Masyarakat saat berada di lahan yang dikelola oleh Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan. (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Simangambat - Masyarakat dari Desa Kosik Putih diduga menduduki areal KT 17 dan 18 yang dikelola Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan. Lahan seluas 47.000 hektar tersebut mereka anggap telah dieksekusi negara berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2642 K/Pid/2006.
Namun saat bersamaan, masyarakat dari Kecamatan Simangambat dan karyawan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan hadir di lokasi untuk mempertahankan hak plasmanya yang selama ini dijalin melalui kerja sama antara masyarakat dan Torganda.
Salah satu warga Simangambat, Jamal Hasibuan dari Desa Janji Matogu, mengatakan masyarakat telah lama bekerja sama dengan Torganda dan memiliki hak plasma yang harus dipertahankan.
"Saya berharap agar pemerintah dapat segera memberikan kejelasan hukum atas lahan ini sehingga tidak terjadi konflik berkepanjangan," ucap Jamal, Minggu (16/2).
Humas PT Torganda, Maradatuk Tanjung, mengambil langkah strategis untuk mencegah terjadinya tindakan anarkis. Dia meminta bantuan Kepolisian Resor Tapanuli Selatan untuk mengamankan lokasi dan memastikan perbedaan pendapat itu tidak berkembang menjadi bentrokan fisik.
"Permasalahan ini harus diselesaikan dengan kepala dingin dan melalui jalur hukum yang tepat," tutur Maradatuk.
Salah seorang praktisi hukum, Madayan Hasibuan, menjelaskan status lahan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit itu. Kata dia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut) Nomor 1680/Menhut-II/2002 yang memberikan izin pengelolaan hutan kepada Koperasi Bukit Harapan/PT Torganda.
Dua putusan
Namun, pada tahun 2004, Menteri Kehutanan Republik Indonesia mengeluarkan SK Menhut Nomor S.419/Menhut-II/2004 yang pada intinya menyatakan bahwa areal tersebut merupakan kawasan hutan negara. Akibat dari kebijakan ini, terjadi polemik berkepanjangan antara koperasi, masyarakat, dan pemerintah.
Madayan menegaskan permasalahan hukum ini memiliki dua putusan penting, yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 2642 K/Pid/2006 menyatakan bahwa lahan tersebut dikembalikan kepada negara.
Namun, di sisi lain, masyarakat dan koperasi menggugat keputusan tersebut melalui Mahkamah Agung Tata Usaha Negara dalam perkara Nomor 134 K/TUN/2007.
Dalam perkara tersebut, masyarakat atau Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit memenangkan gugatan dan berhasil membatalkan SK Menhut Nomor S.419/Menhut-II/2004.
“Putusan Mahkamah Agung Pidana tahun 2006 memang menyatakan bahwa lahan ini harus dikembalikan ke negara. Namun, masyarakat dan koperasi tidak tinggal diam dan menempuh jalur hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Hasilnya, putusan Nomor 134 K/TUN/2007 memenangkan masyarakat dan koperasi, yang berarti SK Menhut 2004 dinyatakan batal. Oleh karena itu, status kepemilikan lahan ini tidak sesederhana klaim eksekusi sepihak oleh negara,” jelas Madayan
Menurut dia, sebaiknya penyelesaian konflik ini dilakukan dengan pendekatan hukum yang berkeadilan serta mengedepankan dialog antara masyarakat, koperasi, dan pemerintah.
“Kita tidak ingin konflik agraria ini berlarut-larut dan mengarah ke bentrokan fisik. Oleh karena itu, saya mendorong pemerintah dan semua pihak terkait untuk mencari solusi hukum yang final dan adil bagi semua,” tambahnya.
Beberapa perwakilan masyarakat menyatakan tujuan mereka menduduki lahan untuk mendirikan masjid sebagai tempat ibadah dan pusat kegiatan keagamaan. Namun, pihak yang menolak pendudukan lahan menyebut bahwa langkah tersebut harus melalui jalur hukum yang sah, bukan dengan aksi sepihak yang dapat memicu konflik sosial.
(ONG/CSP)