan nyata. Antara lain menyadarkan publik agar tetap peduli pada berkat dan martabat kaum perempuan.
Bagi media ada beberapa sisi yang patut menjadi perhatian. Seumpama : Dalam pemilihan figur perempuan terkait iklan, termasuk sisi busana. Juga pemberitaan, mungkin sebagai korban (misal : kasus perkosaan) ataupun kasus narkoba dan sebagainya.
Pemberitaan terkait kasus hendaknya tetap mengacu pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Termasuk jika kasus memasuki ranah hukum, hendaknya berita tak tergolong menghakimi. Artinya, menghindari trial by the press.
Harapan kaum Ibu atas pemberitaan media, maupun sisi-sisi lain seperti dalam iklan maupun atau foto-foto. Kaum Ibu juga minta pihak pers berpedoman pada KEJ, khususnya pasal-4 yakni: “Tidak membuat berita sadis dan cabul”. Artinya, pilihan kata menjadi kalimat dalam berita, memperhatikan norma-norma dan nilai-nilai, sehingga terkesan sebagai berita cabul.
Pasal lain yaitu pasal-5 KEJ : “Tidak menyiarkan identitas korban kejahatan susila”. Artinya, sangat elok kalau berita itu tak menulis nama lengkap dari korban susila dan tidak fotonya.
Jangan pula dilupakan, pasal-8 KEJ : “Tidak menulis berita yang tergolong diskriminasi atas dasar suku, agama, ras, antargolongan (=SARA) dan jenis kelamin”.
Di sini Artinya, sisi-sisi SARA sangat sensitif, sehingga media harus hati-hati. Tentang jenis kelamin, hal ini senantiasa kiranya pihak redaksi benar-benar menggarisbawahi.
Dalam beberapa forum diskusi dan seminar yang diselenggarakan komunitas dan organisasi kaum Ibu, selalu terungkap keluhan mereka. Hal ini perlu menjadi pertimbangan pihak media, supaya berita media tergolong peduli terhadap kaum perempuan yakni tetap menjaga harkat dan martabat kaum perempuan.
Kaum Ibu juga memberi perhatian atas pemberitaan media. Sebagian memilih media dengan konten hiburan. Sebagian lagi, mencari informasi tentang berbagai hal. Dan, sebagian lagi fokus atas berita politik, atau ekonomi atau pendidikan, sesuai profesi mereka.
Suara kaum Ibu patut diperhatikan media. Secara umum, kaum Ibu tetap berharap pemberitaan yang peduli pada harkat dan martabat perempuan. Kaum Ibu simpati pada media yang dalam pemberitaan, tulisan serta foto yang disajikan ke publik, dengan nilai-nilai positif. Artinya, menghormati harkat dan martabat perempuan.
Pernah tempo hari, media dengan sajian perempuan yang tergolong foto-foto porno. Kemudian menghilang. Ketatnya pengawasan dari pihak pemerintah melalui perangkat terkait, terutama yang mengawasi sajian siaran sehingga keadaan itu benar-benar menjadi kewajaran.
Ekspos tentang perempuan dalam jurnalisme sejak dulu terkait dengan pemasaran media. Publik ketika itu dengan perhatian tinggi. Khusus media cetak, dari sisi penjualan tergolong laris. Media televisi juga dengan kondisi serupa.
Semoga media tetap memberi perhatian terkait pemberitaan kaum perempuan. Apalagi KEJ memberi ketentuan yang jelas agar publik mendapat tempat wajar dalam pemberitaan media. Publikasi dengan nilai-nilai kemanusiaan terbaik.
(NAI/RZD)