Bersihar Lubis (Analisadaily/istimewa)
Bagaimana agar pertunjukan teater ramai dipenuhi penonton? Begitulah, seorang pekerja teater bertanya ketika saya mengulas beberapa pertunjukan dalam Parade Teater 6 hingga 16 Desember lalu di Taman Budaya Medan.
Saya teringat seorang ibu penjual goreng pisang di seberang harian Waspada Medan. Jualannya laris manis. Orang Medan mulai dari Amplas, Tanjung Mulia, Jalan Binjai hingga Tanjung Selamat berjibun membeli. Goreng pisangnya enak dengan kualitas pisang yang paten. Rasa dan kualitas itu kemudian menyebar dari mulut ke mulut hingga laris manis.
Kata kuncinya, ya, mutu. Jika dalam latihan mutu masih kedodoran, jangan nekat untuk pentas. Anda “bunuh diri” namanya. Ibarat menjual barang yang sumbing atau cacat, siapa mau membeli.
Teater itu tak berada di ruang kosong. Ada sinetron dan film di televisi, netflix atau Youtube. Jika mutu pertunjukan teater Anda jauh tersungkur, untuk apa orang-orang repot menonton teater di Taman Budaya?
Khusus kemampuan berakting, saya ingat lakon drama “Kereta Kencana” dimainkan oleh Rendra dan Ken Juraida pada 1995 dan 2000 silam di TIM Jakarta. Tampil lagi di panggung Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, 6-7 November 2009. Disutradarai oleh Putu Wijaya dengan pelakon, Ikranegara dan Niniek L. Karim.
Saya merasa lakon “Kereta Kencana” itu sangat imajiner. Meskipun hanya Henri dan istrinya yang mengisi panggung, tetapi seakan-akan dipenuhi banyak tamu. Saya ingat gaya Henri yang menyilahkan tetamunya masuk, padahal tidak ada, maupun istrinya sibuk mengatur rumah yang berantakan.
Adegan macam ini, oleh Stanilavski, guru drama Rusia yang tersohor itu menamainya dengan metode If, yang mengandaikan sesuatu seakan-akan benar-benar terjadi.
Oh, di tangan Putu, lakon Eugene Ionesco itu, muncul adegan berbau politik. Tiba-tiba, terdengar gedoran pintu. Eh, mereka kedatangan Menko Kabinet yang menawari Henri jabatan menteri. “Ah, tidak Paduka, saya hanya punya satu muka, menteri itu kan harus punya 1001 wajah,” kata Henri.
Padahal, di panggung hanya mereka berdua yang ada. Akting keduanya memberi tahu kita seakan-akan ada Menko yang datang. Kemampuan akting dan ekspresi macam itu yang perlu dikuasai oleh seorng teaterawan.
Ruang Kosong
Porman Wilson, sutradara Teater Que yang sukses mementaskan “Dialog Kursi” pernah berkata bahwa ia sangat puas ketika menonton lakon “Tok Tok” karya Ikranegara dimainkan oleh TENA Medan disutradarai Burhan Piliang (Burpil) pada 1986 silam. Itulah standar Porman jika menonton lakon drama lain. Jika tidak setara itu, setidaknya mendekati, Porman mengangkat bahu.
Jika lakon grup teatermu terkabar berkualitas, itu akan menjadi trade mark yang mengundang banyak penonton.
Tata artistik panggung pun harus punya pesona yang membangkitkan imajinasi penonton. Ditambah iringan musik atau bunyi-bunyian yang menyergap batin. Termasuk tata lampu yang mempertajam visual.
Hal lain, ide cerita yang dipentaskan haruslah menarik. Ya, sebuah naskah drama yang menyentuh langsung dengan kehidupan masyarakat. Penonton merasa seolah teater itu sesuai kenyataan yang dirasakan masyarakat.
Contohnya, adalah Opera Kecoa karya Nano Rintiarno yang pernah dipentaskan Teater KOMA. Selalu penuh pentonton walau dipentaskan selama 11 malam.
Opera Kecoa adalah kritik Teater Koma terhadap pemerintah, dan tentang warga pinggiran yang tersingkirkan. Opera Kecoa dilarang pada 1990 oleh pemerintah. Bahkan tidak diberi izin keliling Jepang dengan alasan tidak mendidik.
Saya pernah menonton lakon drama Oedipus dalam pentas Bengkel Teater Rendra pada 1987 lalu di Jakarta. Mirip sebuah penegakan hukum yang jujur dan adil. Oedipus diminta mengusut kematian Raja Laius. Tapi, Oedipus yang ditugasi menyidik kasus itu, hari demi hari semakin menemukan fakta, bahwa ternyata dirinyalah yang membunuh Laius.
Belakangan terbukti dirinyalah pembunuh Laius, dan Oedipus tidak berikhtiar mengelak. Di akhir lakon, saya ingat, suara Rendra semakin berat dan keras. Dan di ujung erangannya yang kian menggeram keras, ia tusuk bola matanya dengan peniti berulang kali. Mata Oedipus buta, dan ia mengaku berdosa kepada seisi istana.
Sungguh, adegan yang mengandung kritik luar biasa! Jika saja “orang-orang” di negeri ini sejujur Oedipus, berbagai kasus hukum akan terungkap dengan terang benderang.,
Non Artistik
Faktor lain adalah orang-orang di belakang layar atau manajemen teater. Adanya Tim Produksi. yakni bidang administrasi, dan pementasan. Dalam bidang pementasan meliputi sutradara, stage manager, artistik, penata musik, make up, dan pencatat adegan.
Sedangkan tim produksi terdiri dari Pimpinan produksi, Sekretaris dan Bendahara. Ada pula Desain Publikasi, yang membuat poster pementasan serta menyebarluaskannya ke publik. Desain poster yang menarik juga akan menimbulkan minat orang untuk menonton pementasan. Bisa dipampangkan di kampus, atau tempat strategis lainnya
Hubungan dengan penonton sangat penting. Hubungan yang akrab harus dibangun, misalnya, berkirim surat, atau SMS kepada relasi calon penonton. Bisa juga di up load di Facebook, dan media sosial lainnya, berisi informasi naskah yang dimainkan, kapan dan di mana?
Divisi dokumentasi mendokumentasikan berupa foto maupun video. Penggalan latihan misalnya bisa ditayangkan di media sosial. Hanya yang menarik saja hingga publik penasaran.
Promosi dan penjualan tiket tentu saja tidak hanya kepada para pekerja teater, atau kaum seniman. Tetapi juga kepada khalayak ramai. Seni bukan hanya untuk seniman, tapi untuk masyarakat. Ingatlah, penonton teater KOMA dipenuhi perempuan bersepatu tumit tinggi dan wangi-wangi. Juga lelaki kaum metroseksual. Dari berbagai profesi pula.
Saya ingat pada 1986, Burpil menyutradarai drama "Tok-Tok" karya Ikranegara di Taman Budaya Medan. Saya produsernya dan bekerja-sama dengan LBH Medan saat dipimpin Kamaludin Lubis. Para hakim, laywer, jaksa, polisi, dosen dan mahasiswa Fakultas Hukum, anggota DPRD Sumut serta penonton umum membeludak di auditorium Taman Budaya Medan selama dua malam.
Lakon "Tok Tok" yang berkisah tentang "Mafia Peradilan" itu dibuka oleh Buyung Nasution, si advokad kondang berambut putih. Jadilah TBM full house, bahkan banyak yang terpaksa berdiri di sisi belakang, kiri dan kanan gedung. Sungguh sebuah kenangan yang memorable. Tak terlupakan. (Opini di Harian Analisa Selasa 31 Des 2024)
** Penulis adalah jurnalis menetap di Medan
Berita kiriman dari: Bersihar Lubis