Analisadaily.com, Jakarta - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengingatkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah salah satu tonggak capaian kepemimpinan perempuan.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, mengatakan ada beberapa yang dapat dilakukan. Pertama, UU PKDRT membongkar dikotomi privat/personal dan publik, sekaligus menegaskan kewajiban negara untuk melindungi semua orang dalam konteks apa pun untuk bebas dari kekerasan.
Kedua, UU PKDRT mendesakkan perubahan perspektif hukum pidana untuk lebih berorientasi pada korban. Juga, UU PKDRT menjadi simpul gerakan sosial yang ditandai dengan dukungan dari beragam sektor dan pihak dalam advokasinya.
“Karena itu, kemajuan-kemajuan dalam penanganan kasus serta upaya pencegahan KDRT perlu terus kita teguhkan sebagai agenda bersama gerakan sosial untuk Indonesia yang aman, adil dan bermartabat,” kata Andy, dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Selasa (24/12/2024).
Ia menyatakan peluncuran hasil kaji cepat 20 tahun implementasi UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) menjadi bagian dari peringatan Hari Pergerakan Perempuan Nasional, atau yang dikenal dengan Hari Ibu.
Secara khusus, kegiatan ini juga menjadi ajang menyampaikan Rekomendasi Umum Komnas Perempuan agar UU PKDRT digunakan juga dalam menangani kasus KDRT pada konteks perkawinan yang belum tercatat.
“Dalam dua puluh tahun terakhir, kasus KDRT paling banyak dilaporkan, dan terutama kekerasan terhadap istri. Berdasarkan data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, setiap jam sekurangnya ada 3 perempuan dalam posisi sebagai istri yang menjadi korban kekerasan,” ungkap Andy
Hasil kajian CATAHU dari 2001 hingga 2023 memperlihatkan sekurangnya terdapat 582,780 laporan kekerasan di ranah personal sejak UU ini disahkan, termasuk sebanyak 94% atau 491,067 kasus adalah kekerasan terhadap Istri (KTI) dan 3,56% atau 18.577 kasus kekerasan terhadap anak perempuan.
Sementara itu, dari 3.709 kasus KTI yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan dari tahun 2019 hingga 2023, sebanyak 50% adalah KDRT psikologis, 31% kekerasan fisik, 16% penelantaran dan kekerasan ekonomi lainnya dan 3% kekerasan seksual.
Dari jumlah tersebut, 222 kasus berkaitan dengan perebutan anak dan 309 kasus merupakan KDRT yang masih berlanjut meski pasangan telah bercerai. Temuan ini menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga tidak selalu berakhir dengan putusnya ikatan perkawinan.
Pola kekerasan yang terungkap dalam kajian ini menampilkan spektrum yang luas selain kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Pola-pola ini sering kali berkelindan dengan bentuk kekerasan lainnya, menciptakan jerat yang sulit diputus oleh para korban.
Komnas Perempuan juga mencatat puncak KDRT pada kasus-kasus femisida atau pembunuhan terhadap perempuan dan juga bunuh diri. Era digital turut memberikan dimensi baru dalam permasalahan KDRT dan tidak jarang justru memperburuk situasi dengan munculnya Kekerasan Berbasis Gender Siber.
Komisioner Theresia Iswarini menambahkan pelaku KDRT memanfaatkan teknologi informasi sebagai sarana untuk melanggengkan kontrol dan dominasi terhadap korban, bahkan setelah perpisahan.
“Dalam perkawinan tidak tercatat, kondisi korban KDRT menjadi lebih buruk karena kerap diabaikan dari proses penanganan dan pemulihan sesuai UU PKDRT,” sebut Iswarini terkait Rekomendasi Umum Komnas Perempuan agar UU PKDRT tetap digunakan dalam penanganan kasus KDRT di konteks perkawinan belum tercatat.
Komnas Perempuan mengenali ada banyak alasan perempuan berada dalam perkawinan tidak dicatatkan, sebagiannya adalah mereka yang sudah berada dalam lingkar kekerasan, ada yang tidak tahu bahwa perkawinannya harus dicatatkan setelah menempuh pernikahan berdasarkan agama atau adatnya, dan ada pula yang tidak dapat mencatatkan perkawinannya karena hambatan legal.
“UU PKDRT tidak mensyaratkan pencatatan perkawinan dan juga telah ada sejumlah produk kebijakan maupun putusan pengadilan yang dapat dirujuk oleh aparat penegak hukum untuk memproses kasus KDRT dengan UU PKDRT sekalipun perkawinannya tidak dicatatkan.” ungkap Iswarini.
(WITA)