
Analisadaily.com, Jakarta - Banyak orang merasa geli jika setiap hari harus bergelut dengan cacing tanah, bahkan mungkin merasa jijik. Namun tidak bagi Lilis Suhartini, ibu rumah tangga asal Pangalengan, Jawa Barat.
Lilis justru melihat potensi besar cacing tanah sebagai komoditas yang sangat menjanjikan untuk meraup keuntungan.
“Usaha ini menjanjikan. Saya punya rumah sama kendaraan juga hasil dari sini,” ujar Lilis Suhartini dengan senyum merekah dan mata berbinar, dalam keterangan resmi diperoleh Rabu (12/3).
Lilis yang telah bergabung menjadi mitra Amartha ini merupakan perempuan tangguh yang menjalankan usaha budidaya dan pemasok bubuk cacing. Setiap pagi, perempuan berusia 36 tahun ini memulai hari dengan memanen cacing yang dikembangbiakkan di pekarangan belakang rumahnya.
Lahan itu tidak luas, namun omset ternak cacing ini bukan main-main. Setiap bulan, Lilis mampu meraup Rp100 juta.
Desa Margamekar, tempat Lilis tinggal, dikelilingi bukit dan pegunungan. Udara sejuk dan tanah yang hara unsur hara menunjang usaha pertanian dan peternakan, termasuk budidaya cacing yang dijalankan oleh Lilis.
Usaha ternak cacing yang dikelola Lilis pun menjadi bagian dari rantai alami. Cacing menjaga ekosistem dengan menyuburkan tanah, sementara limbah organik peternakan cacing bisa menjadi pupuk alami.
Siklus ini menjadikan budidaya cacing sebagai usaha yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Lilis tidak sendiri. Dia mengelola peternakan cacing ini dengan sang suami, Hendi Rustandi.
Mereka dibantu oleh 2 karyawan untuk mengurus cacing yang diternak, mulai pembibitan hingga panen. Pengendalian mutu dilakukan sejak awal. Cacing yang dipanen dibawa ke rumah produksi yang terletak hanya beberapa langkah dari pekarangan belakang rumah Lilis.
Cacing-cacing yang telah dipanen dipisahkan dari tanah. Prosedur ini membutuhkan kesabaran dan ketelitian karena prosesnya dilakukan dengan cara tradisional.
Pertama-tama, hasil panen ditumpuk menjadi seperti gunungan kecil. Cacing-cacing kemudian dipisahkan dari tanah secara manual dengan tangan.
Di tengah kesibukan proses pemilahan itu, Lilis bercerita mengenai alasannya memilih dan menekuni usaha budidaya cacing yang telah digeluti selama 13 tahun ini.
Dia awalnya hanya menjual cacing hidup ke kenalannya yang bekerja di suatu pabrik farmasi. Namun, kenalannya menawarkan agar Lilis dan suaminya mengembangkan variasi produk, seperti cacing kering dan bubuk cacing.
“Pertamanya saya cuma kirim cacing hidup. Terus kenalan saya nanyain, ‘Ibu bisa nggak buat yang kering? Saya jawab, ‘nggak bisa’. Akhirnya, saya ditawari ikut penyuluhan. Setelah ikut penyuluhan selama satu bulan, saya langsung praktik dan ternyata hasilnya bagus. Dari situ, saya buat produk cacing kering sama yang bubuk,” jelas ibu dua anak ini.
Setelah cacing dipilah dengan telaten, Lilis mencucinya dengan air mengalir secara berulang kali hingga benar-benar bersih. Ia selalu memastikan cacing tetap segar sebelum direbus dalam air mendidih.
Menurut Lilis, cacing segar merupakan kunci utama agar cacing dapat tahan lama. Selama bertahun-tahun menjalankan usaha, Lilis melakukan pengeringan menggunakan oven berukuran sedang, yang membuat proses pengerjaan menjadi memakan banyak waktu dan berdampak pada kualitas yang dihasilkan.
Dia sempat mengajukan pembiayaan ke lembaga keuangan terdekat di desa untuk mendapatkan modal guna mengembangkan usaha, termasuk untuk membeli oven yang lebih besar.
Akan tetapi ia tidak puas karena modal yang diterima tidak utuh. Ia harus menanggung potongan biaya administrasi yang lumayan besar.
Pada tahun 2023, Lilis diajak oleh tetangganya untuk bergabung dengan Amartha, sebuah perusahaan teknologi keuangan yang fokus menyalurkan akses permodalan kepada UMKM di Indonesia.
Modal senilai Rp4 juta yang didapatkan tanpa potongan itu dimanfaatkan untuk membeli oven berkapasitas besar. Dengan begitu, kuantitas produksi Lilis meningkat.
Dia juga merekrut dua karyawan tambahan guna memenuhi permintaan pelanggannya. Sekarang ia memiliki empat karyawan.
Begitu cacing kering sempurna, kemudian dipisahkan berdasarkan ukuran. Cacing berukuran kecil atau jenis Lumbricus rubellus dikirim ke pabrik farmasi. Per kilogram dihargai Rp200.000.
Sayangnya setelah pengiriman, Lilis tidak bisa langsung mendapatkan pembayaran. Ia perlu menunggu satu hingga 2 minggu karena pabrik perlu memeriksa kualitas cacing yang dikirimkan.
Setelah 2 minggu dan semua cacing dinyatakan layak, pembayaran baru bisa dilakukan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri baginya.
Sementara cacing berukuran besar atau jenis Perionyx excavates diolah menjadi bubuk cacing. Sebagian bubuk cacing dikirim ke produsen jamu di Jawa Tengah dan sebagian lainnya dijual di e-commerce. 1 kilogram bubuk cacing dihargai Rp250.000.
Sejak mendapatkan permodalan dari Amartha, Lilis juga mendapatkan pendampingan bisnis dan pelatihan keuangan digital dari tim Business Partner.
Berkat pendampingan dan pelatihan, Lilis menjadi lebih percaya diri dalam menggunakan ponsel pintar sebagai sarana mengembangkan usaha dengan memanfaatkan e-commerce untuk menjangkau pembeli yang lebih luas.
“Ibu juga jualan di online buat yang bubuk cacing. Kalau online yang beli dari mana-mana. Pernah kirim ke Jawa Tengah. Ke Flores juga pernah. Ada yang pesan sekilo pun tetap Ibu layanin,” tuturnya.
Tahun ini adalah tahun ketiga Lilis menjadi pengusaha UMKM binaan Amartha. Ia bercita-cita memperdalam pengetahuannya di bidang teknologi digital agar usahanya dapat berkembang dan bisa memberdayakan lebih banyak masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.