Mahkamah Konstitusi: Agama dan Kepercayaan Syarat Sah Perkawinan

Mahkamah Konstitusi: Agama dan Kepercayaan Syarat Sah Perkawinan
Tangkapan layar - Hakim Konstitusi Arief Hidayat (kanan) dan Arsul Sani (kiri) saat sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor: 65/PUU-XXII/2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, Rabu (17/7/2024). (ANTARA/Fath Putra Mulya)

Analisadaily.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu syarat sahnya perkawinan sehingga Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) tidak bertentangan dengan konstitusi.

“Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan unsur yang tidak dapat dihilangkan dari syarat sahnya perkawinan,” kata Hakim Konstitusi, Arief Hidayat membacakan pertimbangan Putusan Nomor 146/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Jumat (3/1).

Pada perkara ini, dua orang warga negara yang mengaku tidak memeluk agama dan kepercayaan tertentu, Raymond Kamil dan Teguh Sugiharto, mempersoalkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatur bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.

Raymond dan Teguh mendalilkan, pasal tersebut membatasi mereka untuk membentuk keluarga secara sah karena ketentuan normanya dinilai tidak mengakomodasi warga negara yang tidak memilih untuk tidak memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Terkait dalil tersebut, Mahkamah menjelaskan, beragama dan berketuhanan merupakan suatu keniscayaan sebagai perwujudan karakter bangsa dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana diamanatkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.

Oleh karena itu, menurut MK, tidak adanya ruang bagi warga negara untuk memilih tidak beragama atau tidak memiliki kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan pembatasan yang proporsional dan bukanlah bentuk diskriminasi terhadap warga negara.

MK meyakini perkawinan tidak terlepas dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 1 UU Perkawinan pun mengatur perkawinan bertujuan membentuk keluarga dalam suatu rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

“Dengan tidak adanya ruang bagi warga negara Indonesia untuk memilih tidak menganut agama atau tidak menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka norma hukum positif yang hanya memberikan pengesahan terhadap perkawinan yang dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing bukanlah norma yang menimbulkan perlakuan diskriminatif,” ucap Arief.

Lebih jauh, karena merupakan bagian dari bentuk ibadah sebagai suatu ekspresi beragama atau berkepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, maka perkawinan dapat dikategorikan sebagai forum eksternum dan negara dapat ikut menentukan tata cara dan syarat-syaratnya.

Dengan adanya norma Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, negara pun menyerahkan perkawinan kepada agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena syarat sah perkawinan ditentukan oleh hukum masing-masing agama dan kepercayaan.

Atas dasar itu, MK menolak permohonan Raymond dan Teguh. “Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, maka dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan adalah tidak beralasan menurut hukum,” demikian Arief.

Di dalam perkara yang sama, Raymond dan Teguh turut menguji UU KUHP baru, tetapi dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK. Selain itu, keduanya juga menguji UU HAM, UU Adminduk, dan UU Sistem Pendidikan Nasional yang sama-sama berakhir kandas karena ditolak untuk seluruhnya.

(ANT/CSP)

Baca Juga

Rekomendasi